Tri Hita Karana

Kita sepakat bahwa perbedaan agama, perbedaan suku, ras, dan asal usul, status sosial hari ini sudah kita lewatkan. Tokoh agama Hindu, Eko Pujianto menyampaikan hal tersebut dalam acara Seminar Ekologi dan Pelatihan Membuat Eco Enzyme di aula SD Kanisius Kurmosari, Semarang, 5 Februari 2023.

“Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalin komunikasi antar sesama di bawah bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia ini untuk selalu bersatu berpadu, untuk membangun Indonesia yang lebih baik karena ke depan tentunya kompetisi, tantangan itu tidak mudah. Kalau kita masih ribut soal keyakinan rasanya kok kurang enak sekali,” kata Eko dalam acara yang diselenggarakan Timpel Keutuhan Ciptaan dan Lingkungan Hidup Gereja Paroki Santa Teresia Bongsari.

Eko pun menyampaikan materi merawat bumi dalam perspektif Hindu. Menurutnya, konsep yang paling mendasar di dalam agama Hindu adalah Tri Hita Karana yang terdiri dari pawongan (relasi dengan sesama manusia), pelemahan (relasi dengan lingkungan) dan parahyangan (relasi dengan Tuhan).

Pawongan itu dari bahasa Jawa, wong, pawongan begitu. Parahyangan kepada Tuhan, lalu, palemahan itu lingkungan hidupnya. Jadi, itu yang disebut dengan konsep Tri Hita Karana,” katanya dalam acara yang dihadiri kaum muda lintas agama itu.

Menurut Eko, kedekatan agama Hindu dengan lingkungan juga terungkap dalam bentuk sesaji. “Sesaji sudah pasti sangat mendukung dengan konsep menyatunya alam. Maksudnya apa? Jadi, alat yang dipakai untuk membuat sesaji itu hampir 95 persen pasti dari alam,” kata Eko.

Menurut Eko, dalam sesaji, misalnya bubur warna-warni, warnanya dibuat dari bahan-bahan alami. “Kalau kuning ya dari kunyit, kalau merah dari buah naga yang warnanya merah, hitam dari parutan arang kelapa, hijau dari tumbukan daun, daun pandan. Putih pasti nasi putih. Di situ, sudah sama sekali tidak memakai pewarna buatan, “ kata Eko. Untuk membuat wadah sesaji yang terbuat dari daun, masyarakat Hindu di Bali menggunakan lidi.

Keselarasan dengan alam juga terlihat ketika masyarakat Hindu Bali memakaikan kain putih hitam di pohon-pohon.  “Di Bali, jangankan manusia, tumbuhan saja diselendangi. Itu namanya kain poleng, simbol baik dan buruk. Kehidupan manusia itu akan  berhadapan dengan baik dan buruk, dan dengan agamalah kita mampu mengendalikan mana yang harus diperbuat, dan mana yang harus dihindari,” jelas Eko. Menurut Eko, ketika pohon sudah diberi kain tersebut, masyarakat akan sangat menghormatinya. Pohon  sangat penting dalam ekosistem. Selain bisa menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen, pohon juga bisa menyimpan air. Maka, di daerah yang banyak pohonnya, banyak pula sumber mata airnya.

Demikian pula dalam penggunaan dupa sebagai sarana sembayang. Umat Hindu memakai dupa yang dibuat dari alam yaitu kayu-kayu yang harum seperti cendana dan gaharu.

Mulai dari diri sendiri

Dalam kesempatan itu, Eko juga menyampaikan, untuk merawat bumi, hal itu bisa dilakukan mulai dari diri sendiri di lingkungan sendiri. Eko mempunyai pengalaman praktis mengelola limbah kotoran ternak babi yang kalau tidak diolah dengan baik akan mengganggu lingkungan. Terpanggil akan hal itu, ia belajar membuat racikan pengurai. “Jadi, memang konsepnya, dari limbah, masuk ke septic tank pertama, lalu masuk ke septic tank kedua, dari penyaringan kedua, diambil itu untuk memelihara lele, dan ternyata lelenya hidup. Berarti sudah bisa melalui menyelesaikan amoniak melalui mikroba yang saya buat tadi,” katanya.

Selanjutnya, air yang sebelumnya dipakai untuk memelihara lele ternyata mengandung pupuk. “Air kolam dipakai untuk menyiram tomat, lombok, untuk sayuran dan sebagainya. Dan ini luar biasa, kehidupan di sana. Sehingga sudah sedikit banyak kami praktekkan di dalam kehidupan sehari-hari kita,” katanya.

Eko juga menceritakan tentang salah satu ritual hari Nyepi yang dilakukan umat Hindu di Bali dengan melakukan catur brata selama 24 jam yang meliputi amati karya, amati geni, amati lelungan, dan amati lelanguan. Amati karya berarti pantangan yang berupa larangan untuk bekerja atau melakukan aktivitas tertentu. Amati geni adalah pantangan berupa larangan menyalakan api. Amati lelungan adalah pantangan yang berupa larangan untuk bepergian. Sedangkan amati lelanguan adalah pantangan untuk mengadakan aktivitas bersenang-senang.

“Selama 24 jam tidak pergi, tidak menyalakan api, tidak menyalakan motor, tidak bersenang-senang, amati karya itu, luar biasa. Dari 24 jam itu bandara ditutup, pelabuhan ditutup, hotel-hotel semua operasionalnya ditutup, kendaraan tidak satu pun berbunyi di hari itu. Kecuali sangat darurat. Sehingga menyumbangkan luar biasa bagaimana merawat bumi dan alam sekitarnya,” katanya.

Menurutnya, dalam ritual itu semuanya istirahat. “Jadi, bener-bener alam itu diistirahatkan selama 24 jam,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *