Memerlukan Pengorbanan

Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*

Ia mengenakan pakaian kebaya warna putih dengan corak bunga warna merah di bagian depan membentuk dua garis merah yang indah dan juga lingkaran merah di ujung lengan. Ada hiasan pita warna putih menghiasi rambut hitamnya. Ia mulai menyapa pemirsa kanal YouTube-nya dengan suaranya yang lembut selembut wajahnya. Namun setiap kata diucapkan dengan artikulasi yang cukup jelas. Setelah menyapa, ia mengajak pemirsa untuk berdoa bersama-sama bagi Bapa Paus Fransiskus yang melakukan perjalanan apostolik ke Indonesia tanggal 3 sampai 6 September 2024. Ia memperlihatkan gambar Bapa Paus Fransiskus lalu membacakan doa tersebut. Mengingat bahwa ia masih seorang anak berusia sembilan tahun, pasti ada orang dewasa atau orang tua yang membimbingnya sehingga ia berani tampil di depan kamera

Kita semua pernah melalui fase pertumbuhan yang disebut masa kanak-kanak, saat-saat istimewa ketika orang tua membentuk kita, mengajari kita hal-hal yang benar yang harus kita lakukan dan hal-hal yang harus kita hindari. Terkadang mereka mendidik  kita dengan belas kasih, namun terkadang kita dididik dengan disiplin karena sebagai anak-anak kita terkadang tidak mau menaati apa yang orang tua minta untuk kita lakukan. Hal itu mereka lakukan untuk mendidik kita. “Didiklah anakmu dalam jalan yang seharusnya, bahkan pada masa tuanya, ia tidak akan menyimpang dari padanya.” ( Amsal 22:6).

Melihat anak-anak kadang mengingatkan saya akan sikap Yesus terhadap anak-anak. Yesus sangat mencintai anak-anak dengan mengundang mereka untuk datang kepada-Nya. Ia memeluk mereka sebagai ungkapan kasih sayang dan memberkati mereka. (Matius 19:13-15, Lukas 18:15-17). Berbeda dengan sikap para murid yang justru melarang  anak-anak untuk datang kepada-Nya. Para murid tidak ingin anak-anak mengganggu Yesus. Namun Yesus mengatakan: ”Biarlah anak-anak itu, jangan menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku.”. Dengan demikian Yesus memberikan contoh kepada para murid dan kita semua agar mencintai anak-anak dalam kehidupan kita.

Kenyataannya ada pribadi-pribadi yang tidak menyukai anak-anak. Bagi mereka anak-anak hanya merepotkan kehidupan mereka. Bahkan ada orang yang menganut paham childfree, artinya mereka memilih tidak memiliki anak setelah memasuki sebuah pernikahan. Alasan yang dikemukakan bahwa mereka sudah cukup bahagia tanpa memiliki anak. Ada pasangan suami-istri yang tidak mau memiliki anak karena mereka masing-masing terlalu sibuk sehingga tidak ada waktu untuk mengurus anak. Alasan lain karena mereka tidak mau menghabiskan waktu untuk membesarkan anak. Mereka lebih memilih menggunakan waktu mereka untuk mengejar mimpi-mimpi mereka.

Memiliki anak memerlukan pengorbanan yang besar, terutama dari sisi waktu, pikiran dan tenaga. Tidak selalu mudah bagi para orang tua untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Sebagai orang tua mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan jasmani saja tetapi juga mereka harus memberikan perhatian pada aspek rohani. Mereka perlu menanamkan iman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kitab Ulangan 6:4-9 dikatakan bahwa orang tua harus mewariskan dan mengajarkan iman mereka kepada anak-anak mereka. Mereka harus berbicara tentang Tuhan setiap saat. Dengan cara ini seorang anak akan berkembang dengan baik. Dan jika para orang tua setia melaksanakan, mereka juga akan berkembang secara rohani dan memperoleh berkat dan sukacita serta keselamatan.

Keberadaan anak-anak di dunia ini selalu mengingatkan kita akan aspek kegembiraan dalam kehidupan. Bahkan Yesus meminta kita belajar dari sikap seorang anak kecil dengan mengatakan, “…jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga. Sedangkan barang siapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Surga (Matius 18:3-4). Yesus melihat kejujuran, kemurnian, tidak ada kepura-puraan atau kemunafian pada anak-anak. Spiritualitas seperti itulah yang harus kita teladan dalam diri anak-anak agar kita bisa berjalan menuju keselamatan.

Mereka bersyukur dan bahagia karena telah dianugerahi  seorang putri dan seorang putra. Anugerah tersebut membawa mereka ke sebuah tanggungjawab untuk mendidik buah cinta mereka. Mereka mengajarkan pondasi iman Katolik dengan membiasakan anak-anak untuk berdoa sebelum dan sesudah makan, doa sebelum tidur dan saat bangun pagi. Mereka  terutama fokus mendidik bagi sang putri yang saat ini sudah berusia 9 tahun agar memiliki iman yang kokoh dan juga bisa menjadi teladan bagi adiknya yang saat ini baru berusia 2 tahun. Dalam keseharian, mereka membiasakan diri untuk makan bersama, minimal saat makan malam dan ketika hari libur. Meja makan menjadi sarana yang tepat untuk kebersamaan dan saling bercerita tentang pengalaman seharian yang sudah berlalu. Kebersamaan dalam keluarga tetap mereka usahakan meskipun masih harus berbagi waktu dengan kesibukan agenda kerja yang lumayan padat.

Mereka  selalu mengusahakan untuk menghadiri perayaan Ekaristi bersama, entah itu di hari Sabtu sore atau Minggu. Ekaristi menjadi pondasi dan sumber kekuatan utama bagi mereka sebagai orang Katolik. Mereka juga terlibat dalam kehidupan menggereja di lingkungan,  misalnya mengikuti doa rosario, ibadat BKSN, masa Adven, kegiatan APP  dan juga perayaan ekaristi lingkungan. Mereka mengusahakan anak-anak ikut bersama mereka dalam kegiatan tersebut karena pentingnya keterlibatan menggereja sejak dini bagi anak-anak. Itulah yang mereka terapkan dan biasakan bagi anak-anak dalam perkembangan iman mereka untuk mengonter perkembangan teknologi  yang di satu sisi memiliki efek yang kurang baik bagi daya kembang anak-anak. Mereka berharap agar anak-anak mereka dapat menjadi berkat bagi sesama dan Gereja masa depan

.*Penulis adalah Rahib dan Imam – Mount St. Yoseph Abbey –Roscrea Co. Tipperary- Irlandia. Saat ini sedang berada di Rawaseneng

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *