Mendengarkan dengan Telinga Hati

Mendengarkan dengan telinga hati

a. Dasar komunikasi yang benar dan baik.

Mendengar dengan telinga hati adalah dasar komunikasi yang benar, yaitu membangun relasi antar pribadi. Maka “mendengarkan” itu tidak hanya berarti menangkap/mendengar suara, tetapi pada dasarnya menghubungkan diri membangun relasi timbal-balik antara yang mendengarkan dan yang didengarkan. Pada dasarnya mendengarkan itu bagian dari cinta kasih itu sendiri. Kalau disertai sikap rendah hati dengan hati yang baik dan tulus, dan mempertahankannya dengan setia, inilah yang berarti “mendengarkan” dengan suatu kualitas.

b. Mendengar dengan telinga hati.

Mendengarkan sesungguhnya, bukan hanya berhubungan dengan indera pendengaran, tetapi berhubungan dengan keseluruhan manusia. Dan, hati menjadi tempat mendengarkan yang sebenarnya. Hati adalah inti, pusat dari manusia itu sendiri. Sebagai contoh diberikan antara lain ungkapan St. Agustinus: “Jangan menaruh hatimu di telinga, tetapi taruhlah telinga di dalam hatimu”. (Sermo 380, 1). Santo Fransiskus dari Assisi menasihati saudara-saudaranya untuk “mencondongkan telinga hati”. (“Lettera a tutto l’Ordine”: Fonti Francescane, 216.). Hanya dengan memperhatikan siapa yang kita dengarkan, apa yang kita dengarkan, dan bagaimana kita mendengarkan, kita dapat tumbuh dalam seni berkomunikasi, yang intinya bukanlah teori atau teknik, tetapi “keterbukaan hati yang memungkinkan kedekatan” (lih. EG 171).

c. Beberapa bentuk dialog.

Bentuk yang sederhana, yaitu mendengarkan orang yang ada di depan kita, bertatap muka, dan mendengarkan orang lain yang kita dekati dengan keterbukaan tulus, percaya diri, dan jujur merupakan hal yang secara khusus membuat komunikasi menjadi baik dan sepenuhnya manusiawi.

Dialog dalam komunikasi yang sejati dan baik itu yang terjadi adalah “sang aku” dan “sang engkau” sama-sama “bergerak keluar”, saling menjangkau satu sama lain. Akhirnya ada kesatuan pendapat dan sikap. Oleh karena itu, mendengarkan adalah unsur pertama yang sangat diperlukan dalam dialog dan komunikasi yang baik. Unsur kedua adalah keheranan atau kekaguman. Mendengarkan dengan kekaguman selalu memperkaya, karena akan selalu ada sesuatu, betapapun kecilnya, yang dapat saya pelajari dari orang lain dan berguna dalam hidup kita.

Ada bentuk dialog dengan kesabaran ekstra, dalam suatu komunikasi yang sulit. Di sini mendengarkan butuh keutamaan kesabaran, bersama dengan kemampuan untuk membiarkan diri sendiri dikejutkan oleh kebenaran, bahkan jika hanya sebagian dari kebenaran pada orang yang sedang kita dengarkan. Mengapa perlu sabar dan tekun? Demi hasil kebenaran bersama dalam perkara yang sulit.

Dialog dan komunikasi adalah membangun suatu simfoni kehidupan. Kita diciptakan Allah untuk hidup bersama, bukan sendiri-sendiri. Kalau kebersamaan kita dalam keluarga, dalam Gereja dan di tengah masyarakat berdasarkan keutamaan “mendengarkan dengan telinga hati” yang tulus, penuh kepedulian dan kasih, sabar dan tekun, maka terjadilah simfoni kehidupan bersama yang indah. Mendengarkan beberapa suara serta mendengarkan satu sama lain, di antara saudara dan saudari seiman, memungkinkan kita melatih seni berdiskresi, yang selalu muncul sebagai kemampuan untuk mengarahkan diri kita pada sebuah simfoni kehidupan dalam Gereja.

d. Ada bentuk komunikasi yang semu.

Komunikasi kita menjadi semu, karena tidak mendengarkan dengan telinga hati.

(1). Ada jenis mendengarkan yang tidak baik, yang sering terjadi di jejaring sosial. Yaitu dengan maksud menyelidiki atau menjebak, memata-matai, demi kepentingan sendiri atau dengan maksud tertentu. Tidak tulus.

(2). Ada yang lebih mencari konsensus daripada menemukan yang benar dan yang baik; maka lebih senang memperhatikan audiens daripada “mendengarkan”. (saat kampanye). Komunikasi yang baik bukannya berusaha membuat publik terkesan dengan lelucon suara, dengan tujuan mengejek lawan bicara, tetapi memperhatikan alasan orang lain dan mencoba memahami kompleksitas realita.

(3). Sungguh menyedihkan, kalau juga dalam Gereja, keberpihakan ideologis dibentuk, mendengarkan dihilangkan, dan oposisi yang murni ditinggalkan di belakang.

(4). Ada banyak dialog, yang sama sekali tidak berkomunikasi. Orang hanya menunggu orang lain selesai bicara. Itu namanya monolog dalam 2 suara, bukannya dialog.

(5). Ada yang sama sekali menutup telinganya karena tidak mau mendengar suaranya. Yang demikian itu kecenderungannnya menjadi munculnya tindak kekerasan. Orang Yahudi yang mendengar kata-kata diakon Stefanus: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” Maka berteriak-teriaklah mereka dan sambil menutup telinga serentak menyerbu dia. (Kis 7:56-57).

e. Jurnalisme yang baik.

Komunikasi tidak akan terjadi jika tidak terlebih dahulu mendengarkan, dan tidak ada jurnalisme yang baik tanpa kemampuan mendengarkan yang baik. Terkadang perlu mendengarkan dalam waktu lama, untuk dapat memberikan informasi yang padat, seimbang, dan lengkap. Demikian pula untuk dapat menceritakan suatu peristiwa atau menggambarkan sebuah realitas dalam pelaporan berita, sungguh pentinglah mengetahui cara mendengarkan, siap berubah pikiran, dan mengubah asumsi awal. Hanya dengan keluar dari sikap monolog, keselarasan suara yang menjadi jaminan komunikasi sejati dapat tercapai. Mendengarkan beberapa sumber: “tidak berhenti di kedai pertama”—seperti yang diajarkan oleh para ahli di lapangan—memastikan keandalan dan keseriusan informasi yang kita kirimkan.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *