Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Hubungan ekonomi dan ekologi
Perilaku kita dalam bidang ekonomi, ternyata ada banyak yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup kita, rumah kita bersama. Umpama:
- Sampah yang menggunung di kota-kota, itu sendiri sudah mencemari bumi. Belum polusi udara yang membuat orang tidak lagi menghirup udara bersih dan segar. Sampah juga banyak di selokan, sungai, pesisir lautan. Sehingga air, udara dan tanah tercemar. Juga banyak spesies kehidupan di tanah tidak dapat bertahan hidup. Untung bahwa sebagian sampah, yaitu sampah plastik sudah dapat dimanfaatkan karena didaur ulang di pabrik, dan dijadikan baju, celana, tas dan lain-lain yang berguna bagi kita.
- Penebangan hutan tropis yang mengurangi kemampuan menyerap CO2 di udara. Maka akibatnya tidak hanya tanah longsor dan banjir, tetapi CO2 yang tidak diserap hutan, menambah kepadatan gas rumah kaca, sehingga menyumbang pemanasan bumi. Pemanasan bumi juga menyebabkan perubahan iklim.
- Asap dan limbah pabrik. Pabrik dari industri kita kecuali mengeluarkan asap, juga limbah kimiawi yang kerap disalurkan ke sungai-sungai, sehingga terkadang membuat air sungai tercemar dan berwarna. Ikan dan binatang yang hidup di air banyak yang mati. Air ini juga masuk ke sawah-sawah petani dan merembes ke dalam tanah. Asap/gas pabrik-pabrik industri, ditambah gas dari truk, mobil dan sepeda motor, tidak hanya membuat udara menjadi pengap, melainkan di atmosfer kandungan CO2, metana dan ozon di udara membentuk apa yang disebut dengan Gas Rumah Kaca. (https://solarindustri.com/blog/gas-rumah-kaca/). Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang berperan dalam menjaga suhu bumi tetap hangat dengan menahan panas di permukaan bumi. Jadi sangat berguna. Namun, keberadaan Gas Rumah Kaca yang berlebihan di atmosfer dapat menyebabkan efek pemanasan global, yaitu peningkatan suhu rata-rata bumi yang mengakibatkan berbagai perubahan iklim yang berdampak pada kehidupan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, pengurangan gas emisi karbontelah menjadi isu global yang penting untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Saat ini, lebih dari separuh karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer berasal dari pembakaran bahan bakar fosil selama 30 tahun terakhir. Bahan bakar fosil adalah batu bara, serta minyak dan gas alam. Dalam 200 tahun terakhir kita telah menghasilkan terlalu banyak karbon dioksida. Hampir semua aktivitas manusia yang membutuhkan listrik atau konsumsi dan penggunaan barang-barang buatan mesin menghasilkan karbon dioksida. Karbon dioksida merupakan komponen yang paling banyak menyumbang gas rumah kaca. (ibid.). Sekarang kita sudah merasakan akibat pemanasan bumi, yaitu iklim yang berubah.
Inilah akibat dari perilaku kita dalam bidang ekonomi konvensional. Ada banyak dampak negatif bagi lingkungan hidup kita. Maka, kita menginginkan agar ekonomi kita dikembangkan menjadi ekonomi yang ekologis, meniadakan dampak negatifnya yaitu pemanasan bumi yang membawa ke perubahan iklim.
Ekonomi ekologis
Ekonomi ekologis melihat ekonomi dengan perspektif yang lebih luas dibandingkan ekonomi konvensional. Ekonomi ekologis mengakui bahwa terdapat lebih banyak hal yang berkontribusi pada kesejahteraan manusia, bukan hanya jumlah barang, tetapi lebih banyak lagi, seperti kesehatan dan pendidikan (modal manusia) teman dan keluarga (modal sosial) dan kontribusi terhadap lingkungan, baik sistem biologis maupun fisiknya (modal alam).
Tujuan dari ekonomi ekologis adalah untuk mengembangkan pemahaman yang ilmiah dan lebih mendalam terkait dengan hubungan yang rumit dan kompleks antara sistem manusia dan lingkungannya, dan menggunakan pemahaman tersebut untuk mengembangkan suatu kebijakan yang efektif, di mana kebijakan tersebut akan mengarah kondisi ekologi yang berkelanjutan, terdapat distribusi sumber daya yang adil (baik antar kelompok dan generasi manusia serta antara manusia dengan spesies lain), dan secara efisien mengalokasikan sumber daya yang langka. (https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-ekonomi-ekologis/116562/2)
Empat jenis modal utama yang dipertimbangkan di dalam ekonomi ekologis, antara lain:
- Modal yang dibangun (Built capital).
Modal ini adalah jenis modal yang biasa kita pikirkan dalam ekonomi konvensional. Modal ini mengacu pada barang dan jasa yang dibuat oleh industri, misalnya: mobil, peralatan, jalan, mainan, dll.
- Modal alam (Natural capital)
Modal alam adalah konsep yang mengakui pentingnya dan nilai barang dan jasa yang telah disediakan oleh alam. Hal ini di luar pertimbangan ekonomi tradisional di mana melihat produk alam sebagai bahan mentah yang akan diubah menjadi barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau barang yang bernilai ekonomis (misalnya: pohon menjadi rumah atau kertas). Di dalam ekonomi ekologis, produk alam tidak hanya dihitung sebagai bahan mentah, tetapi juga mempertimbangkan fungsi-fungsi yang disediakan oleh sistem lingkungan (misalnya, udara untuk bernapas, iklim yang stabil) atau ekosistem lokal (perlindungan banjir oleh hutan mangrove, dan sumber air yang disediakan oleh hutan karena adanya pepohonan.)
- Modal sosial (Social capital).
Modal sosial mengacu pada manfaat positif yang diperoleh melalui interaksi kita dengan orang lain (teman, keluarga, kelompok sosial) dan struktur umum masyarakat kita (bahasa, institusi, sistem pendidikan, hukum). Modal sosial memberikan kontribusi besar pada kesejahteraan sosial kita, tetapi hal tersebut sangat sulit untuk dihitung menggunakan istilah finansial. Misalnya, bisakah Anda menjawab berapa harga, dalam rupiah, dari kebahagianmu ?
- Modal manusia (Human capital)
Modal manusia mengacu pada kesehatan kita sendiri, pengalaman pribadi, pendidikan, bakat, ketrampilan, dan minat. Modal manusia kolektif (modal sosial) tidak dapat dimaksimalkan kecuali dengan adanya keadilan sosial, di mana setiap individu mempunyai akses yang setara terhadap peluang yang disediakan oleh masyarakat.(ibid.)
Mengembangkan ekonomi ekologis
Dalam usaha mengurangi dampak negatif ekonomi terhadap rumah kita bersama, kita jumpai usaha-usaha pemerintah. Tetapi istilah ekologis tidak muncul. Yang muncul adalah istilah ekonomi hijau. Setelah itu juga muncul istilah ekonomi biru.
- Green Economy atau ekonomi hijau sebagai sebuah konsep pembangunan telah lama digulirkan oleh media dunia atau lembaga-lembaga internasional. Di Indonesia sendiri ternyata ekonomi hijau sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan bukanlah hal baru, karena Prof. Otto Sumarwoto telah berupaya mewacanakan mengenai perihal pembangunan berkelanjutan sejak tahun 1972. Hal tersebut dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul Overview of Indonesia’s Sustainable Development, yang merekam berbagai upaya mengarah pembangunan berkelanjutan.
Dikutip dari buku Pengantar Green Economy, Green Economy sendiri merupakan salah satu faktor yang mampu memperbaiki kondisi kehidupan manusia dan keadilan sosial, dan secara signifikan mampu mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan sumber daya lingkungan.
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP) yang dimaksud green economy atau ekonomi hijau adalah kegiatan ekonomi rendah karbon, menghemat sumber daya, dan inklusif secara sosial.
Inklusif secara sosial yang dimaksud adalah merancang kegiatan ekonomi yang secara langsung dapat memberikan ruang akses yang lebih baik dan berkelanjutan terhadap layanan dasar, sumber daya, dan penciptaan lapangan kerja hijau. Pengertian green economy juga tidak lepas dari aspek perlindungan sumber daya alam dan sumber daya manusia serta pengurangan angka kemiskinan.
Saat ini pemerintah Indonesia tengah memberikan perhatian penuh terhadap pengembangan energi baru dan terbarukan dalam skala nasional maupun global. Salah satu upayanya dengan mengantisipasi perubahan iklim melalui penandatanganan Paris Agreement sebagai bentuk keterlibatan dalam komitmen global untuk menanggulangi perubahan iklim.
Dari sini hadirlah istilah ekonomi hijau atau green economy sebagai salah satu strategi utama transformasi ekonomi dalam jangka menengah panjang untuk mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19, serta mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Secara praktis, green economy adalah ekonomi yang pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerjanya didorong oleh investasi publik dan swasta yang mengurangi emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya, serta mencegah lenyapnya keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem.
