Oleh BAPAK JULIUS KADINAL DARMAATMADJA, SJ
Pembukaan
Karena tulisan ini untuk menyambut Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, maka yang dimaksud dengan merdeka adalan bebas dari penjajahan oleh Bangsa Belanda. Dan bebasnya dari penjajahan Belanda itu, untuk mandiri menjadi bangsa yang dipimpin oleh orang bangsanya sendiri. Setelah merdeka atau mandiri, berniat untuk membangun bangsa dan negaranya sendiri di tanah airnya sendiri pula. Kita membangun diri sebagai bangsa dan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan berazaskan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara.
Merdeka dengan tujuan yang mulia: ingin saling mengabdi sesama berdasarkan UUD 1945, berazaskan Pancasila, dengan sila pertamanya Ketuhanan yang Maha Esa. Berarti berazaskan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Karena setiap agama mengajarkan kita untuk hidup damai dengan umat lainnya (bdk Prof. Syafii Maarif dalam Kuliah Umum Mahatir Global Peace School (MGPS), 24/2/2014, di Ruang Treaty Room, International of Diplomacy and Foreign Affairs, Kuala Lumpur Malaysia), maka semua umat beragama dan kepercayaan di Indonesia dapat mengamalkan iman agama dan kepercayaan masing-masing. Kita Umat Katolik juga mengamalkan cinta kepada Allah dan sesama sebagai dasar pengabdian kita kepada sesama yang hidup di Tanah Air Indonesia. Jadi yang kita bicarakan bukan merdeka dari penjajahan Belanda saja, melainkan merdeka untuk berbakti kepada Tanah Air Indonesia, rumah kita bersama sebagai bangsa dan negara, dengan dasar UUD 1945 dan berazaskan Pancasila.
Wujud bakti kepada tanah air
Wujud bakti kepada tanah air, karena sudah merdeka, adalah hidup dan bekerja berazaskan Pancasila. Untuk Umat Katolik, tentu diterangi iman Katolik.
a. Pentingnya sila 1 dan 2 Pancasila sebagai dasar
Apa yang akhir-akhir ini terjadi adalah banyaknya orang tidak beretika dan moral dalam menjalankan tugas sehari hari. Sehingga hidup dan karya pelayanan mereka terhadap sesama warga bangsa dan negara tidak dipertangung-jawabkan kepada Allah maupun kepada sesama. Hidup keagamaan mereka terbatas hanya dalam ungkapan iman dalam ibadat dan upacara keagamaan, tidak menyinari pelaksanaan hidup, tidak ada pelaksanaan iman dalam perbuatannya. Hati nurani entah mati, entah tak berfungsi. Perbuatan yang tidak jujur, menipu, memalsu (piagam prestasi drum band dari Malaysia yang dicurigai palsu, sampai profesor abal-abal), korupsi marak. Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam sekolah, pelecehan seksual juga terjadi. Yang terakhir, mengutak-atik hukum, seperti yang terjadi di Mahkamah Konstitusi dan MA, demi kepentingan nepotisme, sehingga melahirkan guyonan: MK untuk kakak, dan MA untuk adik. Sepertinya di mana ada celah dan kemungkinan, di situ ada penyelewengan. Sampai ada juga yang tega memperdagangkan orang. Di tingkat pemerintahan sampai Bivitri Susanti dan pakar-pakar hukum berkali-kali menyampaikan kritik, dan Sukidi dalam analisa politiknya membuat tulisan di Harian Kompas, dengan judul “Hukum, Alat Sandera Politik”. Karena kepentingan nepotisme, hukum diubah, sehingga tampaknya tetap mengikuti hukum seperti diharapkan dalam negara hukum. (Kompas 4/7/24). Dalam situasi macam ini bakti kita bagi Tanah Air adalah kerasulan hati nurani. Menganjurkan agar kita semua bertindak dengan bimbingan hati nurani yang benar dan baik. Sehingga moralitas hidup kita meningkat sesuai martabat kita sebagai mausia, apalagi manusia yang beriman.
Sila 1 dan 2 sungguh menjadi dasar yang kuat dalam mengisi kemerdekaan. Sila 1 menjamin agar segala aktivitas pelayanan kepada warga bangsa, tidak hanya kegiatan sosial, melainkan kegiatan iman juga. Sebaliknya, sila 2 menjamin agar kita tidak berhenti pada tugas beribadah, dan merasa kalau di bidang itu sudah baik, sudah merasa cukup. Padahal kita harus peduli sesama, terlebih mereka yang miskin, tersingkir dan menderita. Perpaduan penghayatan sila 1 dan 2 menjadi dasar penghayatan sila 3 dan selanjutnya. Menjamin 100 % umat beriman dan 100 Indonesia.
b. Pentingnya sila 3, Persatuan Indonesia
Indonesia berciri keberagaman. Baik itu keberagaman agama, suku dan pandangan hidup, dan daerah yang mereka tempati terbagi-bagi menjadi kepulauan. Istilahnya bhineka tunggal ika. Hidup di dunia macam ini orang menghadapi dua pilihan. Mengikuti tuntunan Roh Allah atau Roh Jahat. Dalam realita perbedaan, Roh Allah menyatukan, tetapi Roh Jahat sebaliknya membawa perpecahan, bahkan permusuhan. St. Yohanes Paulus II setelah selesai diadakannya Sinode khusus utuk Asia pada tahun 1998, menyampaikan pengarahan pastoral. Beliau yang memandang realita di Asia dengan keragaman suku, budaya dan agama, mencatat begini: “Daya kekuatan maut [ini istilah untuk menyebut Roh Jahat atau kuasa dosa] menyendirikan orang-orang, masyarakat dan rukun-rukun hidup religius satu dari yang lain, lagi pula menimbulkan sikap-sikap curiga dan persaingan, yang mengantar kepada konflik-konflik.” (EA 15). Jadi kedosaan merusak hubungan baik antar pribadi atau atar kelompok yang berhimpun atas dasar suku, ras agama atau atas dasar kepentinggan diri yang sama. “Sebaliknya Roh Kudus mendukung orang-orang dalam usaha-usaha mereka menumbuhkan saling pengertian, dan saling menerima”. (EA 15). Hal ini berarti membangun relasi yang retak antar manusia yang terpecah belah karena perbedaan yang ada. Memandang realita yang demikian memungkinkan kita untuk menangkap ke arah mana kita umat Katolik diharapkan berbakti kepada Tanah Air, dengan mengambil sikap untuk memihak kuasa Ilahi. Kita diundang untuk menanggapi serta mendukung arus baik yang kita jumpai, seperti usaha meningkatkan persaudaraan di tingkat RT/RW, kerjasama, gotong royong, dan lainnya, karena ke sanalah arah perjuangan kita dalam bimbingan Allah. Ke sanalah bakti kita.
c. Pentingnya sila 4 dan 5
Keinginan rakyat banyak ialah agar hidup mereka dapat sejahtera, lahir batin. Yang lahir ialah dapat hidup makmur, berkecukupan sandang pangan, papan, dan yang batin bahwa hidup bersama dalam damai dan berkeadilan serta dapat beribadah kepada Allah yang diimani tanpa gangguan. Sangat menarik ungkapan pembukaan UUD 1945 yang mengatakan bahwa: “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945.
Merdeka erat dihubungkan kecuali dengan berdaulat atau memiliki kekuasaan sendiri, juga dihubungkan dengan bersatu, adil dan makmur. Ini cermin dari sebagian nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, karena memang UUD 1945 dan konstitusi adalah penjabaran dari ideologi bangsa itu sendiri. (lihat ibid.). Dengan kata lain: setelah merdeka, ingin tetap bersatu, ingin menggapai kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera. Untuk itu semua, perlu ada Pemerintahan (kelompok eksekutif) yang demokratis, maka didampingi oleh DPR (kelompok legislatif). Dilengkapi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang masing-masing harus menjadi institusi yang independen.
Yang sangat inspiratif adalah pidato tanggal 1 Juni 1945, ketika Soekarno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara kita (lihat Republika.co.id): “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu” (Ibid). Yang dimaksudkan ialah bahwa Negara dengan segala kekayaannya adalah untuk semua tanpa kecuali. Tak ada yang tersisihkan atau terlupakan. Kita tahu bahwa tata kelola ekonomi kita sekarang adalah kapitalistis, maka selalu ada yang terpinggirkan dan tidak dapat menikmati kekayaan negara Indonesia. Sejak kemerdekaan sampai sekarang selalu ada yang miskin. Sekarang jumlah orang miskin masih 25,22 juta, pada Maret 2024 (Detik Finance). Padahal cita-cita kemerdekaan justru menghapus adanya kemiskinan. Dalam pidatonya tadi, ketika Soekarno berbicara mengenai sila 5 yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang ia maksudkan bahwa kesejahteraan itu adil dan merata. Prinsip kesejahteraan semacam ini ia sebut “prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.” (ibid.). Maka pengabdian kita semua sekarang dan selanjutnya adalah turut serta mengentaskan atau memberantas kemiskinan. Inilah wujud kebaktian kita kepada Tanah Air. Gereja-gereja Katolik se-Asia (FABC), termasuk Indonesia bersikap lebih mendahulukan kepentingan orang miskin, yang dalam bahasa Inggris sering disebut preferential option for the poor. Ke situlah pengabdian kita kepada Tanah Air, setelah merdeka. Perlu ditambahkan bahwa pengabdian kita dalam membangun ekonomi kita tidak merusak tanah, air tanah, hutan, laut dan ciptaan lain, karena kita tetap merawat lingkungan hidup. Karena yang menyebabkan adanya kesenjangan sosial adalah tata kelola ekonomi kapitalistis, sejak awal Soekarno menginginkan adanya demokrasi ekonomi. Ia merasa belum cukup dengan prinsip demokrasi dengan bentuk perwakilam rakyat saja, katanya: “Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela?” Karena “itu hanyalah politik demokrasi saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, — tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomi demokrasi sama sekali.” Untuk menjamin terlaksananya kesejahteraan rakyat yang merata, perlu ada ekonomi demokrasi, bukan ekonomi kapitalistis. Maka wujud bakti kita ialah bagaimana demokratisasi ekonomi dapat terwujud. Demokratisasi ekonomi dapat terwujud kalau pemerintah kuat dan mandiri, mengatur agar kesejahteraan rakyat tercapai. Berani membuat aturan-aturan yang pro rakyat kecil, pro buruh, petani dan nelayan. Jangan sampai terjadi justru kedekatan pebisnis dengan pemerintah, yang diuntungkan para pengusaha dan yang dirugikan pihak buruh dan rakyat kecil.
Situasi sosial ekonomis sekarang
Setelah sekian puluh tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengarungi zaman, apakah cita-cita awal bangsa bahwa merdeka yang ditandai dengan tidak ada lagi orang miskin terjadi? Sebelumnya telah disebut bahwa masih ada 25,22 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.
a. Belum ada kemajuan soal pemerataan
Yang ada kemajuan adalah kelas menengah ke atas. Dan yang paling atas terus naik penghasilannya. Berarti belum semua rakyat memiliki kekayaan Indonesia. Indonesia belum menjadi milik semua. Padahal seharusnya adalah milik semua. Gereja Katolik mengajarkan demikian: “Harta benda ciptaan ini diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Hak atas milik pribadi tidak menghilangkan kenyataan bahwa harta benda ini diperuntukkan bagi semua orang.” (KGK 2452). Bahkan bagi generasi mendatang. “Pencipta telah memberikan hak untuk menggunakan bahan-bahan mentah, flora dan fauna dunia ini. Tetapi sementara itu manusia harus memperhatikan kewajiban-kewajiban susila (moral), juga terhadap generasi yang akan datang.” (KGK 2456). Perhatian kita terhadap lingkungan hidup kita harus besar. Seperti telah disebut sebelumnya, Pemerintahlah yang menentukan bentuk pemerintahan dengan kegiatan politik, sosial dan ekonominya. Maka “Sangat menentukan bagi masalah sosial, bahwa benda-benda yang diciptakan Allah bagi semua orang, benar-benar sampai kepada semua orang, sesuai dengan keadilan dan melalui cinta kasih.” (KGK 2459).
b. Di sini letak bakti kita bersama
Sebaik-baiknya Pemerintah mengatur, pasti masih ada orang yang tidak terjangkau oleh struktur yang ada, sehingga masih ada orang yang tidak mendapat akses dalam pekerjaan untuk hidup mereka. Orang miskin semacam ini secara khusus semestinya perlu mendapat uluran tangan dari Pemerintah dan kita tetangganya. “Memberi amal kepada orang miskin adalah bukti cinta kasih persaudaraan dan pekerjaan keadilan, yang berkenan kepada Allah.” (KGK 2462). Umpama yang kami ketahui, di Negeri Belanda, para pengangguran yang tidak mendapat pekerjaan dan para lansia, mendapatkan jaminan sosial dari Pemerintah. Mungkin negara lain ada yang membuat semacam itu. Ini mereka buat supaya tidak ada orang yang miskin dan terpinggirkan. Yang sangat inspiratif adalah berita di Kompas, 6/7/2024, dengan judul “Rutte dan Mujica Pensiun Tanpa Rumah dan Mobil Mewah”, kalau dibandingkan dengan pejabat-pejabat tinggi kita, yang melaporkan kekayaannya yang milyaran. Disebutkan bahwa Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda selesai tugasnya setelah 14 tahun memimpin Negeri Belanda tangal 2 Juli 2024. Ia pergi dan pulang kantor naik sepeda, seperti dilakukan setiap harinya. Ketika masih menjadi Perdana Menteri, ia kerap viral karena pergi ke kafe untuk sarapan sendirian tak ada yang mengawal. Dia sering diajak berswafoto dengan siapapun. Ketika ia menumpahkan cangkir kopinya, ia bersikeras untuk ikut mengepel lantainya yang basah. Dengan kesederhanaan dan kerendahan hatinya ia dicintai rakyatnya.
Untuk acara perpisahan dia tidak mau pidato, menerima kado. Ketika diwawancarai mengenai prestasinya sebagai Pedana Menteri, ia hanya menyebut nilainya 6 atau 6,5. Memuaskan, tetapi tidak terlalu bagus. Banyak orang Belanda suka dengan gaya Rutte yang sederhana, rendah hati dan membumi. Dia masih tinggal di apartemen yang sederhana.
Jose Mujica (88 tahun), mantan Presiden Uruguay (2010-2015), tercatat sebagai presiden termiskin di dunia. Lambang sayap kiri ini tidak mau tinggal di istana selama jadi presiden. Dia tinggal di rumah sederhananya di daerah pertanian miskin di pinggiran Montevideo, dan menyumbangkan 90% gajinya untuk rakyat miskin dan pengusaha kecil. (ibid.)
Di Swedia para pejabat wakil rakyat dilarang bergaya hidup mewah. Para menteri dan anggota parlemen kalau bepergian harus memakai bus atau kereta. Tak ada mobil dinas. Mobil dinas hanya untuk Perdana Menteri. Tak ada sekretaris pribadi juga. Memang ada nilai yang dijunjung tinggi bersama, yaitu tak ada seorang pun yang berada di atas orang lain. (ibid.). Kesejahteraan rakyat di Swedia tertinggi di dunia. Biaya kesehatan dan pendidikan ditanggung oleh pemerintah. Ini dapat terlaksana dengan sistem perpajakan yang tinggi sehinga dapat membiayai jaringan pengaman sosial yang kuat.
Penutup
Sebagai penutup, saya kira dapat dikatakan bahwa dengan ideologi Pancasila, masih tetap ada orang miskin, karena masalah kepemilikan baik lahan maupun harta benda lainnya adalah mutlak. Milik saya, ya milik saya saja. Padahal telah di katakan sebagai ajaran Gereja demikian: “Sangat menentukan bagi masalah sosial, bahwa benda-benda yang diciptakan Allah bagi semua orang, benar-benar sampai kepada semua orang, sesuai dengan keadilan dan melalui cinta kasih.” (KGK 2459). Ini tentu terutama tugas Pemerintah untuk mengatur. Berikut ini beberapa ungkapan sebagai tradisi Gereja dan ajaran Gereja menyangkut soal hak milik, yang dapat menjadi bahan renungan kita.
a. Kekayaan negara milik semua orang
“Harta benda ciptaan ini diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Hak atas milik pribadi tidak menghilangkan kenyataan bahwa harta benda ini diperuntukkan bagi semua orang.” (KGK 2452).
“Sangat menentukan bagi masalah sosial, bahwa benda-benda yang diciptakan Allah bagi semua orang, benar-benar sampai kepada semua orang, sesuai dengan keadilan dan melalui cinta kasih.” (KGK 2459).
“Hendaknya tuntutan-tuntutan keadilan dipenuhi, supaya apa yang sudah harus diserahkan berdasarkan keadilan, jangan diberikan sebagai hadiah cinta kasih. (AA 8, dikutip dalam KGK no 2446).
b. Kekayaan negara juga milik generasi yang akan datang
“Pencipta telah memberikan hak untuk menggunakan bahan-bahan mentah, flora dan fauna dunia ini. Tetapi sementara itu manusia harus memperhatikan kewajiban-kewajiban susila (moral), juga terhadap generasi yang akan datang.” (KGK 2456). Perhatian kita terhadap lingkungan hidup kita harus besar.
c. Ajaran para Bapa Gereja
St. Yohanes Krisostomus mengatakan: “Tidak membiarkan kaum miskin turut menikmati harta miliknya, berarti mencuri dari mereka dan membunuh mereka. Yang kita miliki bukanlah harta milik kita, melainkan milik mereka. (Laz 1,6 dikutip dalam KGK no 2446).
St. Gregorius Agung menyatakan: “Kalau kita memberikan kepada kaum miskin apa yang sangat dibutuhkan, kita tidak memberi kepada mereka secara sukarela pemberian pribadi, melainkan kita mengembalikan kepada mereka, apa yang menjadi hak mereka. Dengan berbuat demikian, kita lebih banyak memenuhi kewajiban keadilan, daripada melaksanakan perbuatan cinta kepada sesama”. (past. 3,21, dikutip dalam KGK 2446).
Mari kita hayati tugas bakti kita kepada tanah air dengan semangat seperti diuraikan sebelumnya. Merdeka!