
Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Pembukaan
“Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37). Ini adalah kata-kata Yesus kepada para rasul, yang mengusulkan agar umat yang berkumpul supaya bubar dan mencari makan sendiri-sendiri di desa dan kampung sekitarnya. Ketika para rasul menjawab: Jadi haruskah kami membeli roti seharga dua ratus dinar untuk memberi mereka makan?” (ibid.), Yesus menjawab: “Berapa banyak roti yang ada padamu? Cobalah periksa!” (Mrk 6:38). Ternyata ada 5 roti dan 2 ikan. Dan dengan 5 roti dan 2 ikan, Yesus membagi sambil memperbanyak, sehingga cukup untuk makan 5 ribu orang, dan sisanya ada 12 bakul (bdk Mrk 6:43-44). Tuhan Yesus berkenan menggandakan apa yang sudah umat miliki. Berarti Tuhan Yesus berkenan memakai kemampuan yang sudah ada. Kemampuan yang dipersembahkan kepada-Nya, menjadi kemampuan yang terberkati. Berarti, kemampuan yang didukung oleh kuasa ilahi, hasilnya bisa luar biasa melampaui kekuatan/kemampuan sendiri dengan syarat umat menyerahkan “makanan” yang sedikit itu kepada-Nya. Dalam peristiwa penggandaan roti, juga terungkap ajakan agar mereka memiliki sikap peduli kepada sesama sampai menyerahkan semua yang mereka miliki, padahal mereka sendiri sebenarnya membutuhkan untuk diri mereka sendiri. Mereka diminta untuk memiliki cinta kepada sesama, sampai berani berkurban diri. Lalu Tuhan akan bertindak. Banyak pengalaman sehari-hari dari mereka yang memberi dari kekurangannya. Mereka merasa diberkati Tuhan. Dan Tuhan membalas dengan kebaikannya pada saat lain yang tak terduga.
Tuhan hadir dan bertindak
Sebagai orang beriman, hidup di dunia kita yakini selalu terkait erat dengan penyelenggaraan ilahi atau campur tangan Tuhan.
Pertama, lewat pribadi terpilih. Biasanya hasilnya gemilang. Campur tangan Tuhan secara langsung berwujud mukjizat menyertai seseorang yang melulu berbuat sesuatu kepada sesama demi Allah dan dalam rangka hidup mengabdi Allah. Contoh yang jelas yaitu apa yang terjadi dengan Ibu Teresa dari Calcutta. Ia semula adalah suster Loretto yang bertugas mengajar di sekolah. Dalam perjalanan naik kereta api dari Calcutta ke Darjeeling untuk mengikuti retret tahunan sebagai biarawati Loretto, dalam hati nuraninya ia mendengar panggilan Tuhan untuk melayani orang termiskin dari yang miskin. Ini terjadi dalam tahun 1946. Ia sangat serius menanggapinya. Kelak beliau berbicara mengenai peristiwa ini demikian: “Saya harus meninggalkan biara (Loretto) dan melayani orang miskin dan hidup bersama mereka. Itu suatu perintah. Gagal mengikutinya berarti mengkhianati iman.” (Clucas, 1988 p.35). Tahun 1948 ia mendapat izin dari Pimpinan biara Loretto untuk memulai misinya yang baru. Ia mulai memakai Sari India menjadi pakaiannya, menyebut diri dengan nama Ibu Teresa. Untuk karyanya, ia kursus 6 bulan mengenai masalah pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Keluarga Kudus di Patna. Awal karyanya tidak mudah. Ia harus meminta-minta untuk memberi makan, fasilitas tempat, dan pengobatan bagi mereka yang mulai dikumpulkan. Awal tahun 1949, Tuhan menggerakkan hati beberapa guru dan bekas muridnya dulu dari sekolah untuk datang membantu beliau. Inilah awal dari Suster Cintakasih yang beliau dirikan. Dan disahkan oleh Roma tahun 1950, menjadi Kongregasi Misionaris Cinta Kasih, yang bertujuan melayani orang tuna wisma, orang lumpuh, orang kusta yang dibuang masyarakatnya di kota Calcutta, India. Berdirinya Kongregasi Misionaris Cinta Kasih ini sangat jelas ada campur tangan Tuhan. Demikian pula ketika tahun 1952 dari pemerintah daerah beliau mendapat donasi, suatu reruntuhan bangunan lama yang dijadikan menjadi “rumah pertama untuk yang akan meninggal dunia” bagi para gelandangan, orang yang tersingkir dari masyarakatnya. Rumah ini diberi nama “Rumah bagi hati yang murni” (Nirmal Hriday). Di rumah ini mereka meninggal dunia secara bermartabat, karena mereka meninggal dalam kasih para suster. Yang muslim dibacakan dari al Qur’an, yang Hindu diberi air suci dari sungai Gangga, yang Katolik mendapat pengurapan orang sakit. Ibu Teresa mengatakan: mereka yang dulu seperti anjing, meninggalnya seperti malaikat. Sepertinya Tuhan Yesus berkata kepada Ibu Teresa, para Suster MC dan relawan lainnya: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37). Mukjizat berlanjut. Makin banyak orang yang harus ditampung, makin banyak pusat pelayanan didirikan, makin banyak pula panggilan untuk menjadi suster MC. Makin banyak pula donatur yang menyumbang.
Para suster MC setiap hari pasti merayakan ekaristi, meditasi, dan di tengah hari ada adorasi kepada Sakramen Yang Mahakudus selama satu jam. Menurut Ibu Teresa: “Inilah kekuatan kami”. Karya Tuhan menyertai karya Ibu Teresa, sehingga tahun 1963 berdirilah kongregasi MC untuk para bruder. Tahun 1976 berdiri cabang MC yang kontemplatif. Sesuai permintaan banyak imam, tahun 1981 mulai didirikan gerakan para imam: Tubuh Kristus (Corpus Christi) dan bersama dengan imam Joseph Langford tahun 1984 didirikan kongregasi MC untuk imam. Masih ada kelompok awam Katolik dan non Katolik yang menyebut dirinya Co-Workers of Mother Teresa, Kerabat Kerja Ibu Teresa. Pada tahun 2007, dari awal 13 suster MC, sudah menjadi 5.000 suster, 450 bruder, melayani 600 misi di 120 negara. Mereka telah menanggapi sabda Yesus: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37).
Kedua, lewat masyarakat swasta. Secara luas Tuhan juga memengaruhi hati orang baik, yang tersentuh untuk berbuat sesuatu bagi orang miskin dan papa. Mereka membentuk yayasan atau tanpa yayasan mulai menampung anak yatim atau yang sangat kekurangan. Menurut BPS, jumlah anak yatim piatu di Indonesia lebih dari 4.023.622 orang. Jumlah orang miskin di Indonesia 26,16 juta (2022). Siapa yang memberi mereka makan? Kecuali pemerintah, banyak yayasan-swata yang berbuat sama untuk menyantuni orang papa dan miskin. Ada 7 sampai 8000 panti asuhan di Indonesia, yang menampung 5-600 ribu anak. Baru sekitar 18 persen saja dari jumlah anak yatim piatu. (Rifai, 2014). Jadi, masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah dan kita semua. Banyak pribadi dan keluarga yang memberi makan orang miskin yang ada di sekitarnya. Mereka semua melaksanakan sabda Yesus: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37), karena hati nurani mereka digerakkan oleh Tuhan. Selama pandemi kita sudah digerakkan Tuhan dengan semangat solidaritas yang tinggi. Semangat ini semoga terus dipertahankan dan bahkan dikembangkan dalam menghadapi ancaman kenaikan harga-harga kebutuhan hidup, akibat perang Ukraina-Rusia yang semakin terasa di tanah air.

