Oleh BAVO BENEDICTUS SAMOSIR, OCSO*
Akhirnya umat mengetahui secara resmi bahwa romo paroki mereka akan pindah tugas, setelah gembala mereka tersebut menyampaikannya di akhir misa minggu itu. Ia mengucapkan terimakasih atas kerjasama umat selama lima tahun ia melayani sebagai gembala mereka. Ia memohon maaf jika ada kekurangan dalam pelayanan dan mohon doa untuk tugas pelayanannya di tempat yang baru. Dan tidak lupa ia meminta agar mereka saling mendoakan, meskipun tidak lagi bersama dalam perjalanan iman di dalam sebuah paroki.
Umat merasa kehilangan sosok imam yang mereka cintai akan meninggalkan mereka menuju ke tempat perutusan yang baru. Umat akan mengenangnya sebagai imam yang memiliki kedekatan dengan umat dari semua kalangan. Semua kalangan mendapat tempat yang sama di hatinya. Imam yang dalam hidup pelayanannya kepada umat menampakkan gambaran hidup Yesus yang datang untuk melayani bukan untuk dilayani. (Markus 10:45) Imam yang selalu menyemangati umat untuk ikut terlibat dalam dinamika tumbuh kembangnya kehidupan umat di paroki. Imam yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas perutusan, memiliki prinsip yang kuat namun memiliki hati yang seluas langit untuk menerima setiap masukan dan ide dari umat demi perkembangan kehidupan umat beriman.
Umat menyadari tidak ada makhluk yang sempurna di dunia ini, namun mereka melihat dan mengalami bahwa ia adalah sosok gembala yang baik. Kini mereka akan kehilangan sosok gembala tersebut, namun berharap suatu saat akan kembali menggembalakan mereka dalam perjalanan iman di dunia fana ini.
Gereja memiliki standar kelayakan untuk menahbiskan seseorang menjadi imam. Namun sesungguhnya tidak seorang pun layak menerima anugerah panggilan menjadi imam karena kita semua makhluk yang berdosa, manusia yang memiliki dosa asal. Itulah sebabnya seorang imam tidak bisa membanggakan diri atas anugerah imamat yang ia terima. Kebanggaan yang harus ia banggakan ialah bahwa ia berbangga atas belas kasih Allah terhadap dirinya.
Tuhan yang menjadikan seseorang layak ketika Ia memilih siapapun yang Ia kehendaki. Yang diminta dari setiap pribadi yang terpanggil menjadi imam adalah terbuka untuk memberikan diri dalam pelayanan seturut teladan Yesus Kristus. Ia mau berusaha mencerminkan kebaikan Kristus dalam kehidupan sehari-harinya. Itu sebabnya mengapa imam harus memiliki kedekatan dengan Yesus Kristus, memiliki relasi yang dekat dengan Sang Imam Agung. Dari relasi secara pribadi dengan Yesus Sang Gembala Agung akan memampukan dia menjadi gambaran Sang Gembala Agung dalam pelayanan kepada umat. Gembala yang penuh perhatian terhadap umat, selalu memberikan waktu dan hadir khususnya ketika umat mengalami persoalan kehidupan, sehingga umat merasakan kasih setia Tuhan dalam diri imam. Kedekatan dengan Yesus akan menjaga anugerah imamat yang telah ia terima untuk pelayanan kepada umat. Kedekatan dengan Yesus akan memampukan imam menjalani pengalaman Taman Getsemani bersama-Nya,
Dalam kenyataan bisa terjadi imam melalaikan kedekatan dengan Yesus, karena kesibukan pastoral atau alasan lainnya. Padahal “tanpa keakraban dengan Yesus Kristus dalam persekutuan spiritual dan kehidupan doa yang mendalam, pelayanannya hanyalah sekadar sebuah usaha sakramentalisasi yang dangkal” (Presbyterorum Ordinis 4). Pelayanan yang dilakukan hanya menjadi proyek pribadi yang hanya menunjukkan keunggulan diri. Paus Fransiskus mengatakan: “Tanpa kedekatan dengan Yesus melalui mendengarkan Sabda, perayaan Ekaristi, keheningan Adorasi, devosi kepada St. Perawan Maria, pendampingan dari seorang pembimbing, sakramen rekonsiliasi, seorang imam hanyalah seorang upahan.”
Melalaikan kedekatan dengan Yesus bisa berimbas melalaikan kedekatan persaudaraan dengan imam yang lain dalam paroki. Bisa terjadi imam dalam sebuah paroki sukses dalam tugas perutusan bersama umat, namun tidak berhasil membina persaudaraan bersama imam di paroki di mana mereka mendapat perutusan di tempat yang sama. Hidup dalam satu paroki namun saling menjaga jarak, masing-masing mengurus kepentingan sendiri, tidak mau terlibat dengan beban atau persoalan imam yang lain dan juga tidak mau melibatkan imam yang lain dalam persoalan hidupnya. Kita semua menyadari bahwa tidak mudah hidup dalam komunitas, namun itu bisa diusahakan dalam kesabaran, kerendahan hati, keterbukaan hati dan mengesampingkan ego diri. Untuk itu seorang imam perlu memiliki kedekatan dengan Yesus di mana ia mengalami lebih dahulu kasih setia Yesus, kemudian ia akan membagikan pengalaman kasih setia itu kepada sesama imam. Dan jika persaudaraan antara imam terjadi maka di situ ada kebahagiaan dalam menjalani panggilan imamat mereka.
Sesungguhnya hatinya juga berat untuk meninggalkan umat yang telah lima tahun bersamanya. Namun ia harus melepaskannya karena ketaatan kepada bapa uskup. Ia mengimani bahwa ketaatannya mengungkapkan persatuan dirinya dengan pelayanan uskup. Ia mengimani bahwa ketaatan akan membantunya untuk menghidupi apa yang disebut melakukan kehendak Allah. Ia mengimani bahwa dengan ketaatan akan membantunya untuk terhindar dari sikap menganggap diri yang selalu benar. Ia sadar bahwa ia bukanlah makhluk yang sempurna. Ia makhluk yang bisa salah. Ketaatan akan membantunya terhindar dari kesalahan saat mengambil setiap keputusan dalam hidupnya. Ia menerima apa yang bapa uskup minta darinya dengan demikian ia mau mengikuti jejak Kristus Sang Gembala Agung yang taat kepada Allah Bapa dalam tugas perutusan meski harus wafat di kayu salib. Ia sadar bahwa ia membutuhkan rahmat pertolongan dari Yesus Kristus yang dari Dia, ia ambil bagian dalam tugas perutusan sebagai imam. Ia selalu memohon doa dari Bunda Maria, Bunda para imam, agar mampu meneladan kesetiaannya dalam mengikuti Putranya, Sang Imam Agung. Dan mohon bantuan doa dari St. Yohanes Maria Vianney dari Ars, sang pelindung imam paroki, agar dia setia dalam jalan panggilan imamat.
*Penulis adalah Rahib dan Imam – Mount St. Yoseph Abbey –Roscrea Co. Tipperary- Irlandia. Saat ini sedang berada di Rawaseneng