Mgr Sunarko, OFM: Mungkin Bapak Uskup Vitus Harus Menjadi Gembala yang Berbau ‘Rumah Makan Padang’ 

Berikut ini adalah petikan transkrip homili Mgr Adrianus Sunarko, OFM dalam tahbisan uskup Mgr Vitus Rubianto Solichin, SX.

Saudara-saudari sekalian beberapa waktu yang lalu khususnya pada masa-masa setelah pemilu 2019 hingga sebelum masa pendemi, tetapi juga mungkin masih sampai sekarang. Kita sering mengalami secara langsung atau mendengar berita atau memperoleh informasi tentang orang-orang yang mengaku beragama bahkan menganggap diri saleh, tetapi dalam perilaku kehidupan yang nyata, mereka menampilkan wajah agama yang mengkhawatirkan, menakutkan, bahkan mengancam kerukunan hidup bersama.

Tidak luput dari perilaku seperti itu adalah juga mereka yang sering disebut tokoh-tokoh agama, para pemuka agama. Dari mereka seringkali kita dengar ujaran-ujaran kebencian yang bahkan kemudian memprovokasi orang untuk melakukan kekerasan.

Dalam konteks hidup menggereja, Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan seringkali berbicara tentang apa yang disebut keduniawian rohani. Yang dimaksudkan antara lain adalah orang-orang yang bersembunyi di balik penampilan kesalehan dan bahkan kasih kepada Gereja, tetapi sebenarnya mencari bukan kemuliaan Allah, melainkan kemuliaan manusiawi dan kesejahteraan pribadi.

Seperti orang Farisi, mereka seringkali memusatkan perhatian pada peraturan-peraturan dan ritus-ritus yang rumit. Dalam Evengelii Gaudium, misalnya, Paus Fransiskus berkata, “Pada beberapa orang, kita melihat perhatian yang berlebihan akan doktrin, akan gengsi Gereja, tetapi tanpa kepedulian apapun agar Injil memiliki dampak  bagi umat Allah dan kebutuhan konkret masa kini.”

Para tokoh agama, pemuka agama model seperti ini dilukiskan Paus  Fransiskus sebagai orang-orang yang percaya pada kekuatan sendiri dan merasa lebih unggul dari yang lain karena mematuhi aturan-aturan tertentu. Mereka  cenderung menjadi kelompok elit yang otoritarian tidak memberitakan sukacita Injil, melainkan cenderung menjadi hakim. Bukannya membuka pintu kepada rahmat, melainkan justru menguras energinya untuk mengawasi dan memeriksa orang lain.

Pemuka agama model seperti ini seringkali menetapkan begitu banyak syarat terhadap belas kasih dan dengan demikian mengosongkannya dari makna yang konkret. Hukum-hukum sering dilihat seperti batu-batu yang siap dibebankan, dilemparkan kepada umat.

Mereka tergoda untuk bertindak lebih sebagai pengontrol daripada fasilitator rahmat. Bukan mempermudah, mereka justru menjadi penghalang bagi umat yang hendak bertemu dengan Kristus. Cara hidup beragama seperti ini, pemuka agama model seperti ini tentu saja membuat kita gelisah dan khawatir.

Tetapi, Saudara-saudara sekalian, umat Keuskupan Padang tidak perlu gelisah dan khawatir. Karena pemuka agama yang baru datang ke Padang ini, Bapak Uskup Vitus yang akan ditahbiskan hari ini, tidak seperti itu atau paling tidak, tidak ingin seperti itu.

Justru sebaliknya, sesuai dengan motto yang dipilh “Misericordia Motus”, beliau tidak ingin menjadi pemuka agama atau gembala yang otoriter, menetapkan syarat yang rumit-rumit dan menutup pintu rahmat. Sebaliknya, beliau ingin menjadi pemuka agama yang berbela rasa, yang tergerak hatinya oleh belas kasihan.

Wajah Gereja yang ingin ditampilkan kiranya bukanlah seperti pabean, melainkan rumah Bapa, di mana ada tempat bagi setiap orang dengan segala permasalahan mereka. Gereja, seperti kata Paus Fransiskus, seperti rumah sakit di medan perang yang bersedia menerima siapa saja yang datang.

Bacaan-bacaan yang dipilih untuk ekaristi hari ini memberi gambaran lebih konkret tentang gembala, pemuka agama yang “Misericordia Motus” (Tergerak oleh belas kasihan) itu. Sebagaimana dikatakan tadi dalam bacaan kedua dari surat pertama Petrus, gembala untuk Keuskupan Padang ini, akan menggembalakan domba tidak dengan terpaksa, melainkan dengan sukarela. Tidak mau mencari keuntungan, melainkan dengan pengabdian diri. Tidak terutama sebagai yang memberi perintah, melainkan dengan menjadi teladan.

Gembala Keuskupan Padang yang baru ini, seperti dikatakan dalam Injil, ingin meniru Yesus menjadi gembala yang baik. Tidak akan lari bila serigala datang. Sebaliknya, rela mempertaruhkan dan memberikan nyawa bagi domba-dombanya. Tidak kalah penting tentu saja, Bapak Uskup Vitus ingin seperti Yesus, menjadi gembala yang mengenal domba-domba. Dan sebaliknya dikenal oleh domba-domba. Kalau menggunakan istilah dari Paus Fransiskus, Bapak Uskup Vitus ingin menjadi gembala yang berbau domba. Kalau di tempat saya, di Keuskupan Pangkalpinang, karena tidak ada domba, mungkin berarti menjadi gembala yang berbau ikan asin. Atau kalau di Padang ini mungkin Bapak Uskup Vitus harus menjadi gembala yang berbau rumah makan padang.

Saudara-saudari sekalian, sambil mengupayakan segala keutamaan di atas, Bapak Uskup Vitus sadar dan ingin tetap rendah hati seperti diingatkan Paulus dalam bacaan pertama hari ini. Kepada para penatua jemaat yang datang ke Miletus, Paulus berkata, bahwa ia sudah berjuang memberikan yang terbaik. Tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada henti-hentinya menasihati dengan mencucurkan air mata.  Tetapi, Paulus sadar bahwa yang berkuasa membangun jemaat bukan dirinya sendiri, melainkan Tuhan dan firman kasih karunia-Nya. Ia berkata, “Sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya yang  berkuasa membangun kamu dan berkuasa pula menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan.”

Gembala yang baik tidak lupa untuk menyerahkan kembali jemaatnya kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya. Gembala yang baik tidak lupa bahwa domba-domba itu bukan miliknya, melainkan milik Tuhan sendiri. Allah dan firman kasih karunia-Nyalah yang berkuasa membangun umat.

Saudara-saudari sekalian yang terkasih, mendapatkan gembala yang seperti itu atau yang bercita-cita seperti itu pantaslah umat Keuskupan Padang bersyukur, berterima kasih, dan berbahagia. Apakah gembalanya sendiri juga berbahagia? Apakah Bapak Uskup Vitus akan berbahagia mendapat atau melaksanakan perutusannya di Keuskupan Padang ini? Tentu saja saya tidak tahu.

Mungkin kalau bertanya pada Ebiet, maka kita akan disarankan bertanya pada rumput yang bergoyang. Bapak Uskup Vitus sendiri yang  paling tahu isi hatinya yang terdalam. Tetapi kalau melihat foto cover buku misa di depan, nampak beliau tersenyum lebar ya? Dibandingkan vesper kemarin masih belum selebar foto cover buku tahbisan hari ini ya? Mudah-mudahan itu tanda bahwa beliau bersuka cita mendapat perutusan di tempat ini.

Santo Agustinus pernah mensharingkan penghayatan hidupnya sebagai uskup dengan ungkapan sebagai berikut: “Kalau posisi saya berhadapan dengan kalian, umat, membuat aku sendiri takut, maka posisi saya bersama kalian menghibur aku. Karena berhadapan dengan kalian, saya seorang uskup. Tetapi bersama dengan kalian, saya seorang kristiani biasa.” Yang pertama, menunjukkan tugas yang kemudian menunjukkan rahmat. Yang pertama menunjukkan bahaya. Yang kemudian, menandakan keselamatan.

Rupanya Santo Agustinus menemukan kebahagiaan dan penghiburan sebagai uskup ketika bersama dengan umat, ketika dekat dengan domba-domba-Nya. Semoga Bapak Uskup Vitus juga akan berbahagia menemukan sukacita bersama umat di Keuskupan Padang. Dan kalau umat Keuskupan Padang bersukacita mendapat gembala yang seperti ini, bila uskupnya juga menemukan sukacita bersama dengan umatnya, maka kami semua juga sebagai tetangga-tetangga keuskupan akan bersukacita.

Bangun rumah alasnya batu, bila badai pastilah tahan.

Kami turut datang memberi restu, Semoga Mgr Vitus berbahagia melayani Tuhan.

Tuhan memberkati!

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *