
Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Secara berkala ia selalu mengunjungi pertapaan St. Maria Rawaseneng untuk mengalami keheningan. Dunia tempat ia tinggal sehari-hari penuh kebisingan dan mengabaikan keheningan. Kesibukan bekerja membuat kelelahan dirinya baik secara jasmani maupun rohani. Tuntutan kerja kadang membuat tekanan emosional dalam dirinya. Tubuh, pikiran dan jiwanya memerlukan istirahat sejenak dari segala kesibukan pekerjaan hariannya untuk memasuki keheningan. Dalam keheningan ia berdoa, bermeditasi, dan berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam keheningan ia mengalami relasi yang mendalam dengan Tuhan sehingga ia mengalami kedamaian. Baginya keheningan adalah sebuah gerbang menuju Allah dan kedamaian batin.
Untuk membantu kita menghayati keheningan secara benar, kita perlu lebih dahulu mengetahui arti keheningan secara benar. Ada dua jenis keheningan yakni keheningan eksternal dan keheningan internal Keheningan eksternal adalah lingkungan yang sepi, tenang, tidak ada suara dan keributan. Sedangkan keheningan internal adalah suasana hati yang tenang dan damai karena kita ‘bertemu’ dengan Tuhan sehingga kita mengalami kedamaian yang bersumber dari-Nya.
Keheningan eksternal adalah sarana memasuki keheningan internal. Kita perlu menyediakan waktu dan tempat untuk hening. Sedangkan keheningan internal sebagai tujuan yakni bertemu dengan Tuhan. Tuhan yang ada di dalam diri kita yang terdalam, ada di hati kita. Keheningan internal tidak tergantung pada keheningan eksternal karena keheningan internal merupakan karunia dari Allah. Kita hanya perlu membuka hati. Jika demikian apakah kita tidak memerlukan keheningan eksternal? Tentu saja kita masih memerlukan keheningan eksternal karena sebagai manusia yang sibuk dengan segala macam pekerjaan di dunia ini terkadang kita tidak mampu mengalami keheningan internal yakni keterjalinan kita dengan Allah.
Yesus memberikan teladan kepada kita yakni Ia selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengan Allah meski di tengah kesibukan dalam perutusan-Nya. Yesus berdoa dalam keheningan untuk berkomunikasi dengan Allah Bapa dalam mencari kehendak Bapa dalam setiap aspek kehidupan-Nya. Yesus menyadari pentingnya memulai hari-Nya dengan berdoa, bahkan sebelum matahari terbit. Pagi hari, waktu hari masih gelap, Yesus bangun lalu pergi ke tempat yang sepi untuk berdoa. (Markus 1:35). Dalam doa, Yesus mencari bimbingan Tuhan dan menemukan pembaruan di tengah-tengah tuntutan pelayanan-Nya di dunia (Lukas 5:16) Yesus menghabiskan malam dalam doa sebelum Yesus memilih dua belas murid (Lukas 6:12).
Dalam hidup harian terkadang kita tidak bisa mengalami keheningan secara eksternal, sementara kita harus tetap berada dalam situasi seperti itu karena tugas dan perutusan. Dalam keadaan seperti itu, apakah kita tidak bisa mengalami keheningan sebagai perjumpaan kita dengan Allah? Tentu saja kita masih bisa mengalaminya karena Allah itu sejauh komunikasi kita dengan Allah di dalam batin.
Hal yang perlu kita sadari ketika kita memasuki keheningan adalah motivasi. Kita memasuki keheningan bukan hanya sekadar mencari keheningan dan kedamaian, bukan untuk melarikan diri dari dunia keramaian, bukan supaya diri kita menjadi kudus melainkan karena kita mau bertemu dengan Tuhan di dalam keheningan doa. Kita mau menjalin relasi dengan Tuhan agar kita dituntun dalam kehidupan harian kita.
Thomas Merton pernah mengatakan, “Jika engkau masuk ke dalam keheningan, hanya karena ingin lari menjauh dari dunia, karena dunia itu sangat tidak menyenangkanmu, engkau tidak akan menemukan kedamaian, engkau tidak akan menemukan keheningan. Kita mencari keheningan agar tumbuh dalam cinta kepada Tuhan dan kepada sesama, agar menemukan cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu bagi sesama”.
Sebagian orang beranggapan bahwa keheningan hanya untuk para rahib dan para rubiah. Sesungguhnya keheningan itu bukan hanya untuk para rahib dan para rubiah tetapi merupakan panggilan untuk semua pengikut Kristus. Dalam injil Yohanes, Yesus berkata: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak” (Yohanes 15:4-5). Ajakan Yesus untuk tinggal bersama-Nya dapat kita artikan sebagai keheningan internal. Dan ketika mengalami keheningan internal, kita akan selalu memberikan atau menghasilkan buah-buah rohani dalam kehidupan kita. Tanpa buah rohani itu bukanlah keheningan sejati.
Telah seminggu ia berada di pertapaan Rawaseneng. Kini saatnya ia harus kembali ke rumah. Semoga pengalaman keheningan selama di pertapaan ini bisa ia alami ketika ia menjalani hidup sehari-hari, meskipun secara eksternal tidak persis sama saat ia berada di komunitas kontemplatif ini. Ia perlu meluangkan waktu hening di pagi hari sebelum ia memulai aktivitas harian atau sore hari setelah kesibukan selama seharian. Seperti tanda baca dalam sebuah naskah yang akan memudahkan kita memahami naskah tersebut, demikain juga keheningan akan memampukan kita memahami naskah kehidupan harian kita
Ia berharap terhadap dirinya sendiri agar pengalaman keheningan selama di pertapaan ini membuat dirinya mencintai saat-saat hening dalam hidup harian sehingga ia dimampukan hidup di hadapan hadirat Allah. Allah yang selalu menuntun!
*Penulis adalah Rahib dan Imam – Mount St. Yoseph Abbey –Roscrea Co. Tipperary- Irlandia.
Saat ini sedang berada di Rawaseneng