Pemerintah Indonesia juga menetapkan arah kebijakan melalui Pembangunan Rendah Karbon dengan menggunakan Nationally Determined Contributions (NDC), serta berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030.
Program tersebut membutuhkan biaya Rp28.223 triliun. Kebutuhan dana terbesar tersebut paling banyak berasal dari sektor transportasi dan energi yang mencapai Rp26.602 triliun.
Green economy Indonesia ditopang oleh enam sumber energi terbarukan yaitu, gelombang laut, panas bumi, bioenergi, air, angin, dan panas matahari. Untuk mengoptimalkan energi terbarukan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan dibuatnya Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Komitmen pemanfaatan energi surya saat ini ditindaklanjuti pemerintah melalui Program Strategis Nasional (PSN) 3,6 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya atap, Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hijau.
Sebagai informasi, GSEN ini merupakan gambaran bahwa pemerintah saat ini tengah bergerak ke arah Energi Baru Terbarukan sekaligus mengenalkan pada dunia bahwa Indonesia punya skenario untuk mencapai NZE pada 2060 atau lebih cepat.
Selain itu pemerintah mengupayakan tambahan pembangkit setelah tahun 2030 hanya dari EBT. Mulai 2035 akan didominasi oleh Variable Renewable Energy (VRE) berupa PLT Surya, pada tahun berikutnya menyusul dan PLT
Arus Laut. PLT Panas Bumi juga akan dimaksimalkan hingga 75 persen dari potensinya.
Sepanjang 2022 lalu, kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan bertambah sebesar 1.004 MW. Dengan demikian, pembangkit Energi Baru Terbarukan secara nasional secara total telah mencapai 12.535 MW.
- Blue Economy atau Ekonomi Biru
Seiring dengan upaya green economy muncul pula istilah blue economy yang sebenernya belum terlalu dikenal di Indonesia. Sebenarnya apa itu blue economy?
Pada dasarnya, konsep blue economy sendiri tidak jauh berbeda dengan konsep green economy dari segi lingkungan maupun pada aspek penekanan ekonomi. Perbedaan utama blue economy dan green economy terletak pada fokus pembangunan ekonomi.
Bila green economy Indonesia berfokus pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan penurunan risiko kerusakan lingkungan, maka blue economy lebih difokuskan pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di sektor kelautan.
Konsep ekonomi biru Indonesia dilandasi oleh potensi laut negara kepulauan Indonesia sehingga perlu pelestarian sumber daya laut yang akan berdampak pada cadangan sumber pangan yang berkelanjutan.
Hal ini sejalan dengan tujuan kebijakan pembangunan kelautan nasional yang tercantum dalam RPJPN 2005-2025 pada misi ketujuh, yaitu mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional melalui pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki kekayaan laut melimpah. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, potensi kekayaan laut di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah.
Dalam catatan CNBC Indonesia, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) TB Haeru menjelaskan, potensi kekayaan laut mencapai US$1,33 triliun atau setara Rp19.840 triliun (Rp 14.917/US$) dari 11 segmen usaha. Sementara dari sisi budidaya potensinya mencapai 16%.
Dalam hal neraca perdagangan, sepanjang triwulan pertama tahun 2022, produksi sektor kelautan dan perikanan membawa hasil yang memuaskan. Neraca perdagangan sektor perikanan surplus sebesar USD1,39 miliar. Naik 21,78% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Bagaimana perkembangan blue economy saat ini? Apakah pemerintah juga turut fokus seperti green economy yang kian nyaring terdengar saat ini. Berdasarkan telusuran Tim Riset CNBC Indonesia, blue economy kini tengah aktif digarap oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Peta jalan pun tengah disusun dan siap diluncurkan tahun 2023 tahun lalu. Diketahui bahwa penyusunan peta jalan telah dilakukan melalui berbagai tahapan satu tahun belakangan. Pada akhirnya, green economy dan blue economy merupakan satu kesatuan yang sejalan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Dengan catatan, kedua istilah ini bukan hanya istilah yang dimunculkan saja namun harus juga jelas praktiknya.
Harapannya, istilah-istilah berkelanjutan yang diupayakan pemerintah bukan hanya greenwashing yakni strategi pemasaran dan komunikasi yang dilakukan perusahaan dalam rangka membangun citra ramah lingkungan, tetapi hal tersebut hanyalah palsu.
Seperti sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku sudah banyak melihat praktik pencatatan kegiatan ekonomi hijau (green economy) yang manipulatif di negara-negara Eropa. Indonesia tak boleh ikut-ikutan. (lihat TIM RISET CNBC (Consumer News and Business Channel) INDONESIA, https://www.cnbcindonesia.com/research/20230119052306-128-406619/setelah-green-economy-muncul-pula-blue-economy-apa-itu#:~:text=Bila%20green%20economy%20Indonesia%20fokus,yang%20berkelanjutan%20di%20sektor%20kelautan)
Demikian gambaran usaha Indonesia untuk menanggulangi bahaya pemanasan bumi. Istilah yang dipakai seperti “ekonomi hijau atau biru”, jangan sampai menjadi suatu penipuan. Bagaimana gambaran globalnya pada COP 28 terakhir di Dubai. Mari kita simak bersama.
COP 28 di Dubai
Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-28 atau Conference of the Parties (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, molor sehari dari jadwal penutupan 12 Desember 2023. Delegasi hampir 200 alot menyepakati pengurangan energi bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi. Sekitar 1.500 pelobi industri energi fosil berhasil mencegah kesepakatan menghentikan secara total pemakaian energi kotor itu.
Stop energi fosil sebelumnya telah berkumandang dalam COP26 di Glasgow, Skotlandia. Dalam COP28 Dubai, isu ini coba digalang kembali. Tema pertama sudah disetujui di awal konferensi, yakni menyepakati loss and damage fund atau dana kehilangan dan kerusakan akibat krisis iklim. COP28 menyepakati dana patungan sebesar US$800 juta, jauh lebih rendah dari nilai yang sudah disepakati di COP27 Mesir US$100 miliar. Tema kedua, dari stop penggunaan energi fosil diubah menjadi transisi penggunaan energi fosil. Didukung Presiden COP28 Sultan al-Jaber, Presiden Direktur ADNOC, perusahaan minyak negara Uni Emirat Arab. Beberapa negara Eropa memberikan apresiasi yang besar atas kesepakatan transisi energi kotor ini.
Selain pelobi industri minyak, sejumlah negara penghasil minyak bumi yang tergabung dalam OPEC juga gigih menolak kesepakatan menghentikan pemakaian energi fosil. Mereka cenderung setuju pada transisi energi fosil menjadi energi terbarukan.
Kesepakatan transisi energi ini menyerukan kepada pemerintah di berbagai negara, untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat secara global pada tahun 2030, mempercepat upaya untuk mengurangi penggunaan batu bara, dan mempercepat teknologi seperti penangkapan dan penyimpanan karbon yang dapat membersihkan industri yang sulit dalam program dekarbonisasi.
Rachel Cleetus, Direktur Kebijakan di Union of Concerned Scientists, memuji kesepakatan iklim tersebut. Tetapi sayangnya, menurut dia, kesepakatan tersebut tidak mengikat negara-negara kaya untuk menawarkan lebih banyak pembiayaan untuk membantu negara-negara berkembang membiayai transisi dari bahan bakar fosil.
“Ketentuan keuangan dan ekuitas sangat tidak mencukupi dan harus ditingkatkan di masa mendatang untuk memastikan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dapat bertransisi ke energi bersih dan menutup kesenjangan kemiskinan energi,” ujar Rachel seperti dikutip Reuters pada 14 Desember 2023.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, juga memiliki pendapat serupa. Menurut dia, COP28 tidak menghasilkan mandat tegas untuk mengakhiri (phasing out) bahan bakar fosil, yaitu batubara, minyak bumi, dan gas alam.
Uli mengatakan, keputusan COP 28 terlihat kontradiktif dan timpang. Uli menyitir kesepakatan yang seolah menyandarkan pada ilmu pengetahuan. Padahal, menurut studi ilmiah, untuk mencegah krisis iklim dunia harus mengurangi penggunaan batu bara sebesar 95%, minyak bumi 60%, dan gas alam 45% pada 2050.
Saat ini produksi emisi global sebanyak 55 miliar ton setara CO2. Untuk mencegah krisis iklim, yakni kenaikan suhu bumi 1,5-2C pada 2030, dunia harus menguranginya minimal 45%. Perhitungan IPCC, panel ilmuwan antar pemerintah di PBB, target itu tak mungkin tercapai karena kenaikan suhu sekarang saja sudah mencapai 1,2C dibanding era praindustri 1800. Kesepakatan COP28 yang tak bisa menghentikan pemakaian energi fosil makin memperkuat perkiraan kegagalan dunia mencegah krisis iklim. (lihat https://www.forestdigest.com/detail/2478/hasil-cop28-dubai).