
Gereja Santa Maria Bunda Penasihat Baik Wates dipenuhi umat dari berbagai tempat. Pagi itu, Minggu, 9 Februari 2025 rangkaian Novena Laudato Si’ Kevikepan Jogyakarta Barat dimulai. Dalam katekesenya, Vikaris Episkopalis (Vikep) Yogyakarta Barat Pastor A.R. Yudono Suwondo, Pr mengawali dengan pembukaan yang menyentil. “Maaf, saya tidak akan mengucapkan selamat datang pada Anda semua kali ini. Karena apa? Karena kita semua adalah sesama peziarah di tanah milik Tuhan.” Karena Akulah pemilik tanah itu. Sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku.” Jadi kita semua adalah pendatang-pendatang di bumi ini. Kita berasal dari Allah, bergerak di dunia ini menuju kepada Allah. Jadi, rumah kita, tanah air kita itu surga. Tanah air surgawi. Maka, di bumi ini kita sebagai peziarah. Itu yang harus dipahami betul. Sehingga kita tidak punya istilahnya kesewenang-wenangan untuk bumi ini karena kita adalah peziarah yang bersama-sama berangkat menuju kepada Allah,” demikian Romo Wondo mengawali katekesenya.
Ia juga menyinggung ensiklik Laudato Si’ yang memanggil orang-orang untuk merawat lingkungan hidup. “Kita diajak untuk memelihara bumi sebagai rumah kita bersama. Bumi sebagai tempat tinggal bersama,” katanya. Romo Wondo pun melemparkan satu pertanyaan reflektif Paus Fransiskus, “Bumi macam apa yang hendak kita wariskan kepada generasi baru sesudah kita hidup, kepada anak-anak yang sedang bertumbuh?” (LS 160). Ia mengajak umat untuk mewariskan yang baik seperti halnya kita telah menerima warisan dari para pendahulu kita. “Artinya apa? Kita juga menerima warisan dari pendahulu kita, kita pun memiliki tanggung jawab sejarah untuk juga mewariskan yang baik pada penerus kita,” tuturnya.
Romo Wondo juga menyoroti tentang bumi yang menjadi tempat pembuangan sampah yang besar karena budaya membuang. “Paus mengingatkan kita untuk sadar bahwa kita itu ada dalam budaya membuang,” katanya. Orang-orang sekarang begitu mudahnya membuang sesuatu begitu dianggap sudah tak berguna. “Sungguh budaya membuang itu ternyata menjadi budaya kita dan sungguh-sungguh kita diingatkan oleh Sri Paus untuk sadar, bahwa budaya membuang itu budaya umum di dunia ini, lalu awake dhewe (kita) apakah mau melu-melu (ikut-ikutan) sebagai orang yang berbudaya membuang atau berbudaya ngopeni (memelihara)?” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Romo Wondo juga menyinggung tentang penurunan kualitas air dan keanekaragaman hayati.
Menurutnya, agama-agama dapat menyumbangkan sesuatu bagi perbaikan alam semesta. “Itulah pentingnya agama-agama, membuat orang sadar,” katanya. Menurutnya semua itu dilakukan dengan kesadaran penuh demi untuk kemuliaan Tuhan.
Menurut Romo Wondo, Gereja tidak hanya berusaha untuk mengingatkan tugas perawatan alam, tetapi juga melindungi umat manusia dari penghancuran diri sendiri, maka itulah yang disebut dengan pertobatan ekologis. “Bagaimana caranya supaya manusia itu tidak kemudian semau gue dan sakgeleme (sesuka hati) dengan keadaan dirinya dan keadaan alamnya. Maka, dari situ kita membutuhkan rasa persatuan yang mendalam dengan seluruh alam dengan melihat bumi seperti Yesus memandangnya,” tuturnya.
Salah satu hal penting, lanjutnya, yang perlu dilakukan zaman ini adalah memperlambat langkah untuk melihat realitas dengan cara lain. “Novena itu adalah cara kita untuk memperlambat langkah,” katanya.
Paus Fransiskus baik melalui ensiklik Laudato Si maupun melalui Bulla Spes Non Confundit menekankan pentingnya memperlambat langkah di dunia yang tergesa-gesa (LS 144). “Seandainya kita masih bisa merenungkan penciptaan dengan rasa kagum, kita mungkin akan lebih memahami pentingnya kesabaran. Kita bisa mengapresiasi perubahan musim dan hasil panennya, mengamati kehidupan hewan dan siklus pertumbuhannya, serta menikmati kejernihan penglihatan Santo Fransiskus. (SNC 4)”
Dalam ekaristi, melalui homilinya, Romo Wondo mengatakan, pada zaman ini, Allah masih berkarya dengan cara yang amat mengagumkan melalui orang-orang dan melalui alam ciptaan. “Marilah kita merasa kagum seperti Petrus dan kemudian masuk ke dalam misteri Yesus dan mengikutinya dalam peziarahan kita, termasuk kekaguman kita akan alam ciptaan-Nya. “Kekaguman akan karya Allah mengantar kita pada renungan yang kedua, mewartakan pengalaman dikasihi Allah kepada sesama,” katanya.
Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Keuskupan Agung Semarang (KAS) ex officio Ketua KPCK Kevikepan Yogyakarya Barat, Pastor Adolfus Suratmo, Pr menyampaikan, tujuan diadakannya Novena Keutuhan Ciptaan adalah untuk menggemakan ensiklik Laudato Si’. Tema Novena Laudato Si’ 2025 ini adalah “Pola Hidup Menjaga Keutuhan Ciptaan, Merawat Bumi Melalui Gerakan Hidup Harian”.
Melalui novena itu, umat diajak untuk mendengarkan dan merespon tangisan bumi anak-anak yang dimiskinkan dan generasi masa depan serta melakukan gerakan akar rumput dalam mengatasi krisis kemanusiaan dan alam ciptaan, menciptakan gerakan massal dan menciptakan transformasi sosial. “Maka, 9 bulan ini, kita mencoba untuk memperkenalkan, karena bahannya cukup melimpah, maka kita akan mencuplik kecil-kecil saja. Sedikit-sedikit saja. Lalu diperkenalkan. Harapannya bukan soal banyaknya pengajaran yang kita maksudkan, tetapi justru kita mengenali lalu itu, membuat transformasi. Sebagaimana salah satu tujuan dari Ensiklik Laudato Si’ supaya terjadi pertobatan ekologis. Itu jauh lebih penting. Mengapa begitu? Karena mulai dari soal kita makan, mulai dari kita sekolah, mulai dari kita ada di jalanan, transportasi, mulai dari kita memperlakukan air, sungai, bumi, dan makhluk-makhluk yang lain, ada persoalan di antara kita,” katanya.
Romo Suratmo berharap, umat Allah memiliki kesadaran ekologis bahwa bumi ini menjadi rumah kita bersama. “Mari kita pergunakan sebagaimana maksudnya, mari kita pelihara sebagaimana diharapkan. Mari kita jaga kelestariannya sebagaimana ini menjadi milik kita bersama karena bagaimanapun juga yang namanya bumi itu unik. Bumi itu bisa beradaptasi dalam situasi apapun dan bagaimanapun. Sementara kita makhluk hidup, manusia, sangat terbatas,” ungkap pastor yang berkarya di Paroki Klepu itu.
Novena Laudato Si diselenggarakan mulai bulan Februari-Oktober 2025 di tempat-tempat ziarah di wilayah Kevikepan Yogyakarta Barat. Ada dua rangkaian acara utama yaitu katekese dan perayaan ekaristi bersama sebagai puncak.
Usai Misa Novena dilakukan penyerahan bibit tanaman kepada perwakilan umat Paroki Wates dan Paroki Somohitan yang akan menjadi tempat berlangsung Novena II.