
Dalam peluncuran Gerakan Kolekte Sampah yang digelar Komisi Ekologi Keuskupan Bogor, 3 Maret 2022, Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto bercerita kalau dirinya hampir celaka tertimpa lemari yang dibuang dari atas sungai Ciliwung.
Kurang lebih 10 tahun lalu, waktu sebelum jadi walikota, Bima Arya mengarungi sungai Ciliwung. Pada suatu titik, tiba-tiba secara mengejutkan seorang ibu membuang lemari dari atas sungai. Sontak Bima Arya terkejut. Untunglah ia selamat. “Itu kalau saya lebih cepat 5 detik, saya nggak akan ada di sini sekarang,” katanya dalam sambutannya. Dari peristiwa tersebut, sungai rupanya menjadi tempat segala sampah.
“Jadi, seharian itu saya berpikir, ini masalah sampah ini bukan masalah sistem saja, bukan masalah infrastruktur saja, tapi ini masalah keimanan. Itu orang nggak mikir ya. Ketika dilempar itu di bawah ada siapa? Akan kena siapa? Dan kalaupun ketika dilempar nggak mengenai orang, dalam perjalanannya, mungkin berapa ratus meter dari situ ada ibu-ibu yang lagi sikat gigi di sungai gitu ya, bapak-bapak yang lagi mandi gitu, akan terkena,” katanya.
Bima pun semakin yakin bahwa urusan sampah adalah urusan yang rumit dan harus dikerjakan bersama-sama dengan metode yang komprehensif-holistik, dari ujung sampai ujung.
“Dari keyakinan itu, saya juga tambah yakin bahwa hambatannya berat karena butuh nyali, butuh konsistensi, butuh persistensi,” katanya. Terlebih hal itu juga terkait dengan kultur atau kebiasaan masyarakat.
Urusan sampah, menurutnya, juga bukan hanya urusan vertikal, tapi urusan horizontal. Ia pun menyampaikan dalam Islam dikenal konsep hablum minanas (hubungan dengan sesama manusia), hablum minallah (hubungan dengan Tuhan), dan hablum minalalam (hubungan manusia dengan alam). “Ya, kalau ritual saja, nggak mikiran ini, nggak lengkap ibadah kita. Nah, urusan sampah itu, ya, tiga-tiganya itu ada. Perintah dari Tuhan bahwa kebersihan sebagian dari iman, kita harus sayang sesama manusia, jangan sampai dirugikan, dan kita harus cinta pada alam gitu,” katanya.
Bima Arya pun menyampaikan, di Bogor, sehari ada 600 ton timbulan sampah yang terdiri dari 60 persen organik, 13 persen plastik, dan sisanya jenis sampah yang lain.
Bima Arya pun menyampaikan, saat ini pihaknya bekerja sama dengan sebuah lembaga untuk mengolah sampah plastik menjadi papan plastik dengan kapasitas 5 ton sehari.
Bima Arya menekankan, solusi permasalahan sampah mestinya dimulai dari hulu ke hilir. Karena di hulu masih banyak masalah, ia pun memfokuskan penanganan mulai dari hulu melalui tempat penampungan sementara (TPS) 3R dan bank sampah yang sudah berjumlah 300-an. “Kemudian kita berusaha untuk mencetak kader-kader di tingkat akar rumput,” imbuhnya.
Bima Arya pun mengisahkan kalau Bogor sebelumnya beberapa kali menyabet prestasi penghargaan Adipura. Bahkan Gubernur Hiroshima, Jepang, datang ke kota Bogor karena mendengar akan prestasi tersebut. “Bangga banget itu, waktu saya SD itu piala Adipura itu dikerek keliling kota,” kenangnya. Namun, dari hari ke hari persoalan sampah bukan urusan yang mudah untuk ditangani.
Meski begitu, Bima Arya yakin dengan kekuatan yang dimiliki kota Bogor yaitu adanya RT-RW. Ia pun menyampaikan mulai mendesain gerakan-gerakan penanganan sampah mulai dari bawah. Kader-kadernya dilatih untuk membentuk bank sampah. “Karena pendekatannya ini nggak bisa hanya top down. Kepala Dinas bisa bergeser setiap saat. Orientasi walikota bisa berbeda. Tapi kalau gerakan dari bawah ke atas, itu jadi sangat powerful,” katanya.
