Pendidik ketika mendampingi murid-muridnya dihadapkan pada pembawaan dan latar belakang yang beragam. Itu semua memengaruhi proses pendidikan dan pendampingan mengingat masing-masing anak memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Menurut psikolog dan pengajar Annastasia Ediati, itu menuntut kreativitas dari pendidik. “Menjadi tantangan bagi pendidik itu untuk berpikir bukan hanya out of the box sekarang ini, tapi berpikir no box. No box itu nggak ada sekat,” kata Annas dalam Peluncuran dan Bedah Buku “Amare et Servire, Praktik Cura Personalis di Sekolah” di Semarang, 11 Juli 2024 lalu.
Dari buku tersebut, Annas melihat, ruang kelas menjadi lebih dominan andragogi daripada pedagogi. “Kalau pedagogi kan teaching ya, guru itu maha tahu, anak-anak itu kosong, perlu diisi. Tapi kalau andragogi itu menerapkan learner, student, siswa itu sama dengan guru. Guru adalah murid dan murid adalah guru. Guru itu belajar dari muridnya,” katanya.
Untuk memenuhi kondisi tersebut, masing-masing subjek belajar membutuhkan kerendahan hati. Namun, hal ini menjadi tantangan tersendiri mengingat mindset yang telah tertanam selama ini adalah guru lebih pintar, sedangkan murid tidak tahu apa-apa. “Sulit sekali mengakui bahwa di zaman sekarang itu murid kita itu bisa jauh lebih pintar dari kita. Kita masih sibuk ngisi administrasi dapodik segala macam, mereka grosak-grosek (mencari-cari di berbagai media, red) itu tambah pintar. Iya, kan? Maka perlu kerendahan hati, perlu open mind, pikiran yang terbuka, mindset yang terbuka, bahwa it’s ok anak didik kita itu mengajari kita sesuatu. Dan saya butuh itu,” katanya.
Annas dengan mengutip pernyataan Steve Jobs, “…Stay Foolish!”, “…Tetaplah bodoh!” mengajak guru untuk mau belajar, “bukan baru sedikit merasa sudah pintar”.
Dengan adanya iklim saling belajar, semuanya menjadi setara dan saling mengisi. “Maka tidak muncul ungkapan-ungkapan yang merendahkan, memaki, mengumpat,” katanya. Yang ada adalah mutual respect yang selalu dibangun. “Itu syarat untuk kita melakukan andragogi atau pendekatan pembelajaran orang dewasa,” katanya.
Annas mengatakan, sering kali orang berpandangan bahwa pembelajaran orang dewasa itu hanya untuk orang dewasa. Namun, berdasar pengalamannya studi di Belanda, menurutnya pendidikan andragogi tidak seperti itu. “Di Belanda waktu saya kuliah S2-S3 biasa orang tua nanya ke anak yang belum sekolah atau anak SD, kamu nanti kalau gedhe mau jadi apa?” tuturnya. Dari hal itu nanti biasanya akan muncul diskusi panjang untuk menentukan pilihan pendidikan anak secara setara. Di situlah kerendahan hati dan pikiran terbuka menjadi penting bahwa anak punya potensi dan minatnya sendiri. Anak tidak menjadi blue print orang tuanya.
Dengan menempatkan anak sebagai guru, baik guru maupun orang tua juga belajar memahami anak. “Itu akan membawa perspektif bahwa saya perlu belajar memahami anak saya dan memberikan yang terbaik, yang tepat untuk anak saya,” katanya.
Namun, lagi-lagi, Annas menemukan praktik yang umum adalah orang tua merasa paling tahu untuk anaknya. Demikian pula ketika orang tua itu menjadi guru, dia merasa juga paling tahu untuk muridnya.
Menurutnya, dalam konteks pendidikan saat ini yang banyak memakai kemajuan teknologi, orang tua dan guru sudah selayaknya untuk rendah hati. “Kita harus dengan rendah hati mengakui kita kalah cepat loh dalam hal penguasaan teknologi, pemahaman teknologi dan ini kadang-kadang ketika berhadapan dengan murid itu membuat rasa terancam. Anak itu membuat rasa terancam. Maka kita perlu belajar berkolaborasi,” katanya.
Annas mengatakan, orang tua dan guru perlu belajar untuk mengakui bahwa mungkin dalam hal skill mereka lebih baik dari anak-anak, tapi dalam bidang lain anak-anak memang lebih hebat. Menurutnya hal itu tak masalah. Justru kita bisa senang karena pekerjaan kita bisa lebih ringan sebagai pendidik.
Dengan menghidupi semangat guru adalah murid dan murid adalah guru, maka kita diajak untuk selalu belajar dari siapapun. “Jiwanya itu jiwa punya jiwa murid. Jiwa yang mau belajar, tapi juga murid saya itu adalah diri saya maka itu akan mengizinkan kita untuk belajar dan dituntun oleh murid kita itu, oleh anak kita kalau tugasnya orang tua,” katanya.
Dalam proses selanjutnya, guru dan orang tua hanya mendampingi proses belajar murid atau anak.