HARI RAYA KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM
20 November 2022
Bacaan I : 2 Sam 5: 1-3
Bacaan II : Kol 1: 12-20
Bacaan Injil : Luk 23: 35-43
Rajaku gembalaku
Saya lahir dan dibesarkan di Yogyakarta. Dan sekarang ini saya berkarya di paroki Karesidenan Surakarta. Dua kota yang sarat dengan tradisi kerajaan: raja dan abdi. Walau kultur itu sekarang makin kendor digilas oleh roda zaman bernama modernitas, ‘bau’ kerajaan itu sesungguhnya masih menyengat. Relasi-relasi ditempatkan pada tuan dan pelayan, bahasa bertingkat-tingkat sesuai status orang yang berbicara, apa yang mau disampaikan dibungkus dengan kata-kata halus supaya sopan dan tidak menyinggung perasaan atau mengagetkan, hormat dan respek berlebihan dari masyarakat untuk para pejabat pemerintahan, dan sebagainya.
Hari ini Gereja merayakan Hari Raya Kristus Raja Semesta. Apa yang mau direfleksikan dengan perayaan ini? Pertama, hari ini dijadikan puncak hidup yang digambarkan dalam setahun penanggalan liturgi. Mulai dari adven menuju adven lagi. Dengan perayaan ini Gereja mau mengantarkan warganya untuk mengalami Kristus sebagai raja, dalam seluruh perjalanan hidup setiap pribadi. Setelah mengarungi hidup sampai hari ini, muncul pertanyaan: Siapakah Kristus bagi kita semua? Dan jawabnya adalah: Dia raja semesta. Kemudian kita diantar pada penataan hidup dengan pertanyaan lain: Jika Kristus adalah Raja, siapakah kita dan bagaimana kita harus bersikap terhadap-Nya?
Kristus Raja Semesta, Kristus Raja segala raja. Maka sewajarnya kita mengarahkan hidup pada kehendak Raja, mendengarkan perintah-Nya, dan menjalani hidup sebagaimana seorang abdi, melulu melakukan kehendak Raja. Ini sesungguhnya konsep besar dan arah mulia ziarah hidup kita. Yaitu mengagungkan Allah sebagai ‘rajaku’. Itu berarti juga mematikan kebebasan kehendakku, jika memang bertentangan dengan Sabda Raja. Itu yang dilakukan Santo Ignatius dari Loyola. Dari ambisi duniawi, kemudian ia bertobat mempersembahkan diri, kebebasan, kehendaknya bagi Tuhan yang berkehendak dan mempunyai rencana. Maka sejujurnya kita mesti merayakan pertobatan yang total, bentuk metanoia. Tentu ini membutuhkan latihan penuh disiplin sepanjang hidup.
Dalam Kitab Samuel, Raja digambarkan sebagai gembala: “Engkaulah yang harus menggembalakan umat-Ku Israel, dan engkaulah yang menjadi raja atas Israel” (2 Sam 5: 2). Bagi umat Israel ketika itu, menjadi raja berarti menjadi gembala bagi kawanan domba, yaitu umat Israel. Gembala yang seperti apa? Yang memelihara dan menjamin kesejahteraan hidup, yang melindungi dari aneka marabahaya, yang menuntun ke air yang tenang, ke jalan yang benar, dan ke padang rumput yang hijau. Bahkan seorang gembala adalah sosok yang rela mati untuk mengampuni dan menyelamatkan domba-dombanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama Aku di dalam Firdaus” (Luk 23: 43).
Romo F.X. Agus Suryana Gunadi, Pr