Paus Fransiskus menaruh perhatiannya pada ekonomi yang didasarkan pada semangat yang dihidupi Santo Fransiskus Assisi. Demikian Romo Telephorus Krispurwana Cahyadi SJ menegaskan dalam Seminar Ekonomi Fransiskus yang digelar Keuskupan Bandung, 19 Juli 2024. Dalam seminar yang dihelat untuk memperingati 100 Tahun Konferensi WaIigereja Indonesia (KWI), kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia serta relevansinya terhadap Ajaran Sosial Gereja (ASG) menghadapi era Society 5.0, dan juga sub tema Fokus pastoral Keuskupan Bandung tahun 2024 “Sukacita Ekonomi Kreatif”, Romo Kris menjelaskan panjang lebar mengenai keberpihakan Paus Fransiskus pada kaum lemah dan terpinggirkan.
Menurut Romo Kris, keberpihakan Paus Fransiskus sudah terlihat ketika ia memilih nama kepausannya Fransiskus yang merujuk pada Santo Fransiskus Assisi. “Itu nama yang mengejutkan. Tidak pernah ada Paus sebelumnya memakai nama ini. Tetapi nama ini dipilih dengan sebuah pesan karena nama itu memuat pesan. Apa pesannya? Karena Fransiskus Assisi itu adalah kalau kita bicara tentang dialog agama, kita bicara tentang perdamaian, kita bicara tentang ekonomi (tata sosial ekonomi politik, kemiskinan), maka nama Fransiskus Assisi ini adalah patronnya, adalah pelindungnya, adalah tokohnya,” kata Romo Kris.
Romo Kris pun menyampaikan, Santo Fransiskus Assisi menjalin dialog agama dengan Sultan Malik dari Mesir, menggalang perdamaian dan memberi perhatian kepada ekologi. “Tetapi pesannya adalah kalau kita bicara tentang dialog agama, perdamaian, ekologi, dan juga tata sosial ekonomi, sosial politik, maka yang menjadi kurban, yang menjadi dampaknya adalah kemiskinan. Kurban utama dari semuanya itu orang miskin,” tandasnya.
Menurutnya, Paus Fransiskus ingin menempatkan figur dan sosok Santo Fransiskus Assisi yang lahir di Assisi, tidak hanya dalam konteks dialog perdamaian dan ekologi, tetapi juga di dalam konteks bagaimana kita memandang, menilai dan memperhatikan, dan merefleksikan tentang tata sosial ekonomi dan politik. “Maka di Assisi-lah, Paus kemudian mengeluarkan Fratelli Tutti, bahkan ensiklik tentang ekologi Laudato Si’ dan kemudian diteruskan lagi dengan Laudate Deum. Itu juga terinspirasi dari figur dan sosok Fransiskus Assisi ini,”katanya.
Romo Kris mengatakan, Gereja sejak awal senantiasa menyadari, memiliki tanggung jawab iman dan moral dan punya peran sosial dalam dunia kehidupan.
Romo Kris pun menjelaskan keberpihakan Paus Fransiskus mulai dari pesan Prapaskah 2024: Bukalah Mata. “Pesan Prapaskah dari Paus Fransiskus di tahun 2024 ini, mengajak kita untuk membuka mata. Membuka mata itu ajakannya. Pertobatan diawali dengan kita membuka mata,” katanya. Paus menyampaikan, bahwa kita kerap “memuja uang, memuja kemakmuran”. Kalau dalam kisah umat Israel di Alkitab, disimbolkan sebagai memuja patung lembu emas. Paus ingin mengajak kita ke arah yang baru dalam tata ekonomi, tidak mengejar profit, tapi mengejar common good, kepentingan umum, kesejahteraan bersama. “Dan pada saat Paus berbicara tentang pandemi Covid 19, Paus mengatakan ada sesuatu yang salah di dalam tata dunia ini. Bahwa pada saat kita mengejar profit, kita mengejar keuntungan, kita mengejar, apa namanya, kesejahteraan yang hanya sepihak saja, lalu akibatnya apa? Yang terjadi adalah kerusakan alam. Yang terjadi apa? Krisis, pandemi,” kata Romo Kris.
Paus menyampaikan perlunya memperlambat hidup ini supaya hidup kita menjadi lebih sehat. “Dan Paus juga mengatakan ketika orientasi pada profit, ada hal yang paling pokok dan dasar dalam hidup ini yang kita abaikan yaitu kesehatan dan pendidikan. Biaya untuk itu, anggaran untuk itu tidak mendapatkan perhatian besar dari semua penyelenggara dunia. Apalagi kalau bicara tentang perang, Paus mengatakan, bahwa seringkali uang dihabiskan banyak untuk senjata. Dan industri senjata itu justru menciptakan perang,” katanya.
Prinsip ajaran sosial Gereja: Fransiskus
Ajaran Sosial Gereja (ASG) dikeluarkan pertama kali oleh Paus Leo XII tahun 1881 yakni ensiklik Rerum Novarum. Menurut, Romo Kris, ASG diteruskan sampai sekarang dengan berbagai dokumennya oleh para paus selanjutnya. “Kita melihat bagaimana prinsip-prinsip ajaran sosial Gereja itu mendapatkan, diulangi, ditegaskan, tapi mendapatkan nuansa dengan bahasa baru,” katanya. Beberapa prinsip ASG pun disampaikan oleh Romo Kris. Pertama, membela martabat pribadi, kepentingan umum (common good). “Martabat pribadi manusia itu yang menjadi prioritas karena bukan profit tapi martabat pribadi. Kepentingan umum: jangan sampai kita memperjuangkan hanya kepentingan sempit belaka, kepentingan keluarga, kepentingan kelompok tertentu saja, bukan. Kita memperjuangkan kepentingan umum,” katanya.
ASG juga berprinsip memberi keberpihakan kepada kaum miskin. “Mengapa kaum miskin? Karena mereka itu seringkali tersingkir, diabaikan dari semua kebijakan-kebijakan sosial ekonomi dan politik. Mereka menjadi korban. Mereka tidak punya akses, tetapi mereka selalu menjadi kalah, dipinggirkan dan disingkirkan. Maka, kesenjangan sosial itu makin terjadi,” katanya.
ASG juga menegaskan tentang maksud universal akan barang-barang milik. “Barang milik itu tidak pernah punya konotasi privat belaka, tetapi milik barang itu punya konotasi sosial, untuk dibagikan, untuk apa? Untuk dipakai demi kehidupan bersama. Kita ingat ketika dalam kisah Injil ada sekian banyak orang mendengarkan ajaran Yesus dan sudah sore hari, para murid mengusulkan supaya mereka pergi untuk mencari makan, tapi Yesus mengatakan “Kamu harus memberi mereka makan!” Punya tanggung jawab. Milik itu untuk dikeluarkan dan dibagikan dan dari situlah terjadi mukjizat. Jangan sampai kita itu mempunyai sesuatu, tapi kita hanya pakai sendiri, hanya demi keuntungan dan kepentingan diri belaka,” terangnya.
Selanjutnya, ASG juga mempunyai prinsip solidaritas (kepedulian kepada sesama) dan subsidiaritas. Subsidiaritas, menurutnya, memberi ruang-peluang bagi orang lain supaya tidak segala sesuatu itu ditentukan dari atas, tetapi juga memberi ruang dan peluang dari bawah. “Bahkan Paus Fransiskus mengatakan perubahan datang dari bawah. Perubahan datang dari pinggiran, karena memberi ruang. Dia sampai mengatakan seringkali kebijakan-kebijakan dibuat for the people, but not with the people. Jadi tidak melibatkan,” katanya.
Ajaran Sosial Gereja yang diusung Paus Fransiskus juga memberi perhatian pada bumi rumah kita bersama (common home) yang mengajak kita untuk memperhatikan tentang lingkungan, ekologi. “Ini rumah kita bersama, maka perlu kita perhatikan. Apalagi lalu dikatakan ketika Paus berkunjung ke Kanada, kalau kita membuat kebijakan, membuat keputusan, pikirkanlah dan bayangkanlah dampaknya untuk 100 tahun ke depan. Kalau kita hanya mencari keputusan-keputusan sesaat, keuntungan sendiri belaka, mungkin hanya berpikir untuk 5-6 tahun belaka,” katanya.
Paus Fransiskus melalui ajaran sosialnya, juga membantu kita untuk membuat pilihan-pilihan dalam setiap keputusan-keputusan sosial ekonomi-politik. “Menyumbangkan keterlibatan mereka yang tersingkir, mengangkat mereka yang lemah ke kesejahteraan bersama, dan perlindungan akan ciptaan. Jadi, kita diajak Gereja, diajak untuk membantu apa? Supaya Gereja menyuarakan segala keputusan-keputusan bahkan dalam bidang ekonomi, sosial ekonomi, melibatkan mereka yang tersingkir. Dan itu ditampakkan dalam perjalanan sinodalitas Gereja ini. Mereka yang biasanya tidak didengarkan, didengarkan. Dan mereka diberi ruang untuk mengekspresikan apapun sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing,” katanya.
Paus Fransiskus pernah menyampaikan, ada virus pandemik yang lebih besar, lebih parah, lebih menakutkan, dan lebih menghancurkan, yaitu ketidakadilan sosial, kesenjangan kesempatan, marginalisasi dan langkanya perlindungan bagi mereka yang paling lemah. “Dan bagi Paus, ini pandemi yang lebih parah, yang lebih mencekam, akan lebih menakutkan, lebih merusak efeknya dibandingkan daripada Covid-19. Maka dia mengajak, pandemi Covid 19 dapat dikatakan sudah selesai. Tapi pandemi yang lebih besar, lebih masif menghantui kita semua,” ujar Romo Kris.
Paus Fransiskus menekankan pentingnya nilai-nilai solidaritas. Milik pribadi punya nilai sosial. Kunci untuk membangun hidup bersama adalah solidaritas. Tak hanya Paus Fransiskus, semangat solidaritas juga dilakukan Paus Yohanes Paulus II ketika mendukung gerakan Solidarność di Polandia yang meruntuhkan komunisme. “Solidaritas itu kata kunci dalam ajaran sosial Gereja yang juga ditekankan oleh Yohanes Paulus II. Kita jangan menjadi egois, narsis. Hanya menumpuk. Hanya milik dipakai untuk pamer. Apalagi kita melihat dalam masyarakat kita pamer kekayaan. Ada crazy rich dan sebagainya. Yang terjadi apa? Yang terjadi adalah rasa iri. Yang terjadi adalah kemarahan. Dan bisa terjadi kriminalitas,” kata Romo Kris.
Menurut Romo Kris, Paus Fransiskus berpendapat, tidak adanya solidaritas akan memunculkan kriminalitas, kejahatan makin besar. Selain itu juga terjadi korupsi yang makin parah. “Korupsi, bagi Paus Fransiskus, itu mencuri dua kali. Mencuri barang atau milik yang bukan menjadi haknya. Tetapi juga mencuri untuk apa? Hanya untuk memperkaya diri. Itu terjadi karena apa? Solidaritas tidak tumbuh,” kata Romo Kris. Semangat solidaritas Paus Fransiskus juga dinyatakan dalam ensiklik Fratelli Tutti.
Paus Fransiskus juga memberi perhatian yang sangat tinggi dengan membangun keberpihakan pada yang miskin dan tersingkir. Demikian juga Paus Fransiskus menghargai prinsip subsidiaritas. “Hargai otonomi dan kapasitas setiap orang terlebih yang kecil untuk ambil bagian dalam kebijakan bersama. Dan ini mau diajarkan kepada kita supaya apa? Kita memakai prinsip subsidiaritas. Dari bawah bersama semua. Dari bawah, dari pinggiran, dan with the people,” kata Romo Kris.
Menurut Romo Kris, Paus Fransiskus menegaskan, bahwa kita tidak hidup dalam tata ekonomi yang datang dari pemikiran liberal dan englightment. “Juga tidak dari ekonomi datang dari komunisme. Ekonomi yang dibangun, mau diajarkan, dipromosikan Gereja adalah ekonomi berbasis komunitas. Berasal dari bawah,” katanya.
Paus Fransiskus menghendaki kita untuk masuk ke pinggiran, karena apa? “Karena orang-orang yang berada di pinggiran itu terluka hatinya, dan juga jiwanya terluka. Maka kita Gereja diajak pergi kepada mereka, pada tiga kata kunci closeness, encounter dan compassion kepada orang-orang yang di bawah, orang-orang di pinggiran,” katanya.
Menurutnya, Paus Fransiskus juga menyayangkan, cukup banyak para benefactor Gereja, para donatur yang memberi sumbangan dari “the blood of many people”. “Mengeksploitasi memperlakukan orang secara tidak adil, dan juga memperbudak orang,” katanya.
Paus, lanjut Romo Kris, juga tidak menghendaki kita mengorbankan segalanya di atas efisiensi, demi efisiensi dan seringkali efisiensi itu disebut golden calf (patung lembu emas). “Lalu demi efisiensi, demokrasi, keadilan, kebebasan, keluarga, ciptaan ini dikorbankan. Dan kita melihat situasi ini juga terjadi. Demokrasi dikorbankan. Indeks demokrasi turun,” kata Romo Kris. Selain itu, kesenjangan makin muncul, kebebasan pendapat dihancurkan, bahkan keluarga-keluarga dan alam ini rusak. Romo Kris mengatakan, ekonomi yang tidak adil hanya menghasilkan ketidakadilan. “Masalah dunia tidak akan selesai karena tata ekonomi kita, pasar kita atau juga kecenderungan kita untuk lebih sibuk dengan spekulasi finansial. Maka yang terjadi adalah kemiskinan tetap ada, persoalan kesenjangan dan ketidakadilan akan selalu ada,” katanya.
