Puasa dan Pantang Secara Ekologis

Sebagai Umat Kristiani, khususnya Katolik, kita memasuki masa Prapaskah 2022 yang dimulai sejak Hari Rabu Abu, 2 Maret 2022, hingga Hari Jumat Agung, 15 April 2022. Seiring dengan itu, kita menandainya dengan pertobatan masa Prapaskah. Pertobatan ditandai dengan berbagai cara.

Pertama, secara teologis, kita mengubah sikap seluruh hidup yang meliputi hati, budi, jiwa, akal budi, dan perilaku untuk semakin terarah kepada Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada kita, manusia yang lemah, rapuh, ringkih, dan berdosa. Dasar pertobatan kita adalah iman kepada Allah sebagai Bapa yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada kita. Kasih sayang Allah Bapa dinyatakan kepada kita melalui Putra Allah yang Maha Tinggi yang telah menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus, bahkan Yesus Kristus yang menderita sengsara, disalibkan, wafat, dan bangkit untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Kita percaya dan mengimaninya berkat bimbingan Roh Kudus yang dicurahkan kepada kita. Atas dasar iman tersebut, pertobatan secara teologis dibangun dengan perubahan sikap yang semakin mengandalkan kasih Bapa, Putra, dan Roh Kudus dengan mengimani dan menaatinya dalam kesetiaan, kerendahan hati, dan syukur sukacita.

Kedua, secara liturgis, kita menandai pertobatan itu dalam berbagai cara. Pertama-tama, kita mengawali pertobatan itu dengan menerima abu di kepala kita (atau dahi kita). Kita berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Kita berasal dari abu yang akan kembali menjadi abu. Pertobatan ini menyadarkan siapakah jatidiri kita manusia. Kita hanyalah laksana setitik debu di hadirat-Nya, namun setitik debu ini diangkat ke dalam martabat mulia sebagai putri-putra Bapa yang dikasihi-Nya dengan sempurna. Selanjutnya, kita mengenang sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus melalui ibadah jalan salib. Jalan salib dalam tradisi Gereja Katolik bisa dilaksanakan pada hari Jumat, meski sebetulnya, jalan salib bisa pula dilakukan kapan saja. Kecuali itu, pertobatan secara liturgis dapat pula dilaksanakan dan disempurnakan dengan penerimaan sakramen tobat dan pengampunan. Inilah tanda puncak sakramental pertobatan dalam tradisi Gereja Katolik, yang tidak terjadi dalam denominasi kekristenan lainnya. Gereja Katolik menempatkan pertobatan sakramental melalui Sakramen Tobat dan Pengampunan, yang juga dikenal sebagai Sakramen Rekonsiliasi.

Ketiga, secara praksis perilaku. Umat Katolik menandai pertobatan dengan puasa dan pantang. Secara kanonis-yuridis (hukum Gereja Katolik), puasa dilakukan dua kali selama masa Prapaskah, yakni pada Hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Puasa secara praksis perilaku berarti makan kenyang sekali sehari pada dua hari tersebut. Artinya, kalau biasanya seseorang makan kenyang tiga kali sehari, sebagai bentuk puasa, maka, makan kenyangnya hanya dilakukan sekali saja. Misalnya, makan pagi dan siang tidak kenyang, baru makan malamnya kenyang. Atau dibalik, pagi makan kenyang, sedangkan siang dan malam tidak kenyang. Gampang dan ringan bukan? Itulah sebabnya, tak sedikit umat Katolik yang kemudian melakukan puasa dengan cara, pagi sampai malam tidak makan, hanya makan malam saja, itu pun tidak perlu kenyang. Mirip dengan cara Umat Islam berpuasa, namun tanpa makan sahur pada dini hari dan buka puasa sesudah matahari terbenam.

Selain puasa, ada juga yang disebut pantang. Yang dimaksudkan dengan pantang adalah mengurangi berbagai jenis kesukaan. Kesukaan di sini tak hanya tentang makanan, melainkan juga minuman, kebiasaan, dan perilaku tertentu. Contohnya, kalau orang suka minum manis, ya sebagai pantang, menguranginya atau bahkan tidak melakukannya. Kalau orang terbiasa tergantung makan enak, sebagai wujud pantang, mengurangi kebiasaan tersebut. Yang suka tahu, mengurangi tahu. Yang suka tempe mengurangi tempe. Yang suka daging mengurangi daging. Yang suka krupuk, mengurangi atau tidak makan krupuk. Yang hobi ngopi, mengurangi kopi, dan seterusnya.

Maka, puasa dan pantang dari sisi praksis perilaku tersebut sangatlah gampang dan ringan. Pantangnya dilakukan pada Hari Rabu Abu, Jumat Agung, dan setiap Jumat selama masa Prapaskah. Sungguh gampang dan ringan dibandingkan dengan cara berpuasa Umat Islam dan para Bhikkhu dalam tradisi agama Buddha.

Perlulah dicari cara puasa dan pantang yang lebih berat baik secara pribadi maupun bersama dalam keluarga dan komunitas. Salah satu cara berpuasa dan pantang yang bisa dilakukan adalah puasa dan pantang secara ekologis. Puasa dan pantang ini pertama-tama terkait dengan relasi kita dengan sesama. Puasa dan pantang dilakukan dengan cara membangun relasi yang baik dengan sesama, mengendalikan emosi, tidak memfitnah, berupaya membangun harmoni dan kerukunan dalam kerendahan hati dan syukur. Kecuali itu, puasa dan pantang secara ekologis juga bisa dilakukan dengan cara membangun relasi yang baik dengan alam semesta. Misalnya, tidak bersikap eksploitatif merusak lingkungan, hemat air, hemat listrik, memilah dan menaruh sampah dengan benar, menanam pohon, dan merawat lingkungan hidup.

Cara-cara ini dapat dilakukan sebagai bentuk puasa dan pantang secara ekologis. Prinsipnya adalah mengembangkan kepedulian kepada sesama dan semesta dalam sikap adil, damai, dan menjaga keutuhan ciptaan serta kelestarian lingkungan kita.

Selamat memasuki masa Prapaskah.

Salam Peradaban Kasih Ekologis.

Salam INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan!

Romo Aloys Budi Purnomo, Pr

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *