Di hadapan peserta lintas agama yang mengikuti Dialog Kebangsaan dalam Rangka Haul Gus Dur XII, Uskup Keuskupan Pangkalpinang, Mgr Adrianus Sunarko, OFM menegaskan tentang relasi iman dan kemanusiaan. Acara diselenggarakan di kompleks Gereja Katolik Paroki Maria Bunda Pembantu Abadi, Batam, 21 Januari 2022.
Ia pun mengawalinya dengan berkisah tentang persahabatan antara almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan mendiang Romo Mangunwijaya, Pr yang menghidupi semangat kemanusiaan. Romo Mangun pernah menulis sebuah buku “Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak” yang diterbitkan PT Gramedia tahun 1986.
Menurut Mgr Sunarko, dalam buku tersebut, Gus Dur turut menulis hal penting tentang Iman dan Kemanusiaan. “Dalam kata pengantar itu, beliau menyampaikan sebuah cerita yang sangat menarik, yang sangat inspiratif khususnya untuk tema Iman dan Kemanusiaan ini. Beliau mengutip sebuah kisah dari khazanah sufi tentang tadi seorang ahli ibadah, pendoa, tetapi dia dikisahkan tidak mau memberi minum pada kucing yang kehausan, sehingga kucing itu mati. Dan di sisi lain, ada seorang penjahat, mungkin dia jarang berdoa ya, tetapi dia mau memberikan persediaan minumnya yang terakhir kepada anjing yang kehausan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya. Siapa yang masuk surga, siapa yang masuk neraka? Dalam cerita itu dikatakan, di akhirat, pendoa tadi, yang rajin berdoa tadi, tapi tidak mau memberikan minuman kepada kucing yang kehausan, masuk neraka. Sedangkan penjahat tadi, karena dia rela memberikan minumannya yang terakhir kepada anjing yang kehausan, diampuni dosa-dosanya, masuk surga,” katanya.
Mgr Sunarko pun menarik pesan dari tulisan Gus Dur tersebut. “Iman kepada Allah seharusnya tidak boleh pernah bertentangan dengan kemanusiaan, perikemanusiaan kita. Kalau bertentangan, ada yang gak beres dari iman itu ya,” katanya.
Bagi Mgr Sunarko, cerita tersebut sangat menarik karena ada kemiripan dengan kisah dalam Injil tentang “Orang Samaria yang Baik Hati”. “Cerita ini sangat menarik bagi saya sebagai orang Katolik karena ada kisah yang mirip dalam Injil kami. Cerita tentang seseorang sedang atau menderita karena dirampok orang. Dia ada dalam keadaan terluka di pinggir jalan. Lalu, dikisahkan dalam injil kami itu ada seorang imam lewat, melihat saudaranya yang menjadi korban rampok ini di pinggir jalan. Imam ini dikisahkan di situ hanya melihat dan berjalan terus dan pergi. Lalu, ada seorang Lewi juga yang ahli hukum, dari kalangan terhormat, melihat juga ada seorang yang tadi korban itu. Dikisahkan dalam Injil juga begitu, dia hanya melihat, dan kemudian pergi, tidak buat apa-apa,” katanya.
Mgr Sunarko pun melanjutkan, ada tokoh ketiga yaitu orang Samaria yang pada masa itu imannya diragukan. Dari segi kesukuan dianggap kelas nomor dua dibandingkan orang-orang Yahudi. Namun, ia justru memberikan pertolongan. “Dikisahkan dia lewat, melihat orang sakit-korban tadi, langsung mendatanginya, merawatnya, membasuhnya dan kemudian membawanya ke tempat penginapan,” katanya. Orang Samaria itu pun meminta orang penginapan supaya merawat korban itu dengan memberikan sejumlah uang. Kalau masih kurang, ia akan menggantinya ketika kembali.
Kisah ini, menurut Mgr Sunarko, mirip dengan yang ditulis Gus Dur. “Mirip cerita itu. Sekali lagi untuk menunjukkan bahwa mungkin yang menyatukan Gus Dur dan Romo Mangun adalah juga itu ya, bahwa iman kepada Allah dan perwujudanya tidak pernah boleh bertentangan dengan perwujudan kemanusiaan. Ini sebuah pelajaran yang sangat penting juga bagi kita,” ungkap Mgr Sunarko.
Kemudian Mgr Sunarko pun mengungkapkan tentang Eropa yang dilanda sekularisme dan ateisme. “Kalau kita belajar sejarah Eropa yang sekarang praktis sebagian besar masyarakatnya menjadi sekular dan ateis tentu ada banyak sebabnya. Tetapi salah satu sebabnya juga adalah karena itu. Karena pada waktu itu pernah terjadi bahwa orang-orang yang beragama itu justru berperang satu sama lain,” katanya. Salah satunya, menurutnya, adalah Gereja Katolik dan Gereja Protestan di Jerman pernah berperang 30 tahun karena alasan agama. “Jadi, itulah salah satu ya, tentu ada banyak sebab lainnya yang kemudian menyebabkan orang tidak percaya lagi pada agama. Ternyata beragama justru menyebabkan orang berperang satu sama lain,” katanya.
Fenomena ketidaksinkronan antara iman dengan kemanusiaan pun terlihat di Indonesia. “Di Indonesia saya kira kita kadang-kadang mengalami juga, ada orang yang merasa saleh dan mewujudkan imannya kepada Tuhan justru dengan tindakan-tindakan tidak manusiawi. Dan itu dia merasa dengan melakukan itu merasa meluhurkan Tuhan. Ini pasti tidak sesuai dengan yang diwariskan Gus Dur dan Romo Mangun kepada kita,” katanya.
Mgr Sunarko dengan inspirasi Kitab Suci (Mat 5:23-24) memperlihatkan pentingnya menyelesaikan pertentangan dan membangun perdamaian. “Dikatakan begini ya, “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah tetapi teringat akan sesuatu yang ada di dalam hati saudaramu terhadap engkau, (artinya teringat bahwa dia sedang bertengkar dengan orang lain), maka, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, barulah kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” Sabda yang sangat keras ini, seolah Allah bilang, tinggalkan Saya lah, yang penting kamu berdamai dulu dengan saudaramu, baru lanjutkan persembahanmu di atas mezbah. Kalau kamu pergi mempersembahkan tapi ingat bahwa kamu sedang bermusuhan dengan orang lain, tidak layak persembahanmu itu. Pergi, tinggalkan, damai dulu, baru kembali untuk mempersembahkan persembahan yang pantas bagi Allah,” katanya.
Mgr Sunarko pun menandaskan tentang perintah Yesus kepada pengikut-Nya tentang mengasihi Allah dan sekaligus mengasihi sesama. Yesus Kristus menyimpulkannya dengan menyatukan kedua perintah itu waktu Dia ditanya apa perintah yang paling utama. “Beliau mengatakan “Dengarlah, kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatanmu.” Perintah yang utama. Tapi langsung disambung oleh perintah yang berikutnya yaitu “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Jadi, yang paling penting di sini adalah dua-duanya dikaitkan. Kasihilah Allahmu dan kasihilah sesamamu tidak boleh dipertentangkan satu sama lain,” katanya. Menurutnya, itu pula yang menjadi warisan paling penting dari Gus Dur dan Romo Mangun.
Menanggapi pertanyaan audiens, Mgr Sunarko pun menandaskan pentingnya memerhatikan hidup beragama yang terkait aspek privat ataupun publik. “Memang ada aspek-aspek yang lebih privat, pribadi dan ada aspek-aspek yang publik dan itu berkaitan dengan hidup bermasyarakat,” katanya.
Khusus menyangkut aspek-aspek yang publik, menurutnya,hal itu terkait dengan kenyataan bahwa kita berada dalam masyarakat dengan agama yang plural. “Dalam rangka hidup bernegara untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan banyak orang seperti itu memang diatur oleh hukum negara,” katanya.
Sedangkan untuk hal-hal yang lebih privat, menurutnya, menjadi urusan pribadi misalnya cara berdoa. Aspek-aspek yang menyangkut unsur publik memiliki pengaruh kepada orang lain. “Kita berelasi satu sama lain dan karena di Indonesia memang plural, dibutuhkan di satu pihak kepekaan terhadap kita masing-masing, tetapi di lain pihak kita bersyukur juga bahwa sudah ada hukum negara di mana semua orang harus tunduk. Kalau hukum itu dilanggar akan ada sanksinya,” katanya.