Oleh DAMIANA YASINTA AMBU*
Sejarah Paroki Katedral Ruteng
Gereja Katedral Santa Maria Assumpta dan Santo Yosep Ruteng adalah salah satu paroki yang berada di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ruteng mendapat julukan ‘Kota Seribu Gereja.’ Yang paling menarik dari gereja yang juga dikenal sebagai Gereja Katedral Lama itu adalah atapnya yang runcing menjulang bergaya Eropa lama.
Banyaknya gereja di Ruteng tak lepas dari riwayat penjajah Portugis yang pernah menguasai daerah ini. Ruteng juga dikembangkan oleh para misionaris gereja pada masa Politik Etis Belanda pada awal tahun 1900-an, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Hindia Belanda kala itu. Selain berjuluk ‘Kota Seribu Gereja,’ Ruteng juga disebut sebagai kota transit. Ini karena banyak pelancong yang mengunjungi Ruteng saat mereka hendak menuju Waerebo, kampung adat yang juga dikenal sebagai ‘Desa di Atas Awan,’ yang berjarak sekitar 62 km ke arah barat daya. Pelancong biasanya tinggal selama beberapa hari saja di Ruteng. Padahal Ruteng sendiri mempunyai beberapa tempat wisata alam dan budaya yang menarik untuk dikunjungi.
Ruteng juga memiliki sistem persawahan yang membagi lahan sawah menyerupai pola sarang laba-laba di Lodok Cancar. Penggemar wisata sejarah pun bisa mampir ke Liang Bua, tempat ditemukannya manusia purba homo florensis, yang rencananya akan dikembangkan menjadi museum terbuka oleh pemerintah setempat.
Awal karya misi (1914–1920)
Tumbuhnya bibit kekatolikan dimulai saat pembaptisan perdana warga Ruteng di Pitak pada tanggal 11 Desember 1914 oleh Mgr. Petrus Neijen SVD. Ia yang mengawali “penanaman” benih iman Katolik di Ruteng. Sebelum itu, pembaptisan perdana umat Manggarai di Reo pada tanggal 17 Mei 1912 juga dilakukan. Sebanyak 6 orang mendahului pembaptisan perdana di Ruteng. Namun, iman yang telah ditanam itu, untuk sementara, belum mendapat perhatian yang intensif.
Menjadi stasi induk dan pusat misi wilayah Manggarai Tengah (1920–1929)
Benih iman yang telah ditabur itu seiring berjalannya waktu terus berkembang dan membuahkan hasil. Kenyataan ini sanggup menggerakkan para misionaris perintis yang berpusat di Ende untuk menjadikan Ruteng sebagai stasi induk dan pusat karya misi untuk wilayah Manggarai Tengah. Pater Bernhard Glaneman SVD pun mulai menetap di Ruteng pada tanggal 23 September 1920. Hari itu juga ditetapkan sebagai hari berdirinya misi di Manggarai. Perkembangan pun semakin baik dan menjadi paroki pada 1920. Banyak stasi dibuka ketika Pater Franc Dorn SVD menjadi pastor paroki pada tahun 1923-1939.
Menjadi dekenat (1929–1951)
Wilayah Gereja Katolik Manggarai ditetapkan sebagai Dekenat pada tanggal 29 September 1929. Pater Thomas Koning, SVD menjadi Deken pertama. Paroki Ruteng menjadi pusat Dekenat Manggarai. Pater Franc Dorn, SVD menjalankan tugas sebagai pastor Paroki sejak tahun 1939. Pater Frans Mensen, SVD menjadi Pastor Paroki sejak tahun 1939 sampai 1946. Pater Yohanes Bala Letor, SVD bekerja pada tahun 1942-1946. Pater Markus Malar, SVD bekerja di Paroki Ruteng sekitar tahun 1950-an.
Dalam perkembangannya, Paroki Ka-Redong lahir dari rahim Paroki Ruteng padatahun 1940. Dalam rentang waktu ini juga mulai berdiri sekolah-sekolah yang mendukung karya pastoral paroki Ruteng, bahkan Manggarai secara keseluruhan. Gereja Paroki Ruteng mulai dibangun pada tahun 1929 hingga tahun 1939.
Cikal bakal nama Paroki Katedral (1951–1961)
Status Dekenat Manggarai meningkat menjadi Vikariat Apostolik Ruteng tanggal 8 Maret 1951. Pater Wilhelmus Van Bekkum, SVD menjadi Vikaris Apostolk pertama. Ia ditahbiskan menjadi uskup pada tanggal 13 Mei 1951. Gereja Paroki Ruteng, yang terbesar di Manggarai itu menjadi Gereja Paroki Katedral Ruteng. Sejak itu, cikal bakal nama paroki “Katedral” Ruteng mulai diukir. Dalam rentang waktu 1951-1961 Paroki Katedral dikembangkan oleh Pater Markus Malar, SVD, Pater Karolus Karel Bale, SVD dari tahun 1957-1967. Gereja ini kemudian menjadi Gereja Paroki Katedral Ruteng, dengan pelindungnya St. Maria Diangkat ke Surga dan Santo Yosef..
Periode pendewasaan (1961-1972)
Vikariat Apostolik Ruteng ditingkatkan statusnya menjadi Keuskupan Ruteng pada tanggal 3 Januari 1961. Mgr. Wilhelmus Van Bekkum, SVD menjadi uskup pertama. Peningkatan status ini merupakan pengakuan Gereja Universal bahwa wilayah Manggarai tidak lagi menjadi daerah misi, melainkan menjadi Gereja lokal. Paroki Katedral yang masih meliputi seluruh kota Ruteng menjadi titik sentral Gereja Lokal Keuskupan Ruteng. Beberapa paroki yang lahir dari Paroki Katedral Ruteng adalah Paroki St. Mikael Kumba yang berdiri pada tahun 1962. Demikian juga Paroki St. Fransiskus Asisi Karot yang berdiri pada tahun 1974. Pater Hilarius Gudi SVD menjadi pastor Paroki Katedral pada tahun 1967-1970. Selanjutnya, posisinya digantikan oleh Pater Carolus Kale Bale, SVD. Pater Yosef Klizan, SVD menjadi pastor Paroki Katedral Ruteng pada tahun 1970-1972.
Periode regenerasi (1970–1984)
Mgr Wilhelmus Van Bekkum, SVD berhenti dengan hormat sebagai Uskup Ruteng pada tanggal 31 Januari 1972. Pater Vitalis Djebarus, SVD pun menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng. Mgr. Vitalis Djebarus, SVD ditahbiskan menjadi Uskup Ruteng yang kedua pada tanggal 5 Mei 1973. Bersamaan dengan itu Romo Max Nambu, Pr diangkat menjadi pastor Paroki Katedral Ruteng hingga tahun 2004.
Periode pengembangan
Dalam perkembangannya, Mgr. Vitalis Djebarus, SVD diangkat menjadi Uskup Denpasar pada tanggal 4 Januari 1981. Pater Gerardus Mezemberg, SVD mengemban tugas memimpin Diosis sebagai Vikaris Kapitularis. Romo Max Nambu, Pr (Pastor Paroki Katedral) menjadi Administrator Diosesan pada tanggal 15 Desember 1983.
Takhta Suci Vatikan mengangkat Pater Eduardus Sangsun, SVD sebagai uskup Ruteng pada tanggal 3 Desember 1984. Paroki Santo Vitalis Cewonikit berdiri pada tahun 1984. Paroki Kristus Raja Mbaumuku berdiri pada tahun 1990. Pencanangan pembangunan Katedral baru terjadi pada tahun 1985.
Mgr. Eduardus Sangsun, SVD meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober 2008. Romo Laurens Sopang, Pr dingkat menjadi Administrator Keuskupan Ruteng pada tanggal. 16 Oktober 2008. Dalam perjalanan selanjutnya, Mgr. Hubertus Leteng diangkat menjadi Uskup Ruteng pada tanggal 14 April 2010. Namun, Mgr. Hubertus Leteng digantikan oleh Mgr. Siprianus Hormat pada tanggal 13 November 2019 dan resmi menjadi Uskup Keuskupan Ruteng pada tanggal 19 Maret 2020 hingga saat ini.
Batas-batas Wilayah Paroki Katedral Ruteng
Paroki Katedral Ruteng di sebelah utara berbatasan dengan wilayah Paroki Karot dan Kristus Raja. Sebelah selatan berbatasan dengan kawasan hutan lindung . Sebelah timur berbatasan dengan Kali Mati Nekang/Lingko Ngencung. Sebelah barat berbatasan dengan Wae Gogol dan Cunca Lawir Paroki St. Vitalis-Cewonikit.
Data dasar pastoral
Saat ini Paroki Katedral Ruteng mempunyai 13 wilayah, 88 komunitas basis Gerejawi dan 2.399 kepala keluarga, dan 12.485 umat. Romo Benediktus Bensy, Pr yang saat ini bertugas melayani di paroki tersebut.
Visi-misi
Paroki Katedral Ruteng mempunyai visi “Paroki Katedral Ruteng menuju Paroki Beriman, Solider, Misioner, Mandiri, Akuntabel dan Berkelanjutan”. Visi itu ditempuh dengan misi, pertama, membangun Paroki Katedral sebagai sebuah komunitas beriman. Kedua, membangun Paroki Katedral sebagai himpunan umat yang bersaudara. Ketiga, membangun Paroki Katedral yang mandiri. Keempat, membangun Paroki Katedral yang misioner. Kelima, membangun Paroki Katedral yang akuntabel dan berkelanjutan.
Kehidupan budaya
Umat di Paroki Katedral Ruteng menghidupi adat istiadat setempat. Namun, mereka menghadapi tantangan budaya seperti komersialisasi nilai-nilai budaya, disfungsi rumah gendang sebagai pusat kultural-religius dan hukum adat yang semakin lemah. Di paroki tersebut juga belum ada usaha sistematis untuk megkritisi nilai-nilai budaya Manggarai yang tidak relevan dengan zaman sekarang. Sedangkan permasalahan yang lain adalah munculnya masalah di kalangan kaum muda seperti narkoba, putus sekolah, individualisme, dan kekerasan; munculnya rumah merah dan tempat hiburan yang tidak sehat; fanatisme kesukuan yang masih terasa kuat dan ketidaksetaraan gender.
Kehidupan ekonomi
Kehidupan umat Paroki Ruteng diwarnai beberapa tantangan. Di antaranya adalah tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Pendidikan kurang berkualitas. Jumlah ahli dalam bidang pekerjaan mayoritas yaitu pertanian dan peternakan kurang memadai. Pola pertanian sangat alamiah bergantung pada musim. Jumlah umat yang miskin semakin banyak. Jumlah koperasi belum merata. Pendapatan ekonomi rendah.
Selain bertani, sebagian umat ada yang beternak babi, kambing, sapi maupun ayam. Sebagian lagi melakukan usaha keci seperti buka kios, tukang, sopir, ojek, penjaga toko, pengusaha, pedagang, pegawai negeri sipil maupun wiraswasta lainnya.
*Penulis adalah mahasiswi Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik Santo Fransiskus Assisi, Semarang