Tantangan saat ini yang terjadi adalah pengangguran, kesenjangan sosial-kemiskinan, dan perubahan iklim-kerusakan lingkungan. “Sebagaimana itu sering disebut oleh Paus, maka tingginya angka pengangguran menunjukkan bahwa tata ekonomi kita itu ada sesuatu yang salah. Juga kerusakan lingkungan. Dalam Laudato Si maupun Laudete Deum, Paus mengatakan ada sesuatu yang salah. Laudato Si’ yang bicara tentang ekologi dilanjutkan dalam Laudete Deum karena Paus melihat setelah sekian tahun tidak ada perubahan apa-apa itu. Para pemegang kebijakan, pemimpin-pemimpin cuek saja itu. Maka Paus mengeluarkan Laudete Deum untuk mengatakan, ini situasinya mendesak, kita harus berbuat sesuatu,” kata Romo Kris.
Dalam Laudato Si’ 160, Paus Fransiskus menyampaikan pertanyaan reflektif untuk kita semua. “Dunia macam apa yang ingin kita tinggalkan untuk mereka yang datang sesudah kita, anak-anak yang kini sedang bertumbuh kembang?” (LS 160). “Maka kita punya tanggung jawab akan masa depan dunia. Kalau kita menghasilkan kesenjangan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan yang makin parah, maka kita akan mewariskan dunia yang lebih parah, dunia yang lebih terluka,” kata Romo Kris.
Ajakan dan peringatan
Dengan menimbang pada ajaran Paus Fransiskus, Romo Kris menyampaikan, beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, mengubah struktur dan sistem yang menghasilkan kesenjangan. Demikian pula struktur yang menghasilkan kemiskinan, ketidakadilan dan budaya membuang. “Apa itu budaya membuang? Menyingkirkan sesama, mengabaikan, tidak melibatkan sesama. Itu budaya membuang. Maka, Paus juga mengatakan karya karitatif belaka itu kurang cukup. Perlu ada karya yang lebih mau mendobrak dan kalau bisa mengubah walaupun dari yang sederhana, kecil,” ujar Romo Kris.
Dua, menghentikan konsumsi yang berlebihan dan produksi yang tanpa batas. “Maka, paus juga mengatakan kalau kita mau peduli tentang masa depan hidup ini, kita harus menjadikan hidupnya lebih sederhana. Tidak menjadi konsumtif. Tetapi kita tahu bahwa pemerintah ingin mengajak kita belanja-belanja-belanja. Tapi akibatnya apa? Lalu akibatnya kita sendiri yang akhirnya termakan oleh budaya yang konsumtif, tetapi juga masa depan dunia itu kita pertaruhkan. Perlu ada perubahan,” kata Romo Kris.
Tiga, ketimpangan sosial adalah ancaman, ada kelompok masyarakat yang tertinggal dan terabaikan. Pada 28 April 2014, Paus Fransiskus melalui akun twitter-nya (sekarang X), mengunggah “Iniquitas radix malorum.” “Kesenjangan adalah akar dari segala kejahatan. Maka, kalau kita melihat kriminalitas, kejahatan ini dan kejahatan itu akarnya ada pada kesenjangan. Ketimpangan sosial itu bahaya,” kata Romo Kris.
Empat, uang menjadi berhala baru (patung lembu emas), pasar dan sistem finansial yang tidak melayani manusia.
Lima, institusi pelayanan publik lebih melayani diri dan kepentingannya sendiri. “Jabatan-jabatan seringkali lebih dipakai untuk mengejar apa, mengejar keuntungan dan kepentingan keluarga. Bahkan sekarang ini ada tren jabatan, gelar-gelar akademis juga dipakai untuk itu. Maka, perlu ada pembaharuan, mengembalikan peran negara. Politik itu untuk melayani masyarakat, bukan untuk melayani kelompok keluarga dan diri sendiri. Kembalikan peran negara kepada peran yang seharusnya,” katanya. Untuk itu, selaras dengan pernyataan Paus Fransiskus, “Saya lebih suka memandang dunia (Gereja) yang terluka, yang kotor, karena ada di jalan-jalan daripada Gereja yang nyaman berada di luar (Evangelii Gaudium)”, maka, kita diajak untuk berada di tengah masyarakat. “Paus mengajak Gereja ini keluar, keluar di tengah masyarakat, membuat sesuatu supaya ada perubahan dalam masyarakat, supaya kepentingan umum dan kesejahteraan bersama semakin hidup,” kata Romo Kris.
Menurut Romo Kris, kita perlu menghidupi persaudaraan. Dalam pengambilan keputusan, kita juga harus peduli pada orang-orang miskin. “Kalau kita tidak melihat itu lalu akibatnya apa? Akibatnya keputusan-keputusan dan juga kepentingan politik hanya sampai kepada kepentingan, interest, kepentingan privat belaka dan kalau kita tidak menunjukkan tanggung jawab kita untuk peduli kepada orang miskin, kepada sesama, maka krisis akibat ekonomi finansial yang merusak dan politik yang merusak ini akan terus berlanjut,” katanya. Menurutnya, kita mempunyai tanggung jawab membangun dunia yang lebih baik.