
Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Hubungan keluarga Katollik dan Gereja
Sudah lazim kita memandang Keluarga Katolik sebagai Gereja Rumah Tangga, atau Gereja Kecil. Mengapa demikian? Karena memang Gereja juga mengajarkan demikian: “Keluarga Kristen adalah suatu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan Gereja.” (FC 21, KGK no 2004). Keluarga Katolik menampilkan dan secara khusus merupakan pelaksanaan persekutuan Gereja di tengah masyarakat. Di tengah masyarakat, keluarga Katolik menjadi garam dan terang dunia, karena hidupnya sebagai keluarga didasari oleh semangat kasih Kristus sendiri yang mengasihi Gereja secara sempurna. Kecuali itu keluarga Katolik adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama tentang iman. Sehingga layak disebut Gereja Rumah Tangga. (bdk. KGK no 1666). Keluarga Katolik sebagai Gereja kecil, adalah bagian dari Gereja itu sendiri. Sehingga suka-duka keluarga merupakan suka-duka Gereja. Tetapi masih ada 2 kelompok persekutuan umat yang perlu disebut di sini, yang juga merupakan bagian dari Gereja. Yaitu: komunitas-komunitas dari mereka yang menghayati bermacam ragam Hidup Bhakti atau Biarawan-biarawati, Serikat Sekular dan mereka yang terpanggil sebagai imam, pelayan persekutuan umat beriman dan pelayan Sakramen Gereja. Mereka ini sering disebut para klerus atau para Imam dan Uskup di bawah pimpinan Paus. Inilah yang sering disebut Hirarki, persekutuan antar para imam di bawah pimpinan uskupnya yang melayani paroki-paroki dalam wilayah keuskupan, bersama dengan umatnya disebut Gereja Lokal atau Gereja setempat atau Diosis. Persekutuan antar para uskup dalam suatu negara disebut Koferensi Uskup-uskup. Persekutuan para uskup sedunia, bersama seluruh umat-Nya di bawah bimbingan Paus, inilah Gereja seluruh dunia. Hal ini ditambahkan sebagai informasi mengenai apa yang disebut dengan satu kata: Gereja Katolik.
Mengapa keluarga Katolik dapat disebut Gereja kecil atau Gereja Rumah Tangga? Keluarga yang diteguhkan pernikahannya dalam Sakramen Perkawinan dikuduskan oleh Allah. Allah menguduskan ikatan suami-isteri dan sekaligus mengangkat perjanjian nikahnya menjadi lambang persekutuan Kristus dengan Gereja. Sehingga diharapkan suami-isteri menghayati kasihnya dalam kehidupan keluarga, mengungkapkan kasih Kristus kepada Gereja. Yaitu dengan kasih yang berciri penuh, tak terbagi, kasih yang penuh pengampunan dan pengorbanan diri. Inilah panggilan dasar sebagai Keluarga Katolik. Dalam liturgi perayaan perkawinan disebutkan: “Pengudusan cinta kasih ini bagi kedua mempelai merupakan sakramen, yaitu tanda kehadiran Tuhan di tengah keluarga yang akan mereka bangun bersama. Ini berarti pula bahwa Tuhan berkenan mendampingi keluarga mereka siang dan malam sepanjang hidup mereka. Allah telah menguduskan ikatan suami-isteri dan mengangkat perjanjian nikah menjadi lambang persatuan Kristus dengan Gereja.” (Tata Perayaan Perkawinan, Konferensi Waligereja Indonesia, Obor Juli 2012, halaman 27). Menjadi lambang persatuan Kristus dengan Gereja, menjadi panggilan dan perutusannya dalam hidup sebagai suami-isteri di tengah masyarakat. Kesaksian hidup mereka semacam itu menjadi pewartaan yang menarik. Tidak sedikit orang yang tertarik menjadi Katolik, justru karena terkesan oleh kebersamaan mereka saat mereka pergi ke Gereja bersama-sama, suami-isteri dan anak-anak mereka. Hidup mereka tampak rukun penuh sukacita dan memancarkan kehidupan yang damai.
Sukacita keluarga, sukacita Gereja
Karena Keluarga Katolik telah dikuduskan oleh Tuhan, didampingi oleh Tuhan, maka sukacita Keluarga Katolik yang sejati menyertai mereka. Sukacita mereka sebagai keluarga terletak dalam kesetiaan pasutri dalam menjalankan panggilan dan perutusan mereka sebagai keluarga. Yaitu kasihnya satu sama lain diusahakan agar memancarkan kasih Kristus kepada Gereja, sehingga suami mengasihi isteri sampai dengan berani mengorbankan kesenangan pribadi atau hobinya. Demikian pula dari pihak isteri. Kegembiraan dan sukacita justru muncul dari situ, karena masing-masing merasa sungguh dicintai oleh pasangannya demi Tuhan. Sukacita semacam inilah yang sungguh sukacita sejati yang menjadi sukacita Gereja.
Kalau kita bercermin pada Keluarga Kudus, mereka pun mengalami macam-macam kesulitan hidup. Santo Yusuf dan Bunda Maria yang sedang hamil tua harus pergi ke Bethlehem dalam rangka sensus penduduk. Dan karena miskin, mereka tidak mendapat penginapan di rumah penginapan kota. Maria terpaksa melahirkan putranya di gua kandang hewan. Bunda Maria pasti bangga memiliki suami Santo Yusuf yang setia mendampinginya. Di tengah kesulitan muncullah sukacita di hati Bunda Maria, karena kecuali melahirkan seorang putra, Bunda Maria merasa dikasihi sepenuhnya oleh St. Yusuf dan dilindunginya. Santo Yusuf pun merasa bangga dan hatinya penuh sukacita, karena ia merasa dapat melaksanakan kehendak Allah, agar dia tetap menjadi suami Maria, sesuai sabda Allah dalam mimpinya. Santo Yusuf makin menyadari panggilan dan tugasnya, sebagai bapa dari keluarganya yang baru. Demi keselamatan Puteranya mereka harus mengungsi ke Mesir dan tinggal di sana selama Raja Herodes yang akan membunuh Yesus, Puteranya, masih hidup. Dalam menghadapi segala kesulitan hidup, mereka tetap memiliki sukacita sejati, karena merasa taat kepada kehendak Allah.
Keluarga Katolik bercermin pada keluarga kudus
Kalau kita refleksikan, kehidupan keluarga Santo Yusuf dan Bunda Maria itu sebenarnya telah diintervensi oleh Tuhan. Rencana semula, sebenarnya mereka akan membangun keluarga biasa, seperti halnya orang-orang lain membangun keluarga. Tahu-tahu Maria telah mengandung oleh kuasa Roh Kudus, karena Allah merencanakan Allah Putra menjelma menjadi manusia, menjadi Putra yang dikandung oleh Maria. Hampir saja Santo Yusuf menceraikan Maria diam-diam. Kecuali Allah telah mengintervensi Maria, Allah juga mengintervensi Santo Yusuf. Dalam mimpi ia diminta tetap mengambil Maria sebagai istri, karena Santo Yusuf dikendaki Allah menjadi Bapa pengasuh dari Putra Maria, yaitu Yesus. Panggilan baru sebagai suami-isteri semacam itu, diterima dan dihayati sebaik- baiknya, dengan meninggalkan rencana semula. Rencana membangun keluarga biasa mereka tinggalkan, karena mereka dipilih Allah dan dipanggil untuk membangun Keluarga Kudus. Di dalamnya dilahirkan dan sedang tumbuh Yesus Sang Juru Selamat dunia yang akan memperbarui kehidupan moral manusia, dan menebus dosa mereka dengan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib.
Keluarga Katolik sebenarnya juga telah diintervensi Tuhan. Berarti dipilih dan dikuduskan. Bahkan masing-masing telah dibaptis. Mereka karenanya sudah menjadi orang baru, karena telah disucikan dalam baptis, dipanggil untuk menghayati hidup baru sebagai anak-anak Allah dalam Kristus. Sejak dibaptis, mereka juga telah meninggalkan cara-cara hidup lama, dan menghayati cara hidup yang baru selayaknya orang beriman kepada Kristus. Santo Paulus juga mengingatkan agar hidup mereka sepadan dengan panggilan mereka sebagai orang Katolik, sebagai anggota Gereja, sebagai anggota Tubuh mistik Kristus sendiri.
“Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.” (Ef 4:1). Karena dibaptis kita semua menjadi orang-orang baru. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. (2 Kor 5:17). Diintervensi Tuhan, berarti dipilih dari sekian banyak orang untuk dikuduskan dan diutus. Diutus untuk menjadi ragi dan terang dunia.
Ketika orang Katolik menikah, ketika mereka menerima sakramen perkawinan, mereka juga diintervensi lagi oleh Tuhan. Seperti halnya Santo Yusuf dan Bunda Maria diintervensi Tuhan, dipilih dan diutus untuk membangun Keluarga Kudus dan mendampingi tumbuh dan berkembangnya Kanak-kanak Yesus, demikian pula pasutri Katolik dipilih, dikuduskan dan diutus untuk melahirkan putra atau putri menjadi anak-anak Allah yang kelak dapat menjadi tokoh awam, bruder atau suster serta menjadi imam Gereja. Sukacita dari keluarga Katolik terletak pada kesetiaan untuk menghayati panggilannya sebagai keluarga Katolik.
Sumber sukacita sejati
Sebelumnya telah diutarakan bahwa sumber suka cita sejati bagi keluarga Katolik adalan kesetiaan dalam pangilan dan pengutusan menjadi keluarga Katolik, yang dikuduskan Allah dan dipanggil menghayati hidup berkeluarga dalam iman, menjadi garam dan terang dunia di tengah masyarakat.
a. Menghayati iman secara mendalam.
Agar memiliki sukacita sejati, keluarga Katolik perlu semakin menyadari dan merasakan kehadiran Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus dalam diri masing-masing suami-isteri dan anak-anak dan dalam keluarga secara keseluruhan. Allah Tritunggal hadir untuk menguduskan dan membimbing agar dalam hidup sehari-hari masing-masing anggota keluarga dan bersama-sama, semakin sempurna kasihnya dalam menghayati hidup sebagai keluarga Katolik. Bimbingan Allah disertai rahmat melimpah itu untuk memastikan agar setelah selesai perjalanan hidup di dunia ini, mereka yang telah diciptakan Bapa karena kasih-Nya, dapat kembali kepada-Nya dalam kemuliaan abadi dengan pengantaran Kristus dan oleh Roh Kudus. Kesadaran iman yang demikian hanya akan subur kalau keluarga Katolik berdoa, merayakan Ekaristi, maupun menerima Sakramen Pengampunan dosa. Seperti halnya makan dan minum perlu demi kesehatan dan pertumbuhan tubuh, demikian doa dan menerima sakramen-sakramen Gereja perlu untuk kesehatan dan pertumbuhan hidup rohani.
b. Allah Bapa dengan pengantaraan Kristus yang telah menciptakan alam semesta, telah menciptakan kita semua, menopang dengan daya hidup termasuk segala daya kreativitas kita. Semoga peristiwa perkawinan, kehamilan, kelahiran anak dan proses pertumbuhannya, kita sadari dan syukuri karena sangat erat hubungannya dengan kehadiran dan karya Allah Tritunggal. Tetapi karena begitu biasa, seakan Allah tak hadir dan berkarya dalam diri dan keluarga kita. Demikian pula tak terasa kehadiran dan peran Yesus dalam hidup kita. Padahal dengan dibaptis, Yesus bersama Roh Kudus hidup dalam diri kita, sampai Santo Paulus mengatakan: “… bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:20). Dalam Ekaristi Yesus memberikan Tubuh dan Darah-Nya, sebagai santapan rohani. Sabda Yesus dan ajaran-Nya ada dalam Injil Suci, tersedia untuk jadi bahan renungan. Yesus kita jumpai menjadi penyembuh dan peneguh hidup kita dalam sakramen pengampunan dosa, dalam sakramen pengurapan orang sakit, dan dalam sakramen pernikahan. Bahkan Yesus ingin disambut setiap kali Anda berkumpul atas nama-Nya (Mat 18:20) dan berdoa. Yesuslah yang memastikan agar Anda dapat kembali kepada Bapa dan mulia bersama Dia. Roh Kudus adalah Roh Cinta Kasih. Dialah yang bertakhta dalam hati nurani dan membimbing hidup kita. Ia menyuburkan cinta pasutri dan mengobarkan kasih persaudaraan dalam keluarga, mendorong terjadinya saling mengampuni, menumbuh-kembangkan kejujuran, keadilan, kepedulian satu terhadap yang lain, dan terhadap mereka yang miskin dan menderita. Tetapi kita kurang menyadari itu semua karena kita terlalu sibuk dan menyibukkan diri.
c. Seperti halnya setiap orang yang dibaptis juga sekaligus diutus untuk mewartakan imannya, demikian juga keluarga Katolik. Kecuali diutus untuk mewartakan keindahan hidup berkeluarga secara Katolik, juga diutus mendidik anak-anak mereka, sesuai rencana Allah. Anak adalah titipan Allah, demikian sikap orang tua yang beriman. Sehingga orang tua jangan sampai menghalangi kalau anak mereka dipanggil untuk menjdi imam, bruder dan suster. Betapa pentingnya keluarga di hadapan Allah. Karena karya keselamatan Allah diteruskan dari zaman ke zaman, lewat keluarga. Dimulai oleh Keluarga Kudus, Yesus yang akan menebus dosa manusia dilahirkan. Selanjutnya lewat keluarga Katolik, Allah berkenan memilih anak-anak yang akan dipanggil menjadi imam, untuk melanjutkan hadirnya karya penyelamatan Allah dalam periode tertentu. Santo Yohanes Maria Vianney dalam katekese mengenai imam kepada anak-anak juga menulis demikian: “Inilah Dia (yaitu imam) yang menjadikan aku anak Allah, yang membukakan pintu Surga bagiku dengan Sakramen Baptis yang kudus; …” (bdk. Katekese hal. 117), Sangat menarik bahwa dalam Perjanjian Lama dikisahkan bagaimana Allah memanggil Samuel untuk dijadikan Imam Agung menggantikan Imam Agung Heli yang sudah tua. Lewat keluarga Elkana dan Hana yang sampai usia lanjut tidak berputera. Samuel dilahirkan dan Allah berkenan memanggil Samuel untuk menggantikan Imam Agung Heli yang melayani kenisah. Hana, ibu Samuel menyadari penuh bahwa Samuel adalah karunia Allah karena Samuel dikandung berkat permohonan yang tak ada hentinya. Apa yang diterima dari Allah dipersembahkan kembali kepada Allah untuk dipakai sekehendak hati-Nya. Sikap yang pantas dimiliki keluarga-keluarga Katolik zaman sekarang, terhadap panggilan anak-anak mereka yang terpanggil untuk melayani Gereja. Pengorbanan yang dipersembahkan kepada Allah mendatangkan sukacita sejati, meski mereka merasa berat saat harus melepaskan anak-anak mereka untuk kepentingan Gereja. Apa lagi kalau yang dilepaskan adalah anak tunggal. Tuhan pasti memberkati keluarga yang demikian itu secara melimpah. Tuhan tak akan membiarkan mereka ditinggalkan sendirian. Demikian juga demi kesempurnaan Gereja, masih akan ada yang dipanggil menjadi bruder atau suter (hidup bhakti regular) maupun mereka yang dipanggil menghayati hidup bhakti sekular. Mereka ini tetap berada di tengah keluarga atau mandiri hidup di tengah masyarakat. Mereka ini menggarami dan menyucikan realitas hidup biasa yang sekular dari dalam.
Penutup
Memang Allah sangat membutuhkan keluarga-keluarga yang dibangun demikian rupa sehinggga kalau Tuhan menghendaki, dari keluarga dapat tumbuh tidak hanya calon-calon imam, tetapi juga calon biarawan dan biarawati, penghayat hidup bhakti sekular atau tokoh-tokoh awam yang berkualitas yang berbhakti dalam Gereja maupun di tengah masyarakat. Untuk itu keluarga Katolik memang perlu dibangun menjadi Gereja Kecil, di mana Kristus menjadi pusatnya; di mana suami mencintai Kristus lewat mencintai isteri dan anak-anak, di mana isteri mencintai suami dan anak demi cintanya kepada Kristus sendiri. Kalau hidup berkeluarga dihayati dengan iman, segala kesulitan sudah sejak dini dapat diatasi, sehingga tidak akan menimbulkan beban yang besar. Yesus sendiri mengatakan “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” (Mat 11:28-30). Meski berbeban ada kekuatan dari dalam, dari Tuhan, dan ada sukacita sejati, justru karena berkorban. Contoh paling menyolok adalah para martir. Meski disiksa, mereka bernyanyi dan bersuka cita. Inilah suka cita sejati, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri yang menganugerahkan hiburan rohani kepada setiap orang yang berjuang untuk setia dan taat kepada-Nya.
Memang Gereja kita membutuhkan imam, biarawan-biarawati, awam dan tokok-tokoh yang berkualitas tinggi, kalau kita yang jumlahnya hanya sedikit itu mau memiliki pengaruh baik bagi masyarakat. Saya dukung paguyuban orang tua calon dan orang tua imam, biarawan-biarawati. Doa-doa keluarga dan usaha keluarga menjaga agar putra-putri tetap menjadi pelayan Allah yang baik sangat terpuji. Demikian pula keluarga yang tidak mempunyai anak menjadi calon imam, imam atau biarawan-biarawati tetapi sangat peduli dan ikut serta dalam mendukung terselenggaranya pendidikan calon imam yang baik, sangat terpuji dan pantas disyukuri. Maka perlu diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan segala cara mendukung tumbuhnya panggilan imam dan hidup bhakti.