Lanjutnya, kebijakan pengurangan sampah pun diluncurkan sejak 2018. “Kita juga kemudian juga melakukan beberapa kebijakan yang agak drastis untuk mengurangi supplay atau produksi sampah. 2018, kita mulai untuk mengurangi sampah plastik dengan melarang pemakaian tas plastik,” ujarnya.
Menurutnya, sosialisasi yang dibutuhkan memakan waktu setahun. “Sempat di bulan pertama bergejolak di retail-retail. Retail-retail bisa disosialisasikan. Yang agak repot itu emak-emak. Pak Wali ini bikin repot. Kita harus bawa tas sendiri. Kita harus beli. Tapi lama-lama selesai juga,” katanya.
Akhirnya, sambungnya, mereka mempunyai cara sendiri untuk membawa tas yang ramah lingkungan dengan rupa-rupa desain dan warnanya. Usaha itu ternyata berhasil mengurangi sampah plastik sebesar 1,6 persen. Saat ini, usaha itu merambah ke pasar tradisional. “Tahun ini sudah mulai sosialisasi. Kalau di pasar tradisional ini sukses, bertambah lagi pengurangan plastiknya menjadi 3 persen. Lumayan. Karena dari Bank Sampah itu ada 1,4 ton. Dari TPS 3R ada 16 ton, dan tahun kemarin kita mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat karena berhasil mengurangi sampah secara signifikan di kota Bogor,” imbuhnya.
Memang kesimpulannya, lanjutnya, penanganan sampah adalah kerja kolektif. “Ini kerja komprehensif. Ini kerja yang integratif dari kita semua. Kita ingin betul melihat bagaimana anak-anak kita ke depan ini seperti anak-anak muda di Korea Selatan, di Jepang. Kita itu kalau ke sana yang paling susah dicari adalah tempat sampah. Awal-awal, saya bingung kan. Ini, kota ini kota-kota keren pengelolaan sampahnya, tapi kok nggak ada tempat sampah. Tapi kemudian lama-lama saya paham. Saking canggihnya, urusan itu selesai di hulu semua. Jadi, orang-orang itu, ya, nggak ngeluarin sampah lagi karena mereka tahu nggak bisa buang sampah sembarangan. Toko-toko itu, ya, punya sistem sendiri gitu,” katanya.
Bima Arya pun menyampaikan, pihaknya saat ini sedang fokus menggarap kawasan chinna town di daerah Suryakencana. “Ini titik keberagaman kita ini. Titik keberagaman kita, titik pluralisme di sana. Toko-toko, ada vihara, ada gereja juga di sana gitu ya. Ada pasar juga di sana. Semua ada di sana. Kalau urusan sampahnya beres, yang lain akan beres. Tapi perlu sistem tadi. Bukan hanya armada angkutannya yang konsisten, tapi warganya yang sudah menyelesaikan itu di hulu, di rumah tangganya masing-masing,” katanya.
Menurutnya, semua akan lebih mudah jika pengelolaan sampah dilandasi dengan pemahaman iman, bahwa mengelola sampah adalah bagian yang utama dari keyakinan atau iman.
“Ini akan lebih powerful, teologi sampah ini metode yang harus, menurut saya, harus jadi alternatif utama untuk melengkapi pendekatan sistemik kita, untuk melengkapi pendekatan kultural kita, untuk melengkapi infrastruktur yang juga kita bangun. Jadi, mari kita sama-sama kuatkan barisan kita mulai dari sini. Tetapi yang paling membahagiakan bagi saya, bapak ibu sekalian, pada ujungnya mudah-mudahan, ini bukan hanya sekadar mengelola sampah. Ini juga bukan hanya sekadar menjadikan kota lebih bersih. Ini adalah menguatkan kebangsaan kita karena kita bersama-sama dalam perbedaan mengelola sesuatu demi kebaikan semua. Anak-anak muda dengan latar belakang yang berbeda, dengan latar belakang status sosial yang berbeda sama-sama mengelola sampah, apapun agamanya, apapun keyakinannya. Tidak ada hal yang lebih indah daripada ini. Mudah-mudahan Allah kuatkan ikhtiar kita, mudah-mudahan, Tuhan yang mahakuasa memberikan kita kekuatan untuk menyatukan antara kata dan perbuatan ini,” harapnya.