Musim Ciptaan Kevikepan Semarang 2023: “Biarlah Keadilan dan Perdamaian Mengalir”

Setiap tahun dari tanggal 1 September hingga 4 Oktober, keluarga Kristiani di seluruh dunia merayakan Musim Ciptaan. Musim Ciptaan adalah waktu untuk memperbarui hubungan kita dengan Sang Pencipta dan seluruh ciptaan melalui perayaan, pertobatan, dan komitmen. Kita dipanggil untuk bersatu dalam perayaan, doa dan aksi untuk melindungi Bumi rumah kita bersama. Ini adalah musim ekumenis tahunan di mana kita berdoa dan bertindak bersama sebagai keluarga Kristen untuk Bumi rumah kita bersama.

Setiap tahun panitia ekumenis Musim Ciptaan dari berbagai denominasi Gereja mempersiapkan bahan perayaan-aksi, bahan refleksi, doa, dan teks ibadah ekumene dengan tema-tema yang khusus. Tema Musim Ciptaan 2023 ini adalah “Biarlah Keadilan dan Perdamaian Mengalir” (Amos 5:24) dengan simbol “Sungai yang Perkasa”.

Doa, khotbah dan liturgi kita harus menyerukan keadilan tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi seluruh ciptaan. Keadilan, yang berkaitan erat dengan perdamaian, memanggil kita untuk bertobat dari dosa-dosa ekologis kita dan mengubah sikap dan tindakan kita. Keadilan menuntut kita untuk hidup dalam damai, tidak berkonflik dengan sesama manusia, dan membangun hubungan yang benar dengan seluruh ciptaan. ‘Damai’ (shalom) tidak hanya mencakup ketiadaan konflik, tetapi juga hubungan yang positif dan saling memberi dengan Tuhan, diri kita sendiri, sesama manusia, dan seluruh ciptaan.

Sekretaris Umum Dewan Gereja-gereja Sedunia, Pdt. Prof. Dr Jerry Pillay mengatakan, kita hidup di masa-masa yang penuh gejolak dan masalah, sementara kita terus berjuang untuk perdamaian dunia dan rekonsiliasi serta persatuan seluruh ciptaan. Kita dikelilingi oleh perang, kekerasan, tantangan iklim dan sistem yang tidak adil yang terus merendahkan martabat manusia dan menindas orang-orang di seluruh dunia. Umat Kristiani didesak untuk bergabung dengan Tuhan dalam sungai yang terus mengalir demi keadilan dan perdamaian di dunia.

Bersih Kali Sambiroto

Terkait dengan perayaan tersebut, Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Kevikepan Semarang menanggapi Musim Ciptaan dengan beberapa rangkaian kegiatan dan mengajak paroki-paroki juga menanggapi momentum yang sangat baik tersebut untuk sungguh-sungguh mengupayakan perawatan Bumi rumah bersama seperti yang diharapkan Bapa Paus Fransiskus melalui Ensiklik Laudato Si’ yang diterbitkan tahun 2015 lalu. KKPKC Kevikepan Semarang menyampaikan beberapa usulan ke paroki-paroki di seluruh Kevikepan Semarang untuk menjadikan Musim Ciptaan sebagai sarana animasi pada umat untuk melakukan kerasulan lingkungan hidup. Pertama, bagi paroki yang sudah terbiasa menghidupi program kerasulan lingkungan hidup bisa memperkaya dan memberi warna kegiatan tersebut dengan perayaan Musim Ciptaan. Kedua, bekerja sama secara ekumenis dengan gereja-gereja setempat untuk berdoa dan beribadah secara ekumenis terkait Musim Ciptaan. Ketiga, berkeja sama dengan masyarakat lintas agama dan masyarakat setempat melakukan kegiatan pelestarian lingkungan. Keempat, mendaraskan doa Musim Ciptaan 2023 dalam kesempatan misa minggu, misa harian atau pertemuan di lingkungan-lingkungan. Kelima, melakukan kegiatan Musim Ciptaan sesuai dengan konteks paroki setempat yang paling memungkinkan.

Bersih Kali Sambiroto

KKPKC Kevikepan Semarang sendiri mengisi rangkaian Musim Ciptaan dengan Webinar “Merawat Sungai, Merawat Kehidupan” (15 September 2023), Webinar “Merawat Lingkungan adalah Amanat Hukum” (20 September 2023), Webinar “Merawat Lingkungan dari Rumah” (28 September 2023), Bersih Kali Sambiroto (24 September 2023), Ibadah Ekumene, Sarasehan “Biopori: Solusi Krisis Air dan Olah Sampah”, dan Doa Lintas Agama (29 September 2023). Perayaan ini menggandeng Paroki Santo Petrus Sambiroto, Persekutuan Gereja-Gereja Kristen di Semarang (PGKS), dan Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang.

Dalam Webinar “Merawat Sungai, Merawat Kehidupan”, narasumber A.G. Irawan menyampaikan bagaimana cara memulai gerakan merawat sungai. “Kita buat gerakan tidak perlu banyak orang, tapi asal konsisten,” katanya.  Selanjutnya gerakan itu diviralkan  dengan mengajak banyak pihak untuk melakukan gerakan-gerakan yang sama di tempat-tempat yang berbeda.  Menurutnya, gerakan merawat atau membersihkan sungai bukanlah evakuasi sampah, namun untuk edukasi. “Jadi yang memang membahayakan jangan diambil tapi dilaporkan. Tugas masyarakat itu melaporkan ketika terjadi pencemaran, terjadi gangguan, terjadi alih fungsi atau terjadi ketidakseimbangan ekosistem. Kita laporkan saja,” katanya. Setelah itu, tindak lanjut ada di tangan negara. “Mereka punya alat, punya sarana, punya juga petugas,” ungkapnya.

Penuangan Eco Enzyme di Kali Sambiroto

Pengajar dari Unika Soegijapranata, Benediktus Danang Setianto dalam Webinar “Merawat Lingkungan adalah Amanat Hukum” menegaskan supaya hukum tidak hanya dilihat sebagai pasal-pasal yang harus dipatuhi. “Kalau melihat hukum sebagai sesuatu yang isinya hanya aturan hukum, hanya dilihat sebagai pasal-pasal yang harus ditunduk dan dipatuhi, tetapi tidak melihat hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia untuk melakukan relasi yang lebih baik di antara manusia yang ada, untuk melakukan relasi yang lebih baik terhadap alam yang ada, misalnya begini, batu kan tidak bisa bersuara. Yang namanya binatang tidak bisa menuntut haknya kepada manusia. Mereka tidak bisa protes. Tumbuhan tidak bisa protes. Siapa yang bisa protes? Yang bisa protes adalah nurani manusia ketika berelasi dengan mereka, bahkan berelasi dengan benda-benda mati sekalipun.  Hukum harus dipakai sebagai barometer, salah satu patokan nurani manusia. Kalau hukum difungsikan sebagai itu dan tidak sekadar difungsikan sebagai aturan-aturan kaku yang membatasi gerak manusia, ya maka hukum akan membantu cara kita melihat lingkungan dan berelasi dengan lingkungan itu sendiri,” jelasnya.

Sedangkan Theresia Tarigan dari Green Solidarity dalam Webinar “Merawat Bumi dari Rumah” menyampaikan pentingnya ekoliterasi dalam merawat lingkungan. Dengan mengutip McBride dkk, 2013, Tere mengatakan, ekoliterasi adalah suatu konsep peningkatan kesadaran akan lingkungan hidup yang bertujuan menciptakan masyarakat yang berkelanjutan.  Konsep ekoliterasi termasuk mendapatkan pengetahuan tentang lingkungan hidup, keahlian yang diperlukan untuk mengatasi masalah lingkungan hidup, dan merealisasikan perubahan gaya hidup menjadi berkelanjutan. Upaya ekoliterasi dia upayakan dalam Green Solidarity yang diampunya. “Green Solidarity melakukan ekoliterasi melalui kampanye pentingnya merawat tanaman dan membagi bibit gratis agar meningkatkan partipasipasi aktif misalnya pada penghijauan Kota Semarang,” katanya.

Doa Lintas Agama Musim Ciptaan

Bersih kali

Kurang lebih 170 orang relawan dari KKPKC Kevikepan Semarang, Paroki Santo Petrus Sambiroto, sejumlah Biarawati Karya Kesehatan (BKK), dan biarawati SDP, Persekutuan Gereja-gereja Kota Semarang (PGKS), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) dan Persaudaraan Lintas Iman (Pelita) Semarang melakukan Bersih Kali Sambiroto.  Semula kali tersebut cukup memprihatinkan. Sampah yang didominasi plastik memenuhi kali. Dengan sigap dan penuh semangat mereka membersihkan kali tersebut. Dalam waktu sekira 2 jam, kali kembali bersih. Aksi Bersih kali ditutup dengan penuangan cairan eco enzyme. Penuangan ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas air kali.

Ibadah ekumene
Musim Ciptaan dipuncaki dengan ibadah ekumene, sarasehan “Biopori: Solusi Krisis Air dan Olah Sampah” dan ditutup Doa Lintas Agama. Ketua PGKS, Pdt Rahmat Rajagukguk, dalam renungannya mengajak umat untuk bersama-sama merawat lingkungan saat itu juga. “Mulai kapan? Mulai sekarang, saat ini. Karena untuk itulah kita dipanggil oleh Tuhan. Untuk itulah kita diberkati oleh Kristus yang telah memberikan air kehidupan bagi kita dan kita memberikan air kehidupan bagi lingkungan yang nanti juga ikut merawat kehidupan bagi kita, bagi anak-anak kita, bagi cucu-cucu kita, bagi generasi penerus siapapun itu,” katanya. Pdt Rahmat mengajak supaya umat merawat lingkungan bukan untuk sekadar menghadirkan nuansa hijau. “Bukan hanya sekadar untuk hadirnya kehijauan. Itu bagian. Tetapi yang lebih penting ini adalah panggilan hidup kita, perjuangan hidup kita, sehingga kita bertaruh dengan apa? Dengan kehidupan kita,” ungkapnya.

Sedangkan Vikaris Episkopalis Semarang, Romo F.X. Sugiyana, Pr menandaskan, kita tinggal di bumi yang adalah rumah warisan. “Ini bukan bangunan kita sendiri. Allah sendiri menciptakan bumi lalu baru manusia diciptakan untuk tinggal di dalamnya. Ketika manusia generasi pertama telah mati, muncullah generasi berikutnya juga untuk tinggal di bumi yang sama. Sehingga setiap orang itu sebenarnya hanya mewarisi apa yang ditinggalkan oleh orang-orang sebelumnya. Pada saatnya kita juga harus mewariskan bumi ini kepada generasi sesudah kita,” katanya.

Menurutnya, kalau kita menerima bumi dalam keadaan baik, kita juga harus meninggalkan bumi pada penerus kita dalam keadaan baik. “Kalau memang bumi ini dalam keadaan baik, Anda harus meninggalkan juga dalam keadaan baik untuk orang sesudah Anda!” tegasnya.

Selain KKPKC Kevikean Semarang dan Paroki Sambiroto, Paroki Kristus Raja Ungaran juga turut merayakan Musim Ciptaan pada tanggal 30 September 2023. Bekerja sama dengan berbagai komunitas, Umat Paroki Ungaran menuangkan eco enzyme dan menebar bibit ikan di Kali Garang. Acara dihadiri Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Semarang dan Komunitas Eco Enzyme Nusantara Kabupaten Semarang.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *