Gereja Katolik secara kelembagaan sudah menyuarakan isu ekologi. Romo Paroki Santa Theresia Bongsari Eduardus Didik Chahyono, SJ menyampaikan hal ini dalam Diskusi Iklim Lintas Agama “Perubahan Iklim Makin Kritis: Umat Beragama Mesti Melakukan Apa?” di Vihara Mahabudhi Buddhist Center, 11 September 2023 lalu.
Hal itu, menurutnya, juga disampaikan dalam dokumen “Laudato Si’ tentang Merawat Bumi Rumah Kita Bersama” yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus. Romo Didik menyampaikan, ajaran supaya Umat Katolik merawat lingkungan tidak hanya disampaikan pada era Paus Fransiskus. Namun jauh sebelum itu. Paus Yohanes XXIII sudah menyampaikan hal tersebut, dilanjutkan Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI.
“Dokumen Pacem in Terris, meskipun latar belakangnya adalah perang, ancaman nuklir, namun itu bukan hanya soal perangnya saja. Namun bahwa perilaku perang ini akan berdampak pada kehidupan karena ada bahaya nuklir tadi, memang sudah muncul. Kemudian tahun 1971, juga dimunculkan lagi oleh Paus Paulus VI, mau menunjukkan secara kelembagaan konsisten untuk terus menyuarakan kepedulian,” katanya.
Meskipun demikian, menurut Romo Didik, ada tantangan yang mesti dihadapi yaitu pada kemampuan untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut dalam tindakan nyata. “Pemimpin agama itu berpengaruh namun tidak serta merta,” katanya.
Hal itu menurutnya juga sudah diantisipasi, misalnya ketika Paus Fransiskus akan meluncurkan ensiklik Laudato Si’, ada sebuah video thriller yang diluncurkan terlebih dahulu. Romo Didik menceritakan di video tersebut ada adegan “Paus” sedang tinju. “Tinju berhadapan dengan sosok yang dikatakan sebuah negara adidaya. Jadi, sebenarnya ketika Paus mau mengeluarkan ensiklik Laudato Si sudah banyak kecaman dari negara-negara adidaya. Kecaman itu karena takut kalau kemudian Paus bersuara, maka akan menjadi gerakan besar, gerakan besar secara internasional,” katanya. Gerakan tersebut ditengarai akan memengaruhi keberadaan industrialisasi yang tidak ramah lingkungan. Paus Fransiskus, menurut Romo Didik, adalah sosok yang punya peran besar dan berhadapan dengan raksasa-raksasa industri. Namun, di tataran akar rumput, ajarannya belum tentu ditangkap dengan baik oleh Umat.
Secara kelembagaan Gereja di Indonesia atau dalam konteks Keuskupan Agung Semarang ada Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan yang ranah kerasulannya juga menyentuh isu-isu lingkungan. “Secara kelembagaan ada unit yang mencoba terus menyadarkan Umat terkait dengan permasalahan lingkungan hidup,” katanya. Bahkan, lanjutnya, Serikat Jesus sendiri, melalui Universal Apostolic Preferences (UAP), salah satunya juga menggulirkan kerasulan lingkungan di setiap komunitas dan unit-unit karya Serikat Jesus.
Menurutnya, UAP menjadi acuan karya-karya pelayanan selama 10 tahun sejak 2019. “Harapannya semua karya-karya yang dikelola Serikat Jesus termasuk Paroki Bongsari itu selalu menggiatkan terkait dengan kepedulian pada lingkungan hidup,” katanya.
Romo Didik juga mengatakan, UAP itu akan ditinjau untuk melihat dan mengevaluasi program-program yang telah dijalankan. “Apakah di karya-karya itu sudah merancang, bukan hanya soal even, tetapi kegiatan-kegiatan secara konsisten untuk membangun kesadaran dari perubahan perilaku hidup?” ungkapnya.
Romo Didik pun menyampaikan beberapa upaya yang dilakukan di Paroki Bongsari untuk membangun kesadaran ekologis Umat, salah satunya dengan mengisi Hari Minggu Paskah II atau yang dikenal sebagai Minggu Kerahiman Ilahi dengan kegiatan ekologis. “Kami di Minggu ke-2 Paskah selalu mencanangkan Minggu Kerahiman Ilahi tapi kaitannya bukan soal pengampunan dosa manusia, tetapi mencoba menyadarkan pertobatan ekologis. Jadi, secara sistematis, kami mencoba mengupayakan itu di setiap tahunnya,” ungkapnya.
Ia menambahkan setiap kegiatan di gereja, Umat diharapkan membawa botol minum sendiri untuk menekan sampah kemasan. Beberapa program juga dibuat untuk mengajak Umat memilah dan mengolah sampah dengan pelatihan membuat eco enzyme, kompos, dan pupuk cair. Pelatihan mengolah air hujan menjadi air minum juga dilakukan supaya air hujan bisa dimanfaatkan dengan baik.
Terkait program-program tersebut, Romo Didik menggarisbawahi pentingnya refleksi atas aneka kegiatan tersebut. Romo Didik melihat, cukup banyak Umat yang aktif dalam kegiatan namun belum tentu mau menindaklanjutinya dengan refleksi untuk meneguhkan praktik baik yang sudah dilakukan itu. Refleksi itu dilengkapi dengan pemaparan data dan diintroduksi dengan ajaran-ajaran yang relevan.
“Jadi, bagaimana kita mau membatinkan tadi dengan data, kemudian juga dengan refleksi-refleksi dan juga ajaran-ajaran agama, sekalipun sudah diintrodusir dengan dokumen-dokumen yang sangat luar biasa,” katanya.
Namun, dalam kutub yang lain, Romo Didik menemukan, tokoh-tokoh agama meskipun dibekali ajaran-ajaran yang memadai tak jarang hanya berhenti dalam dokumen-dokumen refleksi.