Laudato Si’Action Platform (LSAP) atau Platform Aksi Laudato Si’ menjadi tindak lanjut pengguliran semangat ensiklik Laudato Si’ baik untuk Gereja maupun setiap orang yang berkehendak baik.
Platform Aksi Laudato Si’ ini ditawarkan oleh Dikasteri untuk Promosi Pembangunan Manusia Integral sebagai layanan kepada Gereja Katolik universal dan kepada “semua pria dan wanita yang berkehendak baik.” (LS 3) LSAP dirancang untuk tujuh sektor meliputi keluarga, paroki dan keuskupan, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, organisasi dan kelompok, sektor ekonomi, dan agama-agama.
Ketua Keadilan dan Perdamaian, Migran dan Perantau Konferensi Waligereja Indonesia (KKPMP KWI), Mgr Dominikus Saku berharap, LSAP tersebut bisa berjalan dengan baik di keuskupan-keuskupan di Indonesia.
LSAP, menurutnya, telah disiapkan sedemikian rupa supaya bisa diterapkan di Gereja atau siapapun yang berkehendak baik. Dalam konteks Asia, ia melihat LSAP mulai direspon dengan baik. “Yang saya bisa tangkap adalah gerakan sangat besar dari Gereja Katolik bersama dengan semua orang yang menanggapi dengan sangat baik global warming, tentang segala macam krisis menyangkut alam. Dan saya melihat dari satu sisi baik yang Gereja di Asia itu sudah mulai bergerak. Dan dari pihak lain masih diperlukan banyak usaha untuk mengkoordinasikan, mengorganisir gerakan-gerakan yang ada untuk menjadi lebih terarah dan menjadi satu kekuatan dari Gereja untuk memberikan pelayanan bagi bumi dan bagi kemanusiaan,” katanya dalam sebuah webinar KKPMP KWI, 8 September 2021 lalu.
Menurutnya, banyak pihak telah melakukan karya merawat bumi. Meskipun demikian semua itu perlu dikoordinasi supaya menjadi suatu kekuatan yang mewarnai karya pastoral Gereja Indonesia. Untuk itu, menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi catatan terkait dengan LSAP.
Masuk agenda KWI
Mgr Dominikus melihat LSAP perlu menjadi gerakan pastoral Gereja Katolik Indonesia. Maka, LSAP, menurutnya, perlu menjadi putusan dalam sidang Pleno KWI tahun 2021. “Saya melihat Laudato Si Action Platform ini perlu menjadi putusan dalam sidang Pleno KWI tahun 2021 ini,” katanya.
Selain masuk dalam agenda KWI, LSAP, menurutnya, perlu dijadikan bagian integral dari tugas perutusan dan karya pastoral Gereja. Ia melihat, gerakan-gerakan merawat bumi sudah dilakukan dengan baik oleh Gereja-gereja di Filipina, Korea, Thailand, maupun Myanmar. “Itu menjadi gerakan yang mengungkapkan sebenarnya panggilan dan tugas perutusan Gereja,” ungkapnya.
Alasan menjadikan LSAP sebagai bagian integral dari tugas perutusan dan karya pastoral Gereja adalah ia melihat bidang ekologi belum menjadi perhatian dari Gereja. Padahal, menurutnya, Indonesia mengalami krisis lingkungan.
“Dengan segala krisis yang ada di sana, mindset dari Laudato Si Action Platform ini perlu dijadikan bagian dari tugas perutusan dan pelayanan Gereja,” katanya.
Mgr Dominikus melihat perlu membuat replikasi atas gerakan ekologi yang sudah ada dan berjalan baik. “Semoga apa yang baik, yang terjadi di banyak tempat dapat diperbanyak, dapat direplikasi untuk menjadi gerakan bersama sehingga gerakan untuk memperbaiki atau sekurang-kurangnya membangun kesadaran ekologi itu menjadi suatu gerakan bersama,” ungkapnya. Replikasi itu, menurutnya, bisa dilakukan dari komunitas-komunitas yang paling kecil.
Mgr Dominikus juga mengusulkan kerja sama antar rumpun dalam menggulirkan LSAP misalnya di KWI. “Dengan melihat kekuatan yang sudah ada itu, mungkin baik dilakukan perkuatan dan perluasan kerja sama rumpun KLSD di KWI ini yang fokus untuk Laudato Si’ Action Platform,” katanya.
Dalam menjalankan LASP, Mgr Dominikus melihat pentingnya media komunikasi seperti web dan booklet sebagai sarana komunikasi kepada umat. “Saya terkesima dengan yang terjadi di Filipina, kemudian di Myanmar, Korea Selatan, dan juga di Vietnam, lalu kemudian di Kamboja. Mereka sungguh-sungguh bekerja di dalam sistem, jaringan, mereka mempunyai web, dengan booklet yang bisa kita akses,” katanya.
Melalui media tersebut, menurutnya, umat bisa melihat profil, deskripsi, sejarah karya pastoral tentang LSAP. Bahkan, umat pun bisa mengakses data dan aneka warna gerakan di regio, keuskupan bahkan paroki.
Butuh dialog
LSAP supaya berjalan dengan baik, menurutnya, membutuhkan dialog, kolaborasi sinergis dan transparan dengan pemeritah, agama-agama dan para ahli yang berkompeten. “Terlebih dengan pemerintah sebagai yang bertanggung jawab untuk pelayanan publik dengan regulasi-regulasi yang bersifat mengikat untuk semua. Dan semoga kerja sama kita ini bisa membantu juga pemahaman yang sama atau pemahaman yang bisa dikomunikasikan. Tentang Laudato Si’ Action Platform ini juga, saya lihat itu ada di dalam agama-agama, ada tema-tema teologis, tema-tema ekologis, tema-tema sosiologis yang bisa sangat kuat berbicara tentang Laudato Si’ Action Platform ini,” katanya.
Mgr Dominikus melihat, di Indonesia banyak orang yang sangat berkompeten yang bisa membantu untuk menggulirkan LSAP.
Atambua Eden
Terkait dengan lingkungan, pertanian dan ekonomi, Keuskupan Atambua telah merintis proyek Atambua Eden. “Kami belajar di Keuskupan Atambua ini. Kita belajar dari bagaimana mengisi hal-hal konkret ini. Kami mempunyai mimpi besar untuk memberdayakan kehidupan dan konsep ini membawa makna yang untuk saya sangat penting. Kami menjadikannya sebagai gerakan pembaharuan di dalam karya pastoral Gereja,” katanya.
Menurutnya, Atambua Eden merupakan gerakan pemberdayaan hidup umat Keuskupan Atambua dengan jargon “Iman membumi dan hidup berdaya”.
Keuskupan Atambua, imbuhnya, terus menerus berjuang bersama dengan umat menghadapi iklim ekstrem. “Kalau hujan itu, hujannya sangat berkelimpahan sampai tidak bisa dikendalikan. Kalau panas, panasnya luar biasa sehingga banyak terjadi kekeringan,” kata Mgr Domi.
“Kami bermimpi untuk menjadikan suatu platform yang bisa membangkitkan kesadaran untuk seluruh umat. Dan saya berterima kasih, gerakan ini mulai menjiwai karya pastoral para pastor di paroki-paroki, komisi-komisi bahkan kami sudah melangsungkan juga pertemuan dengan pemerintah daerah, pemerintah di kabupaten Provinsi dan seterusnya,” katanya.
Dalam proyek tersebut, ada beberapa pilot program percontohan yang diharapkan berkelanjutan misalnya tentang unit lingkungan hidup, unit agrowisata, dan unit pastoral sosial. Selain itu, ada unit pendidikan mengingat, menurutnya, pendidikan di Indonesia ini ada persoalan. Unit pariwisata, unit pelatihan pengolahan produksi dan pemasaran, unit pengembangan spiritualitas inkarnatoris, unit media dan kerja sama jejaring pun dibuat.
“Kami coba untuk memadukan itu di dalam suatu program dan kami bermimpi, semoga pada tahun 2030, Keuskupan Atambua ini bisa lebih berdaya, dan semoga bisa mandiri melalui kegiatan ini,” harapnya.
Keuskupan Atambua melalui kerjasama dengann berbagai pihak juga membuat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu. Selain itu, terkait dengan pemberdayaan petani, Keuskupan pun membuat sumur bor untuk pertanian palawija, budidaya ikan air tawar, dan pengembangan peternakan, lalu kita dari keuskupan ini memperluas supaya bisa menjangkau masyarakat.
Itu semua dalam kerangka membangun kebertahanan-keberdayaan-keberlanjutan dan menjaga keutuhan dan solidaritas di dalam Gereja. “Semoga kita semua makin bekerja sama membangun dan membawa pelayanan Gereja semakin baik di masa depan,” katanya.