Agama: Rumah Kemanusiaan

Oleh MASMUNI MAHATMA*

 

Dinamika pendirian gereja di Cilegon tak akan berlarut-larut selama tiap-tiap elemen di masyarakat, terlebih pemerintah, memahami dan menempatkan martabat luhur agama sebagai “payung ilahi” demi kehidupan manusia. Tuhan tidak butuh agama, Dia sudah Mahasempurna dalam seluruh hal. Tuhan menciptakan agama, bukan untuk diri-Nya, melainkan dalam rangka membimbing, mengatrol dan mengontrol manusia meraih posisi mulia, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Apalagi dalam konteks ke-Indonesia-an, nilai-nilai ketuhanan, yang menjadi “parfum utama” agama merupakan basis primer sosio-berkehidupan. Seperti kurang tepat kalau pemahaman, pemaknaan, dan pemosisian agama tidak dikonstruksi dari dan untuk memompa kualitas kemanusiaan serta kebangsaan. Sebab agama, di samping mempunyai “kamus religius” bagaimana selaku hamba menyembah Tuhan, juga memiliki semangat dan juknis cukup transparan terkait interaksi antar sesama manusia.

Tak heran kalau Sang Waliyullah, Gus Dur, senantiasa menegaskan bahwa “Ketika manusia terus menerus berbuat dan menanamkan kebaikan tanpa pamrih kepada sesama dalam seluruh ruang dan waktu, ia tidak akan lagi ditanya apa agamanya. Ia akan diapresiasi, diteladani, dan dijadikan “simbol” Tuhan dalam realitas sosial kehidupan. Itulah yang melekat dalam diri Baginda Rasulullah SAW, Yesus Kristus, Buddha Gautama, dan tokoh-tokoh besar lain. Selalu mengedepankan sikap mengayomi, menyantuni, dan memayungi.

Menghargai agama

Agama mesti bertumbuh, bertransformasi dan terus menerus lebur dalam detak nadi kehidupan kemanusiaan. Sebab agama, dari perspektif tertentu, diturunkan benar-benar untuk mengawal dan mencerahkan produktifitas sosial kehidupan manusia. Dalam istilah lebih lugas, agama merupakan rumah kemanusiaan yang dikonstruksi dari dan untuk amanah-amanah luhur Tuhan. Ritus-ritus agama, bukan pengekang manusia dalam konteks menebar kebajikan, tapi untuk menyehatkan dan melenturkan.

Menghormati dan menghargai agama, kata Keith Ward (2009: 212), akan bermanfaat demi kebahagiaan. Secara hakikat, tak ada agama yang mengajarkan kesesatan atau menyesatkan. Agama, dalam pelbagai manifestasi nilai-nilai maupun kelembagaan, sejatinya tiada henti mendorong manusia lebih berkualitas mengarungi pengkhidmatan dalam penghambaan. Dengan sistem keyakinan religiusitasnya, agama, meminjam istilah Ali Syariati, bukan semata media “protes,” melainkan “bayonet” merekonstruksi kesadaran maupun perilaku sosial manusia sebagai hamba sekaligus khalifah.

Prinsip inilah yang cukup proporsional kita transformasikan dalam berkebangsaan. Terlebih kitab suci Alquran, yang jelas-jelas memuat segala otoritas Allah SWT, telah menegaskan bahwa setiap diri manusia merupakan khalifah-khalifah-Nya di muka bumi (QS. al-Baqarah [2] : 30). Tidak mudah menjadi khalifah Tuhan, karena bukan semata rajin melakukan ritus-ritus formal keagamaan, melainkan mesti obyektif dan siaga membumikan keluasan kebajikan-kebajikan Allah sebagai pengendali semesta.

Keith Ward pun melanjutkan bahwa keyakinan religius, akan senantiasa terkait dengan keseimbangan baik bagi kebahagiaan dan kesejahteraan manusia (2009: 213). Dalam perspektif ini, agama bukan semata urusan teologis (ketuhanan) dengan varian sifat-sifat dan otoritas Tuhan, melainkan lebih banyak terkait dengan konstruksi-aktualisasi praksis interaksi-kolektif manusia berkehidupan. Sehingga Rasulullah SAW menegaskan bahwa agama adalah nasihat bagi mereka yang telah memiliki iman. Dan tiap diri yang beriman, kata Sang Rasul, wajib memiliki kepekaan dan solidaritas dari dan untuk sesama.

Semakin terang, bahwa misi luhur agama, memang untuk terus memola, memoles, dan menyuburkan toleransi kemanusiaan berbasis kebajikan Tuhan. Dzat yang senantiasa empatik terhadap kelahiran maupun kehidupan umat manusia. Dzat yang menganugerahkan agama bukan dan tidak pernah “menakdirkan” sebagai penghambat laju peradaban kemanusiaan maupun kenegaraan. Sehingga agama tidak pantas ditarik menjadi bagian dari “patologi” berkebangsaan. Sebaliknya, harus dimanifestasikan sebagai perekat, pemompa, pencerah, dan pohon-pohon rindang dalam bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara tanpa kenal ruang dan waktu.

Sekira prinsip ini dikembangkan, insya Allah, kualitas interaksi kemanusiaan kita dalam ber-Indonesia, lebih-lebih di era yang serba bertumpu pada “kecerdasan digital” ini akan “menyejukkan.” Perilaku keberagamaan di Indonesia juga akan bertumbuh secara sehat, kuat, dan bergizi. Kecurigaan berlebihan atau “fitnah” dari dan atas nama tendensi suatu jalur keagamaan melalui medsos pun akan terminimalisir. Karena agama selayaknya mesti dihargai, dimaknai, dan dirawat sebagai rumah kemanusiaan, sumber meracik dan memerah semangat etik serta orientasi religiusitas dalam ber-Indonesia.

Alat moralitas

Emile Durkheim, pakar sosiologi agama, sekian abad lalu menengarai bahwa agama merupakan “alat moralitas” yang nilainya tak terhingga. Bukan semata persepsi, melainkan konstruksi aksiologis (baca: pelaksanaan moralisme). Dari sini semakin terang benderang, bahwa agama mesti menjadi sumber dari aktualisasi mentalitas dan sikap-sikap sosial manusia dalam bermasyarakat. Ia tidak boleh dijauhkan atau dikucilkan hanya semata urusan personalitas dengan Tuhan yang diyakini, melainkan patut ditempatkan sebagai ‘sumber primer’ pelaksanaan religiusitas dan moralitas kemanusiaan.

Sebagai alat moralitas, agama layak dileburkan senyaman mungkin bagi pemompaan interaksi sosial berkebangsaan. Bahkan difasilitasi untuk terus bertumbuh, berkreasi, berinovasi dalam memajukan peradaban-peradaban keindonesiaan, khususnya. Dan pembangunan gereja di Cilegon itu, selaiknya dimaknai sebagai salah satu irisan untuk orientasi luhur ini. Sebab gereja merupakan simbol rumah Tuhan juga, tempat umat dari keyakinan religius tertentu meluapkan rasa rindu kepada-Nya. Menahan proses keberadaanya, dalam perspektif ini, tampak kurang etis dan tidak edukatif-spiritualistik.

Bahwa masih ada hal-hal administratif yang harus dilengkapi, dibenarkan, dirapikan, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan di antara masyarakat, adalah tugas pemerintah untuk memediasi. Artinya, proses menuju perbaikan dan pemenuhan syarat perlu dibimbing, kurang elok bilamana “disumbat” melalui langkah-langkah yang kurang sejalan dengan prinsip kebhinekaan. Terlebih pemerintah, perlu berada dalam garda depan untuk mentransformasikan sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” maupun sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Sila-sila di atas, merupakan “fakta” konsepsionalistik kebangsaan dan tidak berlebihan kalau dijadikan bahan baku dalam rangka manifestasi serta transformasi agama sebagai rumah kemanusiaan, minimal di lingkungan taman besar bernama negeri Indonesia. Sementara keadilan dan keadaban, setidaknya dalam perspektif agama (Islam), adalah bagian dari wujud mentalitas maupun sikap ketakwaan di hadapan Allah SWT sekaligus sesama. Lebih-lebih keadilan, menurut ajaran Alquran, merupakan sikap yang lebih dekat kepada ketakwaan (QS. al-Maidah [5] : 8). Dari keadilan dan ketakwaan, disadari atau tidak, kita akan menemukan relasi-relasi yang mesra dengan Tuhan.

*Penulis adalah Ketua PW GP ANSOR dan Ketua Rumah Moderasi Beragama (RMB) IAIN SAS Kep. Bangka Belitung. Email: hadza0611@gmail.com

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *