
Saat itu, cita-cita Michael Leksodimulyo menjadi dokter sudah tercapai. Bahkan karir di dunia kedokteran sudah sangat baik. Yang semula dokter jaga, akhirnya ia menjadi staf direksi rumah sakit yang terkenal di Surabaya. Dengan menjadi dokter dan staf direksi, dia berharap menjadi orang kaya, punya istri cantik, punya anak yang tampan dan cantik, maupun punya mobil lebih dari satu. Semua sudah didapatnya. “Apa wae sing dijaluk iki keturutan. Tapi apakah kita bahagia? Ora? Aku ndak bahagia,” katanya dalam Diskusi Tipis-Tipis yang diselenggarakan Perkumpulan Boen Hian Tong melalui platform online, 17 Desember 2020.
Usai makan siang pada tahun 2008, seorang rekannya, Hana Amalia Vandayani yang juga melayani di Yayasan Pondok Kasih, mengajaknya ke suatu tempat. Under the world, katanya. “Nanti aku akan memperlihatkan dunia, namanya pemandangan under the world,” kata Hana padanya. Ia pun penasaran dan menuruti ajakan tersebut. Hana masih berpakaian bagus, karena usai berjumpa pejabat.
Mereka pun melaju dengan mobil di tengah rimba kota Surabaya yang panas dan macet. Ketika melintas di depan Pasar Turi yang panas, tiba-tiba seorang gelandangan berjalan ngesot menyeberang jalan yang sangat padat. “Hei, stop, stop di tengah jalan,” Hana tiba-tiba berteriak ke gelandangan itu karena melihat bahaya tertabrak kendaraan di tengah jalanan itu.
Hana tiba-tiba turun dari mobil menghampirinya, lalu meminggirkannya. Gelandangan pengemis itu pun dipeluk dan diciuminya dengan penuh kasih meski dalam kondisi kotor dan berbau
Dokter Michael yang mengikutinya pun terbengong-bengong melihat ulah Hana. “Dok, kamu ndak melihat Tuhan itu tersenyum?” tanya Hana. Dokter Michael terperangah dan terlintas di pikiran kalau rekannya sudah ‘gila’. “Wong gendeng. Ana maneh, melihat tersenyum, yok opo?” komentarnya waktu itu.
“Kamu tahu ndak, orang-orang seperti itu, itu seperti mutiaranya Tuhan, mutiara-mutiaranya Tuhan, favoritnya Tuhan. Itu tercecer di sekitar kita. Kalau kamu mau membuat Tuhan itu tersenyum, kamu ambil muitiara ini di tangan-Nya, kemudian nikmati senyumannya,” lanjut Hana.
Dr Michael pun paham maksud yang dimaksud Hana. Ia menahan perasaan yang bergejolak dalam hatinya. Hingga sampai di rumah ia pun menangis karena terbayang-bayang peristiwa siang itu bersama pengemis dan Hana.
Istrinya, Herlina Apriontonita heran, melihat suaminya menangis. Dalam pikirannya terlintas kalau suaminya dipecat. Dr Michael pun meyakinkan istrinya kalau dirinya tidak dipecat. Dr Michael bermenung. Ia merasa sehat, tapi mengalami katarak hati. Ia merasa bisa sesukses itu karena ketika menempuh pendidikan kedokteran tidak membayar karena mendapat bea siswa. “Iya, karena apa, aku ki sekolah ora mbayar ternyata,” katanya.
Waktu itu, tempat usaha jualan sepatu orang tuanya di Pasar Turi terbakar. Beberapa saat kemudian, papinya bertanya tentang cita-citanya. “Papi, saya kepengin jadi dokter,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, papinya langsung bereaksi. “Kamu ndak lihat ini semua kobongan kaya gini. Papi gak gendeng saja sudah bagus,” kata papinya.
Papinya melanjutkan, “Mau jadi dokter itu pakai uang siapa?” Kemudian, ia memberikan 2 pilihan lain selain menjadi dokter pada Michael. “Aku pegang tangane papiku. Aku bilang, Papi, pilihan kedua, aku pengin jadi dokter, dan pilihan ketiga, aku yo, kepengin dadi dokter, Papi,” katanya.
Mendengar jawaban anaknya yang bersikeras ingin menjadi dokter, papinya menjawab, “Kalau gitu mintao sama Papa-mu yang asli!” Michael terkejut bukan kepalang karena ia mengira dirinya adalah anak angkat dan dia diminta untuk meminta uang padanya untuk pendidikan kedokteran. Belum selesai dari efek terkejutnya, papinya menyuruhnya naik ke lantai dua rumah toko (ruko) kecilnya.
“Kamu naik di atas, kamu doa. Kalau kamu sampai jadi dokter, maka bukan aku yang nyekolahkan kamu, tapi Tuhan yang membuat kamu jadi dokter,” kata papinya.
Michael paham yang dimaksud papinya. Di lantai dua, Michael pun berlutut dan berdoa. “Di situ saya berlutut dan saya minta, Tuhan, aku mau jadi dokter. Kalau aku bisa jadi dokter, dari ujung kepalaku sampai ujung kakiku akan kupersembahkan untuk memuliakan nama-Mu,” kenangnya.
Beberapa waktu kemudian ia diterima di sebuah kampus Sam Ratulangi di Manado dengan mendapat bea siswa. Akhirnya, ia berangkat dengan naik kapal tanpa tiket. “Saya nunut kapal karena pada waktu itu nggak bayar, saya harus sembunyi di kamar mesin,” katanya. Selama sekian waktu, ia belajar di sana dengan beasiswa di tangannya hingga ia pun menjadi dokter.
“Jadi, saya menjadi dokter gratis, saya S2 gratis, saya disekolahkan lagi sama rumah sakit untuk studi yang berikutnya, semuanya gratis. Tapi apa yang saya balas pada waktu saya sukses mendapatkan semua itu? Saya kepengin istri yang cantik, Tuhan kasih. Aku kepengin anak-anakku cantik dan tampan, Tuhan kasih. Aku kepengin naik pangkat, nggak jadi dokter jaga, jadi manajer, akhirnya aku jadi staf direksi, Tuhan juga kasih,” kata kelahiran 6 Januari 1968.
Namun, di tengah puncak karirnya, ia mengaku lupa. Peristiwa siang hari berjumpa dengan gelandangan pengemis dan Hana itulah yang menyadarkannya.
“Aku benar-benar lupa sama janjiku pada waktu aku tidak punya apa-apa, yaitu mempersembahkan ujung rambut sampai ujung kaki,” tuturnya.
Ia terkenang adegan Hana mencium, memeluk pengemis yang baunya setengah mati itu. Dan orang tersebut dirawat sampai hari ini.
“Itu yang mengubah saya, bener-bener mengubah saya dari kehidupan saya yang sekuler menjadi kehidupan saya sebagai pelayan Kristus,” kata lelaki berdarah Tionghoa itu.
Dokter Michael pun memutuskan untuk melayani orang-orang miskin seperti gelandangan, pengemis dan pemungut sampah. Tahun 2009, ia meninggalkan rumah sakit untuk kemudian membuka pengobatan gratis di tempat-tempat di mana banyak orang miskin tinggal seperti kampung-kampung kumuh, bawah kolong jembatan, dan tempat pemungutan sampah. Demikian juga ia melayani di panti asuhan.
Mengalami diskriminasi
Awalnya, ia belum menemukan orang yang mau menemaninya melayani orang-orang miskin. Tidak mungkin mencari pegawai, karena uang yang ada untuk belanja obat-obatan. Akhirnya, ia hanya mengajak istri dan anak-anaknya. “Jadi, saya nulis, istri saya menerjemahkan kemudian anakku yang ngasih-kan obat,” katanya.
Namun, tak semua orang mau menerima kehadirannya, meski dr Michael dan keluarganya datang melayani dengan tulus hati. Seorang pasien melempar obat yang diberikan kepadanya. “Lek ngene tok ae nang Puskesmas. Pancen Cino medhit!” (Kalau hanya begini, cukup di Puskesmas. Dasar Cina pelit!), katanya mengenang awal mula pelayanan. Hal yang cukup tragis juga ia alami ketika pulang dari pelayanan dengan naik sepeda motor. Ia dikuntit orang yang dengan sepeda motor, lalu dipepet. Pada saat itulah ia diludahi yang langsung mengenai wajahnya. Ada orang-orang yang tidak senang dengan kehadirannya.
Suatu ketika ia juga pernah dituduh melakukan kristenisasi. “Memangnya pakai 5 supermi yang kamu kasihkan ke kita, kita mau pindah agamamu ya apa?” demikian dr Michael menirukan.
Meski demikian, ia tidak patah arang. “Besoknya, saya nglayani lagi. Besok lusanya, saya nglayani lagi, terus saya melayani tiap hari. Dan akhirnya mereka bisa menerima saya apa adanya,” katanya.
Menurutnya, yang namanya membangun harus terus menerus. Ia mengibaratkan seperti pertempuran Daud melawan Goliath. “Jangan pernah kalah dengan hal-hal itu. Kalau kita diusir, kita dimaki-maki karena kita berbuat baik, besok datang lagi, diusir lagi, besok datang lagi, dan akhirnya mereka bisa mencintai kita apa adanya,” tegasnya.
Kasih itu nyata dan ada sukacita di dalamnya
Dr Michael memegang teguh sebuah moto di dalam hidupnya, “kasih itu nyata dan ada sukacita di dalamnya”. Menurutnya, kasih mampu menembus tembok perbedaan. “Jadi kalau kita memberi, orang yang kita beri itu tidak suka, berarti kurang. Jadi, kita itu harus mengasihi dia lagi, harus mengasihi dia lagi, sampai timbul sukacita,” katanya.
Dalam melayani, menurut dr Michael, kita tidak perlu memilih-milih orang. “Bahkan orang yang tidak percaya Tuhan pun kita akan tolong. Orang yang tidak punya agama pun, yang sudah, wis aku gak gelem punya agama, ora popo. Karena kita ini diciptakan untuk seperti matahari. Matahari itu bisa menyinari semua sudut kegelapan apapun. Kalau kita hanya memegang lilin, pegang lampu, mungkin ada bayangan hitam yang tidak terkena lampu itu. Tetapi matahari, dia bisa masuk ke semua titik yang ada, ya, dia bisa menyinari walaupun orang itu sembunyi di dalam kegelapan. Sinar adalah kita semua. Kita menjadi sinar yang terang. Untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. Orang-orang yang bisa kita layani setiap hari,” katanya.
Kerjasama lintas agama
Dr Michael sadar, dalam melakukan pelayanan memutuskan untuk bekerja sama dengan banyak pihak. Ia prihatin dengan adanya bibit fanatisme sempit dalam masyarakat. Meskipun demikian, ia tetap berkomitmen untuk menjalin kerja sama dengan masyarakat dari berbagai agama. Walau seorang Katolik, ia tak canggung bersama masyarakat miskin yang didampinginya di daerah penampungan sampah membangun mushala.
“Karena di dalam melayani orang itu tidak bisa memaksakan agama kita. Kalau memang mayoritas di sana agamanya Muslim, ya sudah, kita buat aja mushala. Karena tidak ada mushala di tempat sampah itu,” katanya. Pembangunan mushala pun disambut baik masyarakat dengan bergotong royong. Sebagian dari mereka menyumbang apa yang mereka punya seperti seng bekas, triplek bekas dan beberapa barang lainnya.
Dalam perkembangan waktunya, selain untuk beribadah mushala pun dipakai untuk anak-anak berlatih membaca Alquran. Masyarakat yang semula hanya berkutat mencari nafkah, mulai saat itu menjadi lebih religius.
Tindakannya terlibat dalam membangun mushala merupakan komitmennya bahwa dalam melayani kaum miskin, dia harus bisa menembus tembok perbedaan. “Sebagai orang Katolik atau Kristen, kita harus melakukan apa yang kita percaya, apa yang kita sudah pelajari, yang kita dengar kotbah dari pimpinan-pimpinan agama kita. Waktunya kita sekarang ini praktek di dalam kehidupan orang banyak. Dan jangan pernah memaksakan agama kita untuk orang yang kita layani,” katanya.
Dalam mushala itu, ia juga kerap memberikan penyuluhan atau yang ia sebut sekolah Minggu karena diadakan para hari Minggu. Di dalamnya ia menekankan tentang pentingnya menjaga amarah, tidak membenci, tidak berkata-kata kotor, dan tidak mendendam. “Itu yang saya ajarkan kepada mereka dan itu saya lakukan di hari minggu. Makanya, mereka juga tahu ada sekolah minggu,” kata lelaki yang dijuluki dokter spesialis gelandangan itu.
Pelayanan saat pandemi
Pelayanan pengobatan dr Michael sempat terkendala akibat pandemi Covid-19 ini karena adanya aturan dilarang berkerumun. Maka, ia pun mencari terobosan baru dalam melayani. Ia sadar, pandemi berdampak pada perekonomian masyarakat. Banyak yang tidak bisa bekerja karena situasi pandemi. Ada yang terkena PHK. Bahkan ada yang kesulitan untuk mencari makan.
Ia pun menggalang donasi untuk pengadaan sembako. Akibatnya, rumahnya berubah menjadi gudang. Banyak bahan makanan tertumpuk. Namun tak ada yang mau mendistribusikan karena takut bahaya Covid-19. Ia mengajak orang-orang yang dikenalnya, namun tak ada yang berani. Di situlah ia harus mengambil keputusan. Seperti ketika ia mengawali pelayanan pada orang miskin, ia pun mengajak istri dan anak-anaknya. “Kalau kita membagikan sembako pada orang miskin apakah kamu takut? Kalau aku nggak ada, apakah kamu juga mau meneruskan perjuangan saya untuk orang miskin, untuk membagikan sembako ini?” demikian tanyanya pada istrinya.
Akhirnya, ia dan anak-istrinya membagikan sembako itu. “Tentunya takut semua. Tetapi sekali lagi kita tidak pernah menempelkan rasa takut di dalam hati kita. Kita betul-betul pasrah dan selalu bersyukur kepada Tuhan karena apa? Apa yang kita perbuat ini adalah persembahan. Persembahan untuk Tuhan itu bukan hanya uang. Tapi bisa dari perbuatan-perbuatan kita. Oleh sebab itu, saya ajak orang-orang yang terdekat saya, istri, anak-anak saya,” katanya.
Selain berbagi sembako dan makanan siap santap, mereka juga berkeliling kampung mencari tahu yang dikeluhkan warga. Di samping itu, ia juga siap mengobati jika ada yang sakit. Ketika berkeliling itulah, ia disuguhi pengalaman yang tidak mengenakkan seperti tukang becak yang belum makan. Intinya, banyak orang yang kesulitan mendapatkan makanan akibat pandemi.
Dari situlah, ia memutuskan untuk mendirikan dapur umum. Ia juga melalui beberapa persekutuan mengajak orang untuk terlibat dalam karya berbagi ini. “Setelah saya berhasl membawa keluarga saya, saya berhasil membawa anak saya, maka saya berpikir, aku ini harus menularkan semangat yang sama, dan membuat orang itu tidak takut untuk menolong orang lain,” katanya. Akhirnya banyak orang mulai terlibat, termasuk para biarawati. Selain sembako dan makanan siap santap, alat perlindungan diri (APD) pun dibagikan.
Mengingat masa pandemi sangat panjang, ia memberi pelatihan ketahahan pangan dan socio enterpreneurship. Banyak orang yang menjadi korban PHK, namun diharapkan bisa segera bangkit. “Kehilangan pekerjaan itu ndak usah susah. Perusahaan-perusahaan juga tertekan untuk produksinya. Oleh sebab itu, saya mengajak orang-orang yang di-PHK, ayolah kamu jangan cuma nangis tok. Tak ajari menanam, memelihara bebek, beternak ikan lele di rumahmu. Inilah yang membuat saya punya program bernama socio entrepreneurship,” katanya.
Ia ingin mengajak masyarakat menyambut Covid-19 ini dengan kreativitas. “Ibu bisa bikin pisang goreng, ya sudah jualan itu saja, modalnya diberi. Akhirnya bisa berkembang. Akhirnya mereka punya kreativitas kacang goyang, kacang telor dan macam-macam. Akhirnya mereka bisa punya penghasilan walaupun suaminya barusan saja di-PHK,” katanya.
Baginya, pandemi Covid-19 adalah waktunya berpraktek menebar kebaikan. “Apa yang bisa kau lakukan di dalam hidupmu atau sisa hidupmu, karena kita nggak ngerti apakah besok lusa kita kena Covid, apakah minggu depan, apakah bulan depan, apakah tahun depan. Kematian itu tidak bisa kita prediksi yang harus bisa kita prediksi adalah perbuatan apa yang bisa kita bawa saat kita mati,” katanya.