Penyelenggaraan ilahi lewat negara
Tuhan sangat peduli akan umat manusia agar mereka juga hidup sejahtera di bumi. Tuhan telah menyediakan kemampuan di bumi, lautan dan udara, agar dikelola oleh manusia, sehingga mereka tercukupi kebutuhan pangan dan sandang serta kemampuan mengembangkan diri sebagai manusia yang semakin sempurna, beriman, berbudaya dan maju dalam bidang tehnologi. Pemerintahan di manapun, bersama para legislator dan aparat keamanan, mengatur kegiatan ekonomi para pengusaha, supaya kegiatannya bertujuan menyejahterakan rakyatnya. Mereka sebenarnya juga melaksanakan amanah Yesus: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37). Kita syukuri Indonesia memiliki ideologi Pancasila yang indah sehingga perumusannya yang berlaku tentu sangat didukung oleh kuasa Ilahi. Kita memiliki sila Ketuhanan yang Maha Esa, sehingga dalam hidup berbangsa, kita hidup berdasarkan moral yang didukung oleh imannya. Kita tidak membiarkan diri didorong oleh nafsu memiliki kekayaan untuk diri sendiri, tanpa memedulikan mereka yang miskin dan tertinggal. Bagi umat Katolik kita didukung ajaran Gereja bahwa milik pribadi selalu memiliki aspek sosial. Ajaran Gereja mengenai pemilikan harta kekayaan dalam KGK 2404 mengutip GS 69 tertulis: “yang dimilikinya secara sah, bukan hanya sebagai miliknya sendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi sesamanya”. “Pemerintah mempunyai hak dan kewajiban mengatur penggunaan hak milik secara halal demi kesejahteraan umum.” (KGK 2406).
Kita memiliki sila 2, yang berbunyi: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Setiap warga bangsa Indonesia harus mendapat keadilan, sehingga tidak boleh ada yang miskin, di samping yang lain kaya. Ini diteguhkan dengan sila 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, setelah merayakan 77 tahun merdeka, rakyat miskin masih banyak, 26,16 juta. Kesenjangan sosial ini harus kita prihatinkan bersama. Ini berarti bahwa belum semua warga bangsa Indonesia dapat mencintai warga bangsanya sebagai sesama, terlebih yang miskin dan papa. Kita tahu bahwa penyebab dasar dan utamanya adalah cinta uang, kerakusan terhadap harta dan kekayaan. Hati nurani tidak berbicara, Tuhan tidak diperhitungkan lagi. Orang yang demikian tidak peduli terhadap sesamanya, maka yang miskin dan kelaparan tidak masuk dalam perhatian mereka. Baru saja diberitakan, Gubernur Papua Lukas Enembe menjadi tersangka korupsi oleh KPK. Menurut Tempo.co, Jakarta, Lukas Enembe bukan hanya diduga menerima gratifikasi sebanyak 1 milyar rupiah. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan dugaan, Lukas menyimpan dan mengelola uang yang jumlahnya ratusan miliar rupiah.
Untunglah Presiden kita peduli pada rakyat miskin. Betapa besar bantuan yang diberikan langsung kepada kaum miskin akhir-akhir ini. Ke situ pula kita, Gereja-Nya diutus menyampaikan warta gembira pembebasan dari kuasa uang, pembebasan dari nafsu mengejar harta dan membangun kembali cara hidup berdasarkan kasih kepada sesama yang dihayati karena mengasihi Allah. Kita perlu membawa warta gembira ke hatinurani setiap tetangga kita, agar bersama-sama membangun cara hidup dan perilaku, sampai menjadi kebiasaan hidup baru, membangun budaya kasih kepada sesama terlebih yang papa, lewat perjuangan membangun sikap adil, jujur dan peduli sesama. Terlebih dalam soal pangan.
Prakarsa Tuhan di tingkat dunia
Dalam Gereja yang hidup dalam hukum kasih, Paus Benediktus XVI dalam ensiklik pertamanya yang berjudul “Allah adalah Kasih” menyatakan bahwa dalam Gereja, tak boleh ada orang yang tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak dibantu oleh sesama anggota Gereja. (bdk DC 25). Hal ini pun diikuti sikap terbuka bagi yang tak seiman.
Gerakan Hari Pangan Sedunia (HPS) dimulai dengan berdirinya organisasi dunia FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian), bagian dari Perserikatan Bangsa-bangsa. Mengapa FAO didirikan? FAO dibentuk dengan tujuan untuk mengatasi berbagai permasalahan pada bidang pangan dan pertanian yang dapat mengganggu stabilitas pangan negara-negara di dunia. Bukan main karya Tuhan dalam prakarsa pembentukan FAO tanggal 16 Oktober 1945 di Quebec, Kanada. Pangan terkait erat dengan kegiatan pertanian, maka harus dikelola sebaik-baiknya.
Penutup
Dalam rangka HPS ini, kasih kita terhadap sesama dapat terwujud berupa komitmen:
Pertama, dalam setiap RT di mana umat Katolik hidup sebagai umat basis, semoga dapat dibangun semangat solidaritas yang konkret agar tak ada lagi yang kekurangan makan dan sandang. Ini pasti dapat terlaksana karena masalah yang menimbulkan gejala macam ini bukan kemiskinan yang merata, tetapi kekayaan yang tidak merata. Jadi ada yang dapat diberikan.
Kedua, kita hormati tanah, kebun, tanaman, hewan, air dan segala yang ada sebagai saudara seciptaan Allah, yang oleh Allah disediakan demi kesejahteraan hidup kita semua. Tanah jangan dirusak oleh pupuk buatan. Pupuk yang sehat adalah kompos. Pohon besar jangan ditebangi karena bisa mengurangi sumber air. Lestarikanlah dan bahkan suburkanlah lingkungan hidup kita. Lahan kosong jangan dibiarkan kosong tetapi hendaknya ditanami apapun yang menjadi sumber kehidupan manusia.
Ketiga, sekarang, setelah pandemi Covid -19 dapat diatasi, masalah pemanasan bumi dan perubahan iklim merupakan tantangan besar. Kekeringan mengurangi produksi pangan. Banjir bandang dan tanah longsor juga merusak lahan pertanian. Maka berjuang untuk mengakhiri bahaya pemanasan bumi, mengusahakan agar panas bumi turun sampai 1,5 derajat Celsius dengan mengurangi emisi karbon adalah berjuang demi perbaikan produksi pangan.
Keempat, tetapi yang paling penting adalah tumbuhnya budaya peduli sesama, terlebih yang miskin dan menderita, melawan semangat cinta diri yang hanya memikirkan kepentingan sendiri. Budaya peduli sesama perlu dilahirkan dalam macam-macam bentuk solidaritas dalam usaha bersama. Kalau kita umat Katolik berjuang seperti itu, kita mengemban Sabda Yesus: “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37).
Landasan iman kita untuk kewajiban “memberi mereka makan” adalah Hukum Kasih Ganda yaitu mengasihi Allah dan sesama. Dua kewajiban yang harus dihayati satu berkaitan dengan yang lain. Mengasihi sesama meski hukum yang kedua, tetapi sekaligus sama dengan yang pertama yaitu mengasihi Allah. Maka tidak benar kalau kita mencintai Allah, rajin berdoa dan beribadah, tanpa ada kaitannya dengan mencintai sesama. Sebaliknya tidak benar juga kalau kita mencintai sesama tanpa kita kaitkan dengan cinta bhakti kita kepada Allah. (Bdk. Mat 22:34-40). Pelaksanaan kewajiban ini secara khusus harus ditujukan kepada kaum papa dan miskin. Sesama tidak terbatas hanya mereka yang dekat dengan kita atau tetangga kita, melainkan justru menjangkau mereka yang jauh bahkan tidak kita kenal. Dengan Perayaan Hari Pangan Sedunia kita diingatkan akan tugas Gereja diutus membawa kasih sehubungan dengan pangan bagi sesama. Mari kita mohon agar seluruh umat Allah menyadari tugasnya dan mampu menemukan cara, sehingga hidup dan berkarya membawa kasih, yang ada sangkut-pautnya dengan pangan. Mari kita mohon agar kita dibebaskan dari semangat serakah mengejar nafsu memiliki dan menikmati yang berlebihan. Sebaliknya disuburkanlah semangat berbagi dan peduli sesama, terlebih yang miskin, menderita dan kekurangan makan. Dirgahayu Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2022. “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37).