Makna Kitab Suci Bagi Langkah Hidup Kita

Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ

 

Ada dua makna yang dapat dipikirkan mengenai Kitab Suci bagi kehidupan kita sebagai orang beriman Katolik. Makna keseluruhan Kitab Suci, pertama sebagai keseluruhan merupakan sumber ajaran iman dan moral Katolik. Ini penting untuk kehidupan kita sehari-hari. Yang kedua, Allah lewat Kitab Suci berkenan menjumpai kita, dan bersabda kepada kita.

Sumber ajaran iman dan moral Katolik

St. Paulus menulis: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya,…” (Ibr 1:1-2). St.Paulus berbicara mengenai Allah yang dulu bersabda dengan bahasa manusia lewat para nabi-Nya  pada zaman Perjanjian Lama, dan sekarang zaman Perjanjian Baru, Allah bersabda lewat Allah Putra yang menjelma menjadi Manusia sehingga berbicara dengan bahasa manusia.

Selama 3 tahun Tuhan Yesus mengajar, menyembuhkan segala penyakit dan mengusir setan. Perlu dicatat di sini bahwa pemahaman para rasul terhadap ajaran Yesus, menjadi benar dan mendalam sejak para rasul mendapat karunia Roh Kudus pada Hari Pentakosta. Karena memang tanpa bantuan Roh Kudus kita tidak dapat begitu saja menangkap  sabda Allah dalam Kitab Suci. Semua sabda Allah sebelum Kristus lahir, ada yang disampaikan  sebagai refleksi iman umat Israel, ada yang disampaikan sebagai bahan sejarah, bahan pujian dan tulisan para nabi. Akhirnya itu diresmikan menjadi Kitab Suci Perjanjian Lama oleh kuasa mengajar Gereja. Namun, ada banyak yang dinyatakan tidak masuk Kitab Suci yang diakui oleh Gereja. Demikian pula, tulisan mengenai kelahiran Yesus, masa muda, karya dan ajaran-ajaran-Nya, sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya dan sejarah awal Gereja serta surat-surat, menjadi 4 Injil,  Kisah Rasul dan surat-surat yang diresmikan menjadi Kitab Suci Perjanjian Baru.

Banyak juga tulisan yang tidak diresmikan menjadi Kitab Suci Gereja Katolik, karena ada yang ditulis pada tahun-tahun setelah tulisan lainnya pada umumnya. Peresmiannya membuat tulisan-tulisan tersebut istilahnya menjadi atau termasuk kanon Kitab Suci. Berarti resmi diakui Gereja Katolik. Peresmian terakhir untuk Perjanjian Baru pada tahun 150-an. Jumlah Kitab Suci Perjanjian Lama 46 buku dan Perjanjian Baru 27. Dari Kitab Suci tadi dirumuskan ajaran tentang iman dan moral Katolik. Ada beberapa Konsili yang meresmikan ajaran yang diperdebatkan.  Dalam perkembangannya, ajaran iman dengan adanya Konsili Vatikan II disempurnakan. Sekarang menjadi buku tebal, berjudul Katekismus Gereja Katolik. Dikeluarkan di Vatikan tahun 1993, dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Provinsi Gerejani Ende tahun 1995. Menjadi sumber pengetahuan iman dan moral, sehingga bermakna bagi langkah hidup kita sebagai orang beriman sekarang. Kitab Suci memang bemakna bagi langkah hidup kita, karena di sana Allah sendiri yang bersabda. Allah pencipta manusia juga tahu bagaimana sebenarnya panggilan dan tujuan hidup manusia, sehingga tahu bagaimana sebaiknya langkah hidupnya. “Di dalam Kitab Suci Gereja selalu mendapatkan makanannya dan kekuatannya, karena di dalamnya dia tidak hanya menerima kata-kata manusiawi, tetapi apa yang sebenarnya Kitab Suci itu: Sabda Allah. Sebab di dalam Kitab-kitab Suci Bapa yang ada di surga penuh cinta kasih menjumpai para putera-Nya dan berwawancara dengan mereka.” (DV 21) dalam KGK no 104.  Gereja mengimani bahwa Allahlah yang menjadi pembuat (auctor) Kitab Suci. Para penulisnya semua mendapat inspirasi dari Roh Kudus. (bdk KGK no 105). “Adapun sedemikian besarlah daya dan kekuatan Sabda Allah, sehingga bagi Gereja merupakan tumpuan serta kekuatan, dan bagi putera-putera Gereja menjadi kekuatan iman, santapan jiwa, sumber bersih dan kekal hidup rohani” (DV 21). Dikutip dari KGK no 131. Jadi jelas bahwa Kitab Suci bermakna bagi kehidupan beriman kita.

Tujuan hidup manusia

Salah satu ajaran iman yang sungguh bermakna bagi langkah hidup kita sebagai umat beriman Katolik sekarang adalah tujuan hidup manusia di dunia. Rumusannya: “Manusia diciptakan karena cinta Allah, dan dipanggil menjadi partner cinta Allah dan supaya dengan pengertian dan cinta mengambil bagian dalam kehidupan Allah (lihat KGK 356). Begitu agung panggilan hidup manusia: menyatu hidup dengan kehidupan Allah sendiri. St. Katarina dari Siena mengungkapkan kekagumannya dengan kata-kata berikut: “Apakah alasannya maka Engkau meninggikan  manusia ke martabat yang begitu mulia? Cinta yang tidak ternilai, yang dengannya Engkau memandang makhluk-Mu dalam Dirimu sendiri dan jatuh cinta kepadanya, karena Engkau menciptakannya karena cinta. Karena cinta Engkau memberi kepadanya satu kodrat yang dapat merasakan kegembiraan pada diri-Mu, harta abadi.” (Katarina dari Siena, dial. 4,13), dikutip dalam KGK no 356.  Inilah salah satu makna ajaran Kitab Suci yang begitu mulia dan indah bagi manusia.

Apa yang disampaikan oleh Allah kepada umat Perjanjian Lama dan Baru? Yang diajarkan baik Perjanian Lama maupun Baru, tentu banyak. Intinya ada 2, yaitu bagaimana sikap hidup dan perilaku orang terhadap Allahnya, dan bagaimana seharusnya hidup bersama dengan sesamanya. Dalam Perjanjian Lama, umat Israel menerima 10 perintah Allah. Kalau diperas, intinya supaya mengasihi Allah dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Dalam Perjanjian Baru, Yesus menyempurnakan cara “mengasihi”, dengan menambah “seperti Yesus mengasihi”. Sehingga kasihnya illahi, penuh pengurbanan dan pengampunan. Maka dari itu, Kitab Suci, kecuali menjadi sumber pengetahuan iman kita, juga menjadi norma iman dalam terang tradisi Gereja. Ini sesuai dengan ajaran Gereja KGK 113.2. Jadi makna Kitab Suci bagi langkah laku kita sebagai orang beriman Katolik adalah menuntun ke arah hidup yang baik, bertakwa kepada Allah dan menata hidupnya sehari-hari dengan penuh kasih persaudaraan, bertindak adil, jujur, tidak menipu, mengampuni, murah hati, rendah hati, sabar, dan lain-lain. Tetapi yang mendasar adalah menerima Yesus sebagai Penebus dosa dan Penyelamat, yang mendamaikan kita dengan Allah, dengan sesama dan lingkungan hidup kita. St. Paulus menulis kepada Timotius: “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci, yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.” (2Tim 3:15). Pandangan St. Paulus ini bahwa Kitab Suci mempunyai makna bagi perjalanan iman Timotius, tidak hanya memberi kebijaksanaan hidup, bahkan membawa ke keselamatan dalam Yesus Kistus.

Membaca kitab suci dijumpai Tuhan

Ketika membaca dan merenungkan Kitab Suci, sabda Allah kita dengar dalam hati. Karena itu kita yang ingin mendengarkan sabda Allah dan melaksanakannya perlu membuat diri peka terhadap apa yang bergerak di dalam hati nurani. Keheningan budi, hati dan seluruh pribadi sangat penting untuk dapat mendengarkan sabda Allah, merasakan dorongannya. Kalau kita tidak menenangkan diri dan mengosongkan diri dari kemungkinan gejolak yang datang dari diri sendiri, sabda Allah yang ada dalam hati tak akan terdengar dalam hati nurani.

Sebaliknya, kalau hati nurani kita peka, Sabda Allah yang kita baca dan renungkan dari Kitab Suci, mengarahkan hidup kita secara konkret dalam hidup kita sehari-hari. St. Paulus menulis bahwa Kitab Suci “memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang kepada kebenaran.” (2Tim 3:16). Sabda Allah yang direnungkan dari Kitab Suci menjadi sumber dan kekuatan dari dalam, sehingga kalau belum tahu menjadi sadar, kalau salah disadarkan dan ditegur, selanjutnya didorong untuk bertobat dan memperbaikinya. Dengan demikian, ia dituntun untuk berperilaku yang baik dalam hidup sehari-hari. Dalam arti inilah ketika St. Paulus menulis bahwa dengan adanya Kitab Suci di dalam Gereja, “tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Tim 3:17).

Tetapi tidak setiap orang yang membaca Kitab Suci mendapatkan hasil seperti telah diuraikan tadi. Kitab Suci dapat dibaca dan orang tidak merasa ada Sabda Allah sedang ditujukan kepadanya. Kitab Suci tak ada makna dan hubungannya dengan hidup dan kelakuannya. Maka tidak mangajar apa-apa, tidak mengoreksi apa-apa, tidak mendorong untuk bertobat dan hidup lebih baik. Juga tidak memberikan hiburan atau pun peneguhan untuk hidupnya yang sudah baik, atau tidak mendorong untuk bersyukur atas segala rahmat yang telah ia alami sampai sekarang. Masalahnya, kalau demikian tadi, terletak pada Roh Kudus yang karya-Nya tidak ditanggapi oleh pembaca Kitab Suci. Kitab Suci dibaca, tetapi yang dijumpai bukan Sabda Allah yang menyapa, melainkan huruf-huruf dan kalimat-kalimat -meski diketahui artinya-, tetapi hampa tak bermakna bagi kehidupannya. Lalu bagaimana cara membaca Kitab Suci yang baik?

Agar sabda Allah dapat kita tangkap dengan baik dan kita hayati dalam hidup sehari-hari, maka Kitab Suci perlu kita baca demikian:

Pertama, sebelum membaca Kitab Suci, kita mengheningkan diri, menenangkan hati dan budi serta segala gejolak diri. Kalau disadari bahwa perlu membersihkan diri dengan pengakuan dosa, perlu dilakukan lebih dahulu.

Kedua, kita membaca ayat-ayat Kitab Suci dalam sikap iman bahwa Allah akan bersabda, disertai sikap sedia untuk mendengarkan sabda-Nya.

Ketiga, lalu berdoa agar Roh Kudus menerangi hati dan budi kita.

Keempat, sikap doa macam itu dipertahankan terus, sambil memberi waktu untuk berhenti dan merenungkannya kalau tiba-tiba ada ayat Kitab Suci yang menyentuh dan mengesankan bagi kita. Ayat-ayat Kitab Suci menyentuh hati, karena ada kaitannya dengan hidup kita. Di sini Allah bersabda kepada kita dalam hati nurani dan kita mendengarkan dan menanggapinya-Nya.

Kelima, kita ulang-ulang sampai puas dan kita ambil maknanya bagi hidup kita. Ayat itu dapat meneguhkan, menghibur, membuat susah dan bertobat, membangkitkan niat untuk memperbaiki kesalahan, dan lain-lain. Kita ungkapkan tanggapan kita dalam bentuk doa penutup.

Dibaca demikian, Kitab Suci menjadi sumber dan kekuatan hidup rohani dan iman. Sabda Allah menjadi dasar, pengarah hidup sehari-hari. Dapat meneguhkan arah yang sudah baik, dapat menghibur dan membuat orang bersyukur kepada segala rahmat yang telah diterima. Dapat mengoreksi cara hidup kita yang salah, menyadarkan keadaannya yang sesungguhnya, mendorong untuk bertobat untuk memperbaiki kelakuannya dalam hidup sehari hari. Dan bersama pemazmur, kita dapat mengidung: “Sabda-Mu adalah pelita bagi langkahku, cahaya untuk menerangi jalanku.” Mz 119 : 105.

Allah menjalin relasi dengan kita

Karena hidup beriman berarti menjalin relasi dengan Tuhan, relasi kita juga diperkokoh dengan Tuhan lewat Kitab Suci. Di samping bersabda lewat Kitab Suci, Allah berkenan langsung menyapa kita. Orang hanya dapat mengenal dan mengimani Tuhan Yesus sebagai Mesias, karena rahmat dari Allah Bapa (umpama Petrus). Kecuali oleh Bapa, juga oleh Roh Kudus. Iman kepada Yesus sebagai Tuhan dan Kristus terjadi berkat Roh Kudus. Dalam peristiwa Pentakosta Roh Kudus membantu orang yang mendengarkan khotbah para rasul mampu mengakui bahwa Yesus adalah Juruselamat mereka, karena Roh Kudus membuka hati mereka. Mereka bertobat dan memberikan diri dibaptis (bdk. Kis Ras 2:37-47). St. Paulus mengajarkan bahwa: “… tidak ada seorang pun yang dapat mengaku: ‘Yesus adalah Tuhan’ selain oleh Roh Kudus” (Kis 12:3). Beriman kepada Kristus yang menyelamatkan dapat terjadi karena rahmat Roh Kudus dan Allah Bapa. Sebaliknya lewat Yesuslah kita semua sampai kepada Bapa. Yesus bersabda: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh 14:6). Jadi, masing-masing pribadi Tritunggal Maha Kudus saling berperan. Dan Roh Kuduslah yang mendapat tugas bersemayam dalam hati kita sebagai kenisah (bdk LG 4), untuk membimbing, meneguhkan dalam hidup yang baik atau menegur bila hidup kita tidak benar, tidak sesuai dengan semangat ajaran Kitab Suci. Meskipun Roh Kudus telah bersemayam dalam hati kita untuk membimbing, namun Allah kerap masih memakai orang lain atau ayat Kitab Suci. Tanda-tanda yang sering menyertai saat Allah berkarya adalah “hati kita tersentuh”, terharu, berkobar-kobar, dan lain-lain. Ketika St. Petrus pada hari Pentakosta berkhotbah yang terjadi ialah mereka sangat terharu (Kis 2:37). Lalu mereka terdorong untuk menindaklanjutinya, dengan bertanya: “Apakah yang harus kami buat, saudara-saudara?” Mereka lalu disuruh bertobat dan memberikan diri dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosa mereka, dan mereka akan menerima karunia Roh Kudus (bdk Kis 2:38-39).

Dengan bantuan orang lain

Allah ingin menyapa orang lewat Kitab Suci dengan bantuan orang lain. Contoh tentang sida-sida dari Etiopia, ceritanya mengesankan (Kis 8:26-40). Agaknya ia sudah kerap membaca kitab nabi-nabi, dan yang sedang dibaca dalam perjalanan dengan kereta adalah Kitab  Nabi Yesaya 53: 7-8. Allah ingin bahwa lewat ayat Yesaya yang sedang ia baca, sida-sida yang hatinya terbuka ini dapat sampai kepada iman yang benar: iman kepada Tuhan Yesus yang menyelamatkan. Allah memberi tahu rasul Filipus untuk menjumpai dia dan memberi petunjuk tentang jalan yang dilalui. Ketika sudah bersua, Filipus bertanya apakah sida-sida mengerti makna yang sedang dibaca. Jawabnya: “Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Lalu ia meminta Filipus naik dan duduk di sampingnya (bdk Kis 8:31). Filipus lalu menjelaskan bahwa yang dibaca sebenarnya mengacu kepada Tuhan Yesus yang telah disalibkan dan bangkit dari alam maut demi keselamatan kita. Mereka yang mengimaninya akan dibaptis dalam nama Yesus. Ternyata sida-sida minta untuk dibaptis. Terpujilah karya Allah yang menyelamatkan. Dalam kisah tadi jelas, bahwa Allah berkenan memberi rahmat keselamatan kepada sida-sida, lewat pertolongan Filipus. Allah memang kerap memakai peran orang lain sebagai pembimbing. Ketika Yesus mau agar murid-murid-Nya tahu siapa Dia sebenarnya, Ia bertanya dulu kepada para murid siapa Dia sebenarnya. Kesempatan itulah dipakai oleh Allah Bapa untuk memberi penerangan dalam budi dan hati Petrus, yang lalu mampu menjawab: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16). Di sini yang membantu Yesus adalah Allah Bapa.

Karena menafsirkan Kitab Suci tidak mudah, membutuhkan bermacam-macam syarat, maka kita ikuti apa yang menjadi ajaran Gereja mengenai pokok-pokok iman yang kita jumpai dalam Kitab Suci. Karena tugas Gerejalah menyampaikan ajaran iman dan Kitab Suci secara benar. Memang kita membaca Kitab Suci secara benar kalau dalam terang iman tradisi hidup seluruh Gereja.  (bdk KGK 113.2).

Relasi langsung

Tetapi lebih dari itu dengan membaca Kitab Suci: lewat bagian atau ayat-ayat manapun, dan tanpa bantuan siapapun kita dapat dijumpai oleh Sang Sabda, yang menjumpai kita dan berkarya dalam diri kita sebagai orang yang percaya. St. Paulus mengatakan: “Dan karena itulah kami tidak putus-putusnya mengucap syukur juga kepada Allah, sebab kamu telah menerima firman Allah yang kami beritakan itu, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi – dan memang sungguh-sungguh demikian – sebagai firman Allah, yang bekerja juga di dalam kamu yang percaya.” (1 Tes 2:13). Sehingga Gereja juga mengajarkan bahwa: “Melalui kata-kata Kitab Suci (manapun), Allah hanya mengatakan satu kata: Sabda-Nya yang tunggal, dan di dalam Dia (Sabda-Nya), Ia (Allah) mengungkapkan Diri seutuhnya.” (KGK 102). Dengan membaca Kitab Suci kita langsung dijumpai oleh Sang Sabda, dan lewat Dia, Allah menjumpai kita secara nyata. Dengan rumusan senada St. Agustius menyatakan: “Sabda Allah yang satu dan sama bergaung dalam mulut semua penulis Kitab yang suci. Dan karena sejak awal Ia adalah Allah, Ia tidak membutuhkan suku-suku kata, karena Ia tidak tergantung pada waktu. (Agustinus, pasal 103,41). Bagian dari Kitab Suci yang sedang dibaca tiba-tiba dapat menyisih ke latar belakang, memberi tempat terjadinya perjumpaan langsung  antara pembaca Kitab Suci dengan Yesus/Allah sendiri. Ayat Kitab Suci tak terpakai lagi, dan orang berjumpa dengan Allah yang bersabda dan isinya bisa tidak sama dengan Kitab Suci yang dibaca. Ini dapat terjadi ketika sekelompok orang diberi teks Kitab Suci yang sama untuk direnungkan dalam doa, ketika selesai dan membagikan apa yang terjadi dalam doa, hasilnya tidak sama. Bahkan ada yang melenceng jauh dari isi ayat Kitab Suci yang dibaca. Tetapi memang itulah yang ia alami ketika berelasi dengan Tuhan. Karena itulah sabda Allah yang penting baginya saat itu. Maka hasil sharing Kitab Suci tidak dapat diperdebatkan. Masing-masing benar, tepat dan baik untuk yang bersangkutan.

Sebagai penutup, marilah kita syukuri bahwa Allah berkenan dekat dengan kita dan membimbing menuju kesempurnaan. Tidak hanya lewat orang, lewat sakramen-sakramen, terutama sakramen Ekaristi, tetapi juga lewat Kitab Suci dan Sabda-Nya. Semoga kita selalu merindukan dan terbuka menyambut kedatangan-Nya yang menyelamatkan.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *