Mereka yang Berbeda Agama adalah Saudara Kita di dalam Kemanusiaan

K.H. Abu Yazid Al-Busthami menegaskan, Islam adalah agama rahmah, agama kasih. “Bagi umat Islam sendiri ketika kita berbicara tentang agama kita pasti tidak terlepas dari bahwa Allah, Tuhan kami, Tuhan kita semua adalah memiliki sifat Ar Rahman Ar Rahim, yang maha kasih,” katanya dalam Seminar Nasional Dokumen Abu Dhabi “Tentang Persaudaraan Manusia  untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama” di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, 25 Januari 2023.

Menurutnya, tujuan utama  Nabi Muhammad SAW, Nabi umat Islam diutus adalah untuk memberikan kasih kepada alam semesta. Bukan hanya kepada umat Islam, tapi seluruh isi alam semesta ini. “Maka, tentu kasih ini adalah kepada umat manusia di seluruh dunia. Apapun agamanya, apapun bangsanya,” katanya.

Menurut Kiai Yazid, Nahdlatul Ulama (NU) sudah menegaskan konsep-konsep kemanusiaan yang mesti dilakukan. “Karena itulah kami di dalam NU sendiri kalau kita bicara tentang bagaimana sebetulnya konsep kemanusiaan, di dalam NU, itu sudah sangat ditegaskan di dalam manuskrip-manuskrip yang ada di dalam Nahdlatul Ulama yang kemudian ini juga jadi landasan bagaimana kita sebagai umat Islam itu harus betul-betul mengembangkan konsep Islam sebagai rahmatan il alamin ini,” katanya.

Kiai Yazid memberi contoh, pada zaman kemerdekaan, ketika terjadi gesekan dan bahkan juga berujung kepada konflik meskipun tidak sampai perpecahan, Kiai Haji Hasyim Ashari, pemimpin besar dari NU menyatakan, Pancasila adalah yang terbaik. Beliau tidak menginginkan kalau negara ini mengalami kehancuran hanya gara-gara ideologi yang diperebutkan.

“Karena Pancasila ini kemudian menjadi landasan yang bisa diterima oleh seluruh umat manusia yang ada di Indonesia. Yang bahkan ini juga akan bisa jadi landasan untuk kemudian bisa dikembangkan menjadi teladan  dan contoh bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia. Kenapa? Karena memang sebetulnya konsep dasar dari Nahdlatul Ulama, para kiai kami itu mengajarkan bahwa kebinekaan, perbedaan itu bukan suatu hal yang harus diperdebatkan,” ungkapnya.

Kiai Yazid menegaskan, dalam Al Qur’an disampaikan andaikan Allah mau, sebetulnya bisa melakukan upaya untuk membuat umat manusia tidak ada perbedaan. “Tapi Tuhan tidak mau. Tuhan tidak berkehendak. Ini ditegaskan Al Qur’an,” katanya.

Karena itulah ketika kita bicara Indonesia, lanjutnya, kebinekaan ini adalah suatu hal yang tidak bisa ditolak. “Ini adalah fitrah dari Tuhan. Itulah yang dalam istilah para kiai-kiai kami mengatakan yang sama jangan sampai dibedakan, yang berbeda jangan sampai disamakan,” katanya.

Kiai Yazid melanjutkan, tentang upaya-upaya yang dilakukan NU untuk melindungi kemanusiaan yang ada di Indonesia. “Inilah yang juga kemudian diupayakan oleh para pemimpin-pemimpin yang ada di Nahdlatul Ulama. Salah satunya adalah bagaimana pada tahun 1984, Rois kami PBNU adalah Kiai Achmad Siddiq itu, beliau membuat satu formulasi teologis, bahwa ketika kita menjadi umat Islam, itu jangan menganggap bahwa yang saudara itu hanya umat Islam. Ini dalam konsep NU disebut Ukhuwah Islamiyah saja. Tidak. Tapi juga ada kemudian disebut Ukhuwah Wathaniyah, dan Ukhuwah Basyariyah,” jelasnya.

“Ukhuwah Wathaniyah ini adalah bahwa kita sebagai satu bangsa yang besar ini, berbeda suku, berbeda agama, ini sebetulnya hakikatnya adalah saudara juga. Kenapa? Karena Indonesia tidak akan pernah berdiri hanya jika kita satu bangsa, hanya jika kita satu agama. Justru Indonesia akhirnya menjadi berdiri dan menjadi rumah kita bersama karena kita adalah berbeda. Berbeda bangsa, berbeda suku, dan berbeda agama. Pahlawan kita pun, kita temukan bukan hanya orang Islam. Pahlawan kita juga banyak dari kalangan orang lain. Itu yang ditegaskan oleh para ulama-ulama kami,” katanya.

Sedangkan Ukhuwah Basyariah, menurutnya, kita bersaudara dalam kemanusiaan karena kita lahir dari bapak yang satu dan ibu yang satu. “Karena kita dari rahim yang sama. Dari bapak yang sama dan ibu yang sama. Sehingga walaupun mungkin kita punya perbedaan dalam urusan kepercayaan, tapi dalam kemanusiaan kita adalah satu dan kita tidak akan pernah bisa dibeda-bedakan. Sehingga ini yang perlu kemudian ada upaya kepedulian untuk membela kemanusiaan ini dan ini tidak akan bisa terwujud kalau kita tidak bersama-sama,” ungkapnya.

Kiai Yazid juga menyampaikan tentang Gus Dur yang dengan upayanya telah mencairkan kebuntuan dialog antaragama di Indonesia. “Apa yang dilakukan Gus Dur? Saya kira tidak perlu diceriterakan lebih banyak lagi karena beliau sudah terbukti bagaimana agar kemudian dialog antaragama yang ada di Indonesia yang selama ini mengalami kebuntuan menjadi cair,” katanya.

Menurutnya, bahwa sebetulnya walaupun kita mungkin berbeda dalam agama, berbeda dalam kepercayaan, tapi dalam kemanusiaan, kita adalah sama. Kita harus selalu berkomunikasi, berdialog. Kenapa? Karena kita punya tujuan dan kebajikan yang sama. Tujuan untuk meraih perdamaian dunia dan khususnya kalau kita bicara Indonesia adalah demi kebaikan kita semua, rumah besar kita di Indonesia menjadi aman dan tenteram dan mendapatkan kedamaian abadi,” katanya.

Tahun 2019, sebelum ada Dokumen Abu Dhabi, Kiai Yazid menyampaikan,  Indonesia mengalami satu gesekan gara-gara politik jelang pemilihan presiden (pilpres). “Apa yang dilakukan oleh para kiai-kiai kami ketika itu menjelang pilpres itu. Cuma satu. Jangan ngikut-ngikut orang yang mengatasnamakan Islam, tapi ternyata justru menghancurkan negaranya, menghancurkan kerukunan antar umat beragama. Hingga kemudian muncullah fatwa yang pada tahun 2019 itu NU melakukan Munas, Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Ulama-ulama NU seluruh Indonesia berkumpul di Banjar Patroman, di Jawa Barat. Kemudian mengeluarkan satu fatwa jangan pernah menyebut orang yang berbeda kepercayaan dengan umat Islam dengan sebutan kafir. Kenapa demikian? Karena hal yang demikian akan berakibat juga kita akan dikafirkan oleh mereka. Tapi sebutlah mereka dalam konteks sosial dan kemanusiaan, bahwa mereka adalah nonmuslim. Kenapa? Karena hakikatnya mereka yang berbeda agama adalah saudara kita di dalam kemanusiaan,” kata Kiai Yazid.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *