Romo Budi: Perutusan sebagai pembawa damai dijalankan bersama dengan semua orang tanpa pilih kasih

Tim Komisi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (Komsos KWI) melakukan wawancara dengan Romo Aloys Budi Purnomo Pr selaku Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (HAK KWI) terkait Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025. Romo Aloys Budi yang juga Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan membagikan hasil wawancara tersebut untuk Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan. Berikut adalah hasilnya. Selamat membaca. Semoga bermanfaat. Redaksi.

a. Apa peran SAGKI dalam jalan bersama dengan umat lintas iman?

Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kita mengacu pada dua hal. Pertama memahami apa itu SAGKI, dan kedua, tema SAGKI 2025. Sebagaimana kita pahami, SAGKI adalah forum pertemuan yang penting bagi perkembangan Gereja Katolik Indonesia untuk menegaskan kembali tugas perutusan Gereja sebagai terang dan garam di tengah dunia. SAGKI merupakan bentuk refleksi dan konsolidasi yang dilakukan oleh para Bapak Uskup, Imam, Biarawan-Biarawati, dan Umat Awam yang berpartisipasi aktif di dalamnya. Mereka merefleksikan panggilan Allah dan tugas umat Katolik untuk menjadi saksi Kristus di Indonesia dengan membahas tema-tema tertentu yang relevan dan kontekstual.

Nah, terkait dengan tema, SAGKI 2025 bertema “Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian”. Sesuai tema tersebut, SAGKI memiliki peran penting dalam mewujudkan perutusan Gereja Katolik Indonesia sebagai pembawa perdamaian bagi dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Untuk mewujudkan perdamaian, Gereja Katolik tidak berjalan sendirian, melainkan berjalan bersama (sinodal) baik secara internal di antara semua anggota Gereja maupun secara eksternal di antara semua orang apa pun agama dan kepercayaannya. Dalam hal inilah peran penting SAGKI mendapatkan konteksnya. Bersama semua umat beragama baik secara ekumenis (antarumat Kristen apa pun denominasinya) dan secara interreligius (antarumat beragama: Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan). Perutusan sebagai pembawa damai dijalankan bersama dengan semua orang tanpa pilih kasih.

b. Sejauh mana SAGKI dapat membawa dampak terhadap isu kebangsaan dan moderasi beragama saat ini?

Untuk SAGKI 2025, tentunya belum bisa dijawab sejauh mana membawa dampak sebagai realitas. Namun sebagai harapan, saya bisa mengatakan bahwa tema tentang perdamaian sangatlah penting, relevan dan signifikan bagi kebangsaan dan moderasi beragama saat ini dan di masa mendatang. Saat ini, harus diakui dengan jujur bahwa secara umum, bangsa kita sedang tidak baik-baik saja. Terjadinya letupan-letupan sporadis bernuansa kriminal-intoleran, perilaku destruktif yang merugikan publik, sikap tidak peka elite politik kekuasaan, dan berbagai gejala sosial ekonomi yang tidak adil membutuhkan perdamaian. Misi membawa damai Gereja untuk bangsa mendapatkan tantangan tersendiri.

Secara khusus saya melihat dari pengalaman akar rumput di seluas negeri ini, hidup rukun dan damai selalu diutamakan. Sejak Februari hingga Oktober 2025, saya berkeliling, berkunjung, dan berkoordinasi dengan Ketua-Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan-Keuskupan (19 Keuskupan) dan para Sahabat Lintasagama (24 Kota/Kabupaten) mulai dari Pangkalpinang (Tanjungpinang, Batam, dan Sekupang), Pontianak (Mentawai), Medan, Padang, Tanjungkarang, Manado, Makassar, Labuan Bajo, Ambon, Malang, Surabaya, Semarang, Bandung (termasuk Subang), Bogor, Jayapura, Samarinda (di Sangatta Kutai Timur), Palangkaraya, dan hingga di Jakarta sendiri. Dalam perjalanan kunjungan tersebut saya mengalami kehidupan yang rukun dan damai. Gereja lokal hadir membawa damai melalui Komisi HAK Keuskupan dalam sinergi dengan Pemerintah setempat, Kanwil Kemenag, Bimas Katolik, OKP Lintasagama (Muhammadiyah, Ansor, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, Pemuda Katolik), Ormas lainnya (FKUB, WKRI, PMKRI), Komunitas-Komunitas (THS-THM, OMK, Gusdurian, Gerakan Perempuan Bercadar Garis Lucu, Pondok Pesantren, dan Persekutuan Ekumenis). Di sana saya melihat dan mengalami sinergi yang bagus bahkan istimewa dalam perspektif moderasi beragama dan implementasi kurikulum cinta yang terinspirasi Ensiklik Laudato Si’, Fratelli Tutti, Dokumen Abu Dhabi, dan Deklarasi Istiqlal. Tiap Keuskupan memiliki best practices yang harus disyukuri dan diwartakan. Jangan sampai kita tergoda hanya melihat letupan-letupan kriminal-intoleran sesaat namun melupakan banyak hal baik yang terjadi di daerah-daerah. Saya ambil contoh hidup damai di Tanjungpinang dan Sekupang Keuskupan Pangkalpinang. Sinergi dengan FKUB dan Pondok Pesantren Al-Kautsar serta Komunitas PCNU di Tanjungpinang dan Sekupang sangat indah. Di Labuan Bajo ada Festival Golo Koe yang menjadi berkat untuk masyarakat melalui UMKM. Di Surabaya ada Yubileum Seniman Lintasagama. Di Malang ada Kampung Kerukunan yang indah. Di Ambon, kekuatan adat penting dalam menjaga kerukunan dalam sinergi dengan Gereja Katolik dan Kristen serta Islam. Itu hanya beberapa contoh saja yang bisa saya sebutkan. Saya bersyukur boleh melihat, mengalami, dan menimba inspirasi dari semua best practices HAK di 19 Keuskupan se-Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Seiring dengan itu kami berkonsolidasi tentang pedoman HAK sebagaimana diajarkan Dikasteri untuk Dialog Interreligius Vatikan. Semua itu mendapat peneguhan pula dari tema SAGKI 2025. Misi dan dialog berjalan seiring untuk mewujudkan perdamaian dan peradaban kasih bagi bangsa kita dan dunia.

c. Apa saja dimensi keterbukaan SAGKI yang perlu dikembangkan untuk isu kebangsaan dan moderasi beragama saat ini?

Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan sebelumnya (no. a). Sesuai tema SAGKI 2025 “Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian” dimensi yang perlu dikembangkan untuk isu kebangsaan dan moderasi beragama dapat saya jelaskan sebagai berikut. Pertama, baik di tingkat nasional maupun lokal, Gereja dipanggil dan diutus untuk berjalan bersama umat dan masyarakat. Keterbukaan berjalan bersama (sinodalitas) ini bisa didasarkan pada spirit Gaudium et Spes. 

Mengapa? Sebab, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS 1).

Kedua, Gereja dipanggil dan diutus untuk berjalan bersama dalam spirit Ensiklik Laudato Si’. Dengannya, Gereja berjalan bersama dengan semua orang dan seluruh makhluk ciptaan, dengan sesama dan semesta. Manusia terutama kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (KLMTD) serta Bumi rumah bersama sedang menjerit karena penderitaan dan krisis ekologi (Laudato Si’). Perdamaian harus diperjuangkan melalui praksis ekologis, Gereja bermisi sebagai eco-Church, Gereja yang ramah dan peduli lingkungan demi menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup.

Ketiga, Gereja yang misioner demi perdamaian dihadirkan dalam spirit Fratelli Tutti, bahwa kita semua bersaudara tanpa diskriminasi. Dengan-Nya moderasi hidup keagamaan semakin dihadirkan melalui sikap yang bersaudara dengan semua orang, bukan dengan sikap eksklusif, melainkan inklusif.

Keempat, Gereja Indonesia mendapatkan warisan yang istimewa berupa Deklarasi Istiqlal yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Istiqlal yang kini juga Menteri Agama RI Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar. Gereja dipanggil dan diutus untuk merespons terjadinya dehumanisasi dan degradasi lingkungan. Jati diri manusia adalah memuliakan Allah. Manusia harus menghargai martabatnya, membuat manusia lebih bermartabat, dipenuhi hak azasinya. Faktanya, telah terjadi dehumanisasi, “martabat manusia terancam, meluasnya kekerasan dan konflik. Bahkan, agama diperalat menyebabkan penderitaan, khususnya bagi anak-anak, perempuan, dan lansia. Padahal, agama seharusnya memelihara dan meningkatkan martabat manusia” (Deklarasi Istiqlal). Terkait dengan degradasi lingkungan, Deklarasi Istiqlal mengingatkan kita bahwa “perubahan iklim menimbulkan konsekuensi destruktif: bencana alam, pemanasan global, pola cuaca yang tidak bisa diprediksi. Krisis lingkungan yang terjadi menjadi hambatan bagi kehidupan bersama yang harmonis di antara masyarakat.”

d. Apa yang bisa diwujudkan untuk berjalan bersama dengan umat lintas iman dalam situasi kebangsaan saat ini?

Sebagai catatan sebelum menjawab pertanyaan ini, saya mengusulkan bahwa frasa “umat lintas iman” mestinya diganti menjadi “umat lintas agama.” Mengapa? Di Indonesia, semua orang memiliki iman yang sama, yakni beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang berbeda adalah agama. Agama-agama mengajarkan pengungkapan iman yang berbeda-beda karenanya bisa menjadi lintas agama. Kendati berbeda agama kita disatukan dalam iman yang sama kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan sebutan yang khas sesuai agama masing-masing.

Dalam keberagaman itulah kita bisa berjalan bersama mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kerukunan, keharmonisan, persatuan, perdamaian, persaudaraan sejati, dan peradaban kasih ekologis. Sesuai Pancasila, berdasarkan sikap iman pada Tuhan Yang Maha Esa, Gereja Katolik bersama semua warga bangsa Indonesia, apa pun agama dan kepercayaannya, dapat mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, sikap bermusyawarah dalam hikmat kebijaksanaan demi mufakat yang bermartabat seraya menghargai perbedaan, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *