Dalam Hari Studi Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bekerjasama dengan Asosisasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) secara daring, 9 Juni 2022, Kardinal Ignatius Suharyo menyampaikan dua hal penting terkait pendidikan Katolik. Yang pertama, menempatkan perjumpaan masing-masing elemen pendidikan Katolik dalam kerangka Gereja Katolik seluruh dunia yang sekarang sedang bersinode “Menuju Gereja Sinodal: Persekutuan, Partisipasi dan Misi”.
“Saya kira semua dari kita dapat dengan mudah menempatkan perjumpaan kita juga di dalam arus dinamika Gereja itu. Kita ingin berjalan bersama-sama, maka kita bertemu untuk saling berbagi pengalaman dan mencoba mencari kehendak Tuhan supaya kita dapat berjalan bersama. Karena berjalan bersama itu bisa macam-macam. Berjalan bersama saling bertukar pikiran, bisa. Berjalan bersama saling menyalahkan, bisa,” katanya dalam acara bertema “Pendidikan Katolik Kini dan ke Depan dengan Semangat yang Diperbaharui”.
Yang kedua, pentingnya membangun arah bersama meski masing-masing lembaga pendidikan sudah mempunyai visi dan misi masing-masing. “Saya berpikir begini, maafkan kalau saya keliru, masing-masing lembaga pendidikan pasti sudah merumuskan visi dan misinya masing-masing. Dan memang wajar seperti itu karena suatu lembaga pendidikan didirikan pasti dengan alasan-alasan untuk menuju visi dari lembaga itu. Pertanyaannya adalah, bagi saya sekurang-kurangnya, mungkinkah ada cakrawala bersama yang dapat juga mempersatukan? Visi dan misi tidak dikesampingkan, tetapi ada payung bersama cakrawala yang dapat mempersatukan kita,” ungkapnya.
Kardinal Suharyo juga menekankan tentang 2 watak bangsa Indonesia yang bisa dipertimbangkan sebagai cakrawala bersama untuk mewujudkan visi-misi setiap lembaga pendidikan Katolik, yakni rasa cinta tanah air dan kepedulian.
Rasa cinta tanah air
Menurut Kardinal, rasa cinta tanah air adalah warisan bangsa Indonesia. Ia pun menyampaikan, pada tanggal 18 Agustus 1945, para pendiri bangsa waktu itu dalam waktu seperempat jam menghilangkan 7 kata dalam Piagam Jakarta. “Seperempat jam. Seandainya tidak ada rasa cinta tanah air dari para pendiri bangsa, pasti akan berkelahi. Tetapi dalam waktu seperempat jam di luar sidang lagi, semuanya selesai,” katanya.
Cinta tanah air pun, menurutnya, digelorakan oleh Romo van Lith SJ yang pada tahun 1922 sudah menulis komitmennya untuk berpihak pada pribumi meski ia sendiri adalah orang Belanda. “Semua orang tahu, kami para misionaris selalu berusaha berdiri di tengah. Tetapi kalau terjadi konflik, semua orang tahu juga, bahwa kami akan berpihak kepada pribumi,” demikian Kardinal mengutip tulisan Romo van Lith.
Semangat itu pun, lanjut Kardinal, diteruskan oleh murid Romo van Lith yaitu Mgr Soegijapranata SJ yang kemudian merumuskan “100 Persen Katolik, 100 Persen Indonesia”. Semangat ini pula yang sampai hari ini tetap dihidupi oleh Gereja Katolik Indonesia.
Sejarah memang penting. Namun, menurut Kardinal Suharyo, sejarah saja tidak cukup, harus dilengkapi dengan inspirasi iman. “Inspirasi imannya tentu dari mana lagi kalau tidak dari Yesus. Kita semua tahu, Yesus sangat mencintai tanah air-Nya, sehingga ketika Dia melihat Yerusalem akan hancur, dia menangis. Itu satu-satunya tempat di mana Yesus menangis. Dan yang sangat penting, banyak yang tidak sadar mengenai hal itu,” terang Kardinal Suharyo.
Ia pun melanjutkan dengan menunjukkan komitmen Gereja Katolik Indonesia yang membela tanah air. “Di Gereja Indonesia, hanya di Indonesia, tidak di tempat lain, ada yang namaya prefasi tanah air. Itu inspirasi iman. Karena perjalanan bangsa Indonesia menurut prefasi itu disejajarkan dengan pembebasan dari perbudakan Mesir menuju Tanah Terjanji. Itu inspirasi iman,” terangnya.