Ketika persentase jumlah kaum muda yang berprofesi sebagai petani (data tahun 2019: 2,34 juta jiwa dari jumlah kekuarga petani sebesar 33,4 juta) semakin menyusut, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) di Salatiga tetap eksis dengan cita-cita awal kehadirannya, 1 September 1965.
KPTT didirikan Ikatan Petani Pancasila, Fakultas Pendidikan IKIP Sanatha Darma (USD) dan Panitia Sosial KWI. Kaderisasi kaum muda sebagai fokus karya SJ Provindo sejak Indonesia merdeka, direalisir oleh gagasan Romo Aloysius Maria Kadarman SJ (1918-2005). Awal penanganannya ditangani Romo Yohannes Dijkstra SJ (1911-2003), kemudian berbentuk yayasan dengan silih berganti kepemimpinan dari waktu ke waktu. Saat ini Romo Petrus Sunu Hardiyanto SJ sebagai ketua pembina.
Selain sebagai dosen di IKIP Sanata Dharma—lantas rektor 1976-1984—Romo Kadarman juga merintis dan mendirikan Kursus Sosial Wanita Bhakti Wara dan Pendidikan Tenaga Penggerak Masyarakat (PTPM) yang keduanya berkedudukan di Yogyakarta, dan Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) di Jakarta. LPPM adalah lembaga pendidikan manajemen yang pertama di Indonesia, berkembang beranak pinak sejalan pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai tahun 70-an. KSW Bhakti Wara kurang berkembang. PTPM dan KPTT, di bawah penanganan Romo Dijkstra – pribadi yang terkenal merakyat dan concern dengan pengembangan karya sosial—menghasilkan tokoh-tokoh muda Katolik sebagai penggerak pemberdayaan masyarakat. (St. Sularto, R. Royanto, Royani Lim, Darma Kadarman. Rintisan, Pendidikan, Kaderisasi (Penerbit Kanisius, 2021).
20% Teori, 80% Praktik
Kegiatan utama adalah pelatihan-pelatihan dalam format pembentukan kader, ruang formasi bagi Petani Pancasila pada tahun 1965. Sedangkan kebun, ladang dan hewan piaraan merupakan sarana pelengkap pembentukan kader. Untuk itu KPTT memiliki lahan seluas 10 hektar, terdiri atas tiga area. Area satu dan dua seluas 3 hektar di Jalan Mayangsari, Salatiga, serta area tiga di Wates. Area satu untuk lahan tanaman sayur-mayur dan area kedua untuk toko. Tujuh hektar lainnya di Wates, Salatiga yang jaraknya kurang lebih satu kilometer utara area satu dan dua. Area ini dipakai untuk produksi jenis tanaman keras, perikanan, peternakan ayam, sapi, dan babi.
Dalam perkembangannya KPTT juga berproduksi, selain untuk menutup kekurangan biaya yang sebagian berasal dari kegiatan kursus, juga sebagai sarana pembentukan kader. Teori saja tidak cukup. “70-80 persen kursus terdiri atas pelatihan dan praktik sebagai petani. Dengan demikian diharapkan dalam diri mereka terbentuk karakter bertani yang cerdas, berilmu, lestari. Sesudahnya mereka menularkannya pada sesama petani di tempat asal,” jelas Romo Herman Yahya SJ, ketua pengurus yayasan, pertengahan Februari yang lalu di Salatiga.
Menurut Romo Herman yang menangani KPTT sejak 2013, dulu kursus berlangsung satu tahun. Selama satu tahun kaum muda—putra dan putri—dari berbagai daerah dan dari berbagai tradisi iman, tinggal bersama dalam asrama secara terpisah. Dengan demikian mereka belajar bersama-sama, mengembangkan diri sebagai petani yang berkarakter dan mencintai lingkungan. Mengembangkan tiga model bertani: tradisional, green house modern dan hidroponik, belakangan kemudian dengan media sabut (cocopeat) dan gabungan keduanya. Semua dikerjakan secara organik dan tidak menggunakan obat-obat kimia, sehingga ramah lingkungan.
Kursus selama satu tahun memang ideal, tetapi kemudian dirasakan terlalu lama. Dengan biaya rata-rata Rp 2 juta/sebulan/orang mereka tinggal di asrama yang disediakan KPTT—sekarang Rp 3 juta—termasuk akomodasi sehari-hari. Setelah berjalan beberapa tahun, kursus pun diselenggarakan beberapa program pelatihan dengan waktu yang berbeda-beda. Tidak lagi hanya untuk pelatihan calon-calon petani, tetapi juga sebagai bagian dari pendidikan mencintai kegiatan bertani program 1 hari untuk usia SD-SMP, mulai dari 3 hari, 7 hari, 1 bulan hingga 3 bulan untuk usia SMA, mahasiswa dan umum. Pandemi membuat selama dua tahun KPTT tidak ada kursus. Kursus dilakukan secara on line. Tidak ada uang masuk dari kursus. Dengan dihentikannya PPKM, menurut Romo Herman, kini satu dua mulai ada yang mendaftar ikut pelatihan.
Dengan hasil kebun, di samping bantuan dari para donatur, KPTT ada pemasukan terutama dari usaha peternakan babi yang jumlahnya pernah sampai 500 ekor. Menurut Romo Fransiscus Asisi Sugiarta SJ, direktur KPTT yang sehari-hari tinggal di area tiga, belakangan ini penghasilan dari peternakan babi merosot. Harganya mahal.
Pemasukan dari produksi kebun, bagi KPTT bukan prioritas, meskipun umat beberapa paroki di Semarang, dan umum ada saja yang memesan secara on line sayur-sayuran hasil KPTT. “Yang kami utamakan pembentukan karakter dan keterampilan bertani yang bermutu, sehingga KPTT menjadi teman petani,” tegas Romo Sunu Hardianto. Dia tambahkan, sampai tahun 2000, berkat bantuan berbagai pihak utamanya penyumbang dan dana para para peserta kursus, KPTT berkembang maju. Tetapi dengan berhentinya bantuan dari Jerman sejak tahun 2000, KPTT harus mandiri, berusaha mencari donatur dalam negeri. KPTT itu lembaga non–profit.”
Menurut Romo Herman Yahya, dari sisi usaha bisnis, dalam arti neraca pemasukan dan pengeluaran, KPTT saat ini sedang redup. Merosot. Pandemi dua tahun yang mengharuskan KPTT menutup kegiatan kursus, mengakibatkan tidak ada pemasukan. “Padahal kami menanggung biaya 50 karyawan atau 200 jiwa, termasuk karyawan tetap dan karyawan lepas, tiap bulan. Dukungan dari SJ sebab ini adalah karya SJ Provinsi Indonesia? “Ada, tetapi karya sosial SJ yang lain kan butuh dana juga. Dengan menempatkan tiga imam dan satu bruder di sini, memperlihatkan kepedulian SJ. Ini kan karya sosial SJ juga, bagian dari pembentukan kader Indonesia.”
Ramah lingkungan
KPTT yang lokasinya di pinggiran kota Salatiga dengan panorama di sisi barat Gunung Merbabu, siang itu panas terik padahal semalam diguyur hujan lebat. Baik di area satu maupun tiga tidak ada kegiatan kursus. Kecuali 51 siswa Seminari Mertoyudan yang tengah live in tiga hari yang sibuk bekerja di kebun lada, tidak ada tamu berkunjung. Meskipun demikian suasana tetap riuh dengan beberapa karyawan lepas menyiangi rumput di lahan pohon alpukat. Dalam suasana sejuk, tanaman sayuran tumbuh subur di area satu, termasuk tanaman strawberry yang tumbuh subur dalam green house, sementara sapi, ayam dan babi serta pohon lada di area tiga.
Mengelilingi sebagian area satu, di samping kanan kiri asrama putra dan putri untuk peserta kursus, dapur dan tempat jemuran, terhampar berbagai jenis sayuran. Di sampingnya beberapa rumah tempat pembuatan jamur yang sebagian siap dipanen. Selebihnya lahan kosong yang siang itu dikerjakan para seminaris di bawah bimbingan Bruder Antonius Dieng Karnedi SJ.
“Mereka berasal dari berbagai daerah yang masuk seminari tahun lalu. Lulusan SMP. Live in tiga hari di sini. Melakukan apa saja seperti para peserta kursus. Tujuan utama agar mereka kenal dengan kerja di kebun, tahu sulitnya kehidupan petani, dan bertani secara ekologis. Semoga bermanfaat bagi mereka. Di perdesaan mungkin tidak pernah masuk sawah, apalagi yang di kota. Di sini walau hanya tiga hari biar mereka gluprut dengan tanah dan lumpur,” tambah Romo Sugiarta.
Menurut Romo Herman dan Romo Sugiarta, dana memang persoalan, tetapi bukan pokok, sebab yang lebih penting menyangkut sumber daya manusia di KPTT. Umumnya tenaga di sini kurang terlatih dengan berbagai percobaan pertanian yang modern tetapi tetap ramah lingkungan. “Kami melawan arus,” tegas Romo Herman.
Diusahakan melawan kebiasaan umum bertani dan berkebun yang telanjur dengan mudah menggunakan pupuk kimia. Penggunaan pupuk kimia itu memang cepat berproduksi dan mudah diperoleh di toko, tetapi merusak tanah. Dengan pupuk kimia, hama juga harus diatasi dengan obat kimia. Padahal dengan variasi tumbuh-tumbuhan hama bisa diminimalisir, apalagi juga bisa ditanam tumbuh-tumbuhan predator hama. Di antaranya, KPTT mengembangkan Jamur Trichoderma sp sebagai jamur antagonis hama Fusarium, hama yang menyebabkan layu dan kematian cabe, melon, terong, lada, kentang dan pisang. KPTT ingin membantu petani membebaskan lahan pertanian dari Fusarium.
Bertani dengan tidak merusak tanah. Ramah lingkungan. Konsep dan usaha KPTT memperoleh penegasan teologis dari ensiklik Laudato Si’ (Terpujilah Engkau) Paus Fransiskus tahun 2015. Pertanian diselenggarakan tidak dengan pupuk kimia juga tidak dengan obat kimiawi, sebab merusak unsur tanah. Pemupukan dan pengendalian hama tanaman secara organik. Pemenuhan nutrisi tanaman diberikan lewat Hoagland Nutrient, termasuk penerapan biogas berbahan dasar kotoran ternak.
Melawan arus masyarakat yang mengedepankan produksi tanpa mengindahkan ekosistem, KPTT menaruhkan harapan. Selama ini tercatat kerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan seperti sekolah farming di Ambarawa, Fakultas Pertanian UKSW Salatiga, dan 20 instansi lainnya. Sementara sudah ada peserta kursus rata-rata 1.600 orang tiap tahun. Merekalah virus positif bagi kegiatan pertanian yang cerdas, berilmu dan ramah lingkungan yang bertani secara organik termasuk pengendalian hama secara organik.
SULARTO
Wartawan Senior