MINGGU BIASA XXIX
17 Oktober 2021
Bacaan I : Yes 53:10-11
Bacaan II : Ibr 4:14-16
Bacaan Injil : Mrk 10:35-45
Derita sebagai silih
Seseorang melaporkan diri kepada romonya bahwa dia sedang sakit di rumah sakit. Dia memohon sakramen perminyakan. Yang menarik adalah dia memakai istilah: sedang dianugerahi sakit, ‘kanugrahan sakit’. Sakit dihayati sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan. Dan anugerah itu berarti diberikan sebagai kebaikan. Dari penghayatan akan sakit sebagai anugerah, orang itu bisa menghayati keadaan sakit sebagai yang layak diterima, dan berharap semoga bisa menjadi silih bagi kesalahan dan dosanya. Indah sekali penghayatan seperti ini. Namun tentu saja tidak setiap sakit atau keadaan sial itu anugerah yang diberikan Tuhan. Kerap kali terjadi karena kita teledor, sembrono, dan kurang hati-hati. Artinya, karena kesalahan diri kita sendiri. Jika demikian, tidak tepat kita menyebut itu sebagai anugerah.
Kitab Nabi Yesaya mengisahkan tentang derita sosok Hamba Yahwe. Bagaimanakah derita dihayati, dan untuk apakah sosok ini menderita? “Sesudah kesusahan jiwanya, ia akan melihat terang dan menjadi puas. Sebab Tuhan berfirman: HambaKu itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.” Hamba Yahwe menderita untuk silih bagi dosa dan kesalahan banyak orang. Itulah juga gambaran awal penebusan yang akhirnya terpenuhi secara sempurna dalam diri Yesus Kristus. “Karena Anak Manusiapun datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang”.
Oleh kisah Hamba Yahwe yang menderita, kita bisa mengerti bahwa mengikuti dan percaya pada Yesus Tuhan, tidak pernah menjanjikan pembebasan dari derita hidup di dunia ini. Namun demikian, derita bisa dihayati dalam iman sebagai anugerah tidak ternilai. Saat pertobatan dan pembaruan diri, saat penyerahan diri pada kehendak ilahi, saat persembahan diri semoga bisa menjadi silih bagi kesalahan dan dosa.
Romo Agus Suryana Gunadi, Pr