Deklarasi Abu Dhabi Adalah Muara Dari Suatu Proses Panjang

Seminar Nasional Dokumen Abu Dhabi “Tentang Persaudaraan Manusia  untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama” di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, menurut Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo merupakan tanggapan terhadap undangan yang disampaikan pada akhir dokumen tersebut.

“Al Azhar dan Gereja Katolik meminta agar deklarasi ini menjadi bahan penelitian dan refleksi di semua sekolah, universitas, dan institut pendidikan agar membantu mendidik generasi baru membawa kebaikan serta kedamaian bagi orang lain dan di mana-mana menjadi pembela hak-hak dari mereka yang tertindas dan yang terkecil  di antara saudara-saudari kita,” kutipnya dari dokumen Abu Dhabi pada acara yang diselenggarakan tanggal 25 Januari 2023 itu.

Kardinal menambahkan, pada nomor sebelumnya, nomor 38, kedua pihak juga meminta kepada pihak-pihak yang berwenang agar prinsip-prinsip yang ada di dalam deklarasi ini diterjemahkan ke dalam kebijakan, keputusan, ketetapan legislatif, program-program studi dan bahan-bahan untuk diedarkan.

Pada kesempatan itu, Kardinal Suharyo juga menyampaikan catatan tokoh Islam dari Indonesia, M. Quraish Shihab yang hadir dalam pertemuan deklarasi, 4 Februari 2019 itu.  Menurutnya, Quraish Shihab mencatat pernyataan Imam Besar Al Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb dengan kutipan ini, “Saya diundang oleh sahabat dan saudara saya, Fransiskus, ke rumah beliau yang dipenuhi keramahtamahan untuk bersantap bersama. Lalu salah seorang hadirin berusia relatif muda mengajukan harapan dan ide tentang persaudaraan sekemanusiaan. Hal tersebut disambut oleh Paus dan memperoleh juga dukungan kuat dari saya.”

Imam Besar Al Azhar pun melanjutkan, “Setelah sekian kali dialog dan pengamatan terhadap situasi dan kondisi dunia kita yang ditandai oleh penderitaan akibat pembunuhan serta apa yang dialami oleh fakir miskin, para janda, anak-anak yatim serta mereka yang teraniaya dan yang hidup dalam situasi ketakutan atau terpaksa meninggalkan kampung halaman dan keluarga, setelah memperhatikan semua itu maka lahirlah pertanyaan, apakah yang dapat dipersembahkan oleh agama-agama untuk menjadi pelampung demi keselamatan mereka?”

Dalam beberapa baris berikutnya, Imam Besar itu masih mengatakan, “Sungguh mentakjubkan, bahwa kerisauan saya menyangkut apa yang sedang terjadi di persada bumi kita amat sangat sesuai dengan kerisauan yang dirasakan oleh Paus. Kami berdua merasakan tugas besar yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Tuhan. Sahabatku pun, Fransiskus, amat sangat kasih dan menderita akibat kesulitan yang dialami oleh umat manusia tanpa membedakan mereka dan tanpa catatan apapun.”

Kata-kata imam besar itu disambut oleh Paus Fransiskus dengan kata-kata ini, “Persaudaraan sekemanusiaan tercermin dengan jelas pada lambang pertemuan Abu Dhabi ini yakni merpati dengan dua sayapnya terbang sambil meletakkan di paruhnya ranting Zaitun. Kedua sayap itu mutlak diperlukan. Satu sayap melambangkan keadilan, dan satu lagi melambangkan pendidikan.”

Sesudah itu, Paus Fransiskus mengeluarkan dua anjuran pada hari Perdamaian Dunia setiap 1 Januari, yang satu bicara mengenai pendidikan sebagai syarat perdamaian, dan yang kedua adalah keadilan sebagai syarat perdamaian.

“Amat menarik juga kalau diperhatikan bahwa Deklarasi Abu Dhabi adalah muara dari suatu proses panjang penuh dinamika, pasang surut sejak tahun 1998,” kata Kardinal Suharyo.

Kardinal juga menyampaikan, meskipun yang menandatangani deklarasi itu adalah orang besar, Imam Besar Al Azhar Sheikh Ahmed el-Tayeb dan Paus Fransiskus, namun pertemuan itu dihadiri juga oleh berbagai macam tokoh agama. “Selain itu di dalam dokumen dinyatakan juga bahwa salah satu yang menjadi alamat dokumen ini adalah, saya kutip pada nomor 38, “Umat beragama di seluruh dunia dan lembaga-lembaga keagamaan,” katanya.

Kardinal Suharyo pun berharap, pertemuan di Kampus Atma Jaya itu bukan akhir dari pembicaraan. “Sebaliknya awal dari suatu gerakan bersama. Memang yang disampaikan adalah masalah-masalah global, tetapi kita diundang untuk menterjemahkan gagasan-gagasan global itu menjadi gagasan-gagasan yang lebih kecil. Dan gagasan-gagasan itu selanjutnya diterjemahkan di dalam gerakan-gerakan bersama,” tuturnya dalam acara yang menghadirkan narasumber dari berbagai agama dan kepercayaan itu.

Di penghujung sambutannya, Kardinal kembali mengutip  pertanyaan Imam Besar Al Azhar, “Apakah yang dapat dipersembahkan oleh agama-agama untuk menjadi pelampung demi keselamatan mereka?”

Menurutnya, kita juga diharapkan mengajukan pertanyaan, apa yang harus kita lakukan agar lingkungan hidup kita semakin bersaudara? “Pertanyaannya sederhana. Tetapi untuk mampu mengajukan pertanyaan itu diperlukan kompetensi, kompetensi etis yang namanya kepedulian. Dan ketika jawabannya sudah didapat kita memerlukan kompetensi etis yang lain, yaitu kerja sama, bukan kami dan mereka, tetapi kita. Dan usaha ini perlu didukung oleh doa,” katanya.

Ia pun menyampaikan doa yang sangat universal dari Santo Fransiskus Assisi yang hanya dikutip 4 baris.

“Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai,

Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih,

Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan,

Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.”

“Kita dapat memperpanjang doa itu sesuai dengan konteks kita masing-masing,” pungkasnya.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *