Komisi Keluarga menerima dengan penuh semangat kerja sama dengan Komisi-Komisi di KWI maupun dengan berbagai lembaga untuk bersinergi dalam pendampingan keluarga. Ketua Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr Paulinus Yan Olla, MSF menyampaikan hal tersebut dalam Webinar Nasional Mental Health (Kesehatan Mental) “Kesehatan Mental dalam Keluarga Katolik dan Pendidikan Katolik”, 11 Oktober 2025.
Gerakan dan kerja sama itu, menurutnya, sangat penting mengingat pastoral keluarga mencakup berbagai aspek kehidupan manusia dalam berbagai dimensinya. “Karena itu, kesehatan mental juga merupakan bidang yang terus menantang Komisi Keluarga untuk memperhatikan kesehatan mental sejak anak usia dini sampai seluruh kehidupan manusia termasuk sampai berakhirnya kehidupan fisik di dunia ini. Kesehatan mental menjadi sangat penting,” kata Mgr Yan dalam acara yang dihelat dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa itu.
Dalam acara yang diselenggarakan atas kerja sama Komisi Keluarga KWI, Komisi Pendidikan KWI, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), PPAVI dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), Mgr Yan juga mengapresiasi Kementerian Kesehatan RI yang telah menyediakan paket-paket edukasi mengenai kesehatan mental. “Kami berterima kasih bahwa paket-paket yang sudah disediakan oleh Kementerian Kesehatan maupun oleh sekolah-sekolah itu bisa dengan mudah dimasukkan ke dalam program yang dijalankan oleh Komisi Keluarga atau kerja sama dengan Komisi Pendidikan baik di tingkat KWI maupun di paroki-paroki. Terutama untuk juga menyentuh mereka yang tidak sekolah di sekolah-sekolah Katolik,” katanya.
Mgr Yan melalui pemaparannya juga berbagi oleh-oleh Kongres Internasional II tentang Pelayanan Pastoral Lansia yang diselenggarakan di Vatikan, 1-4 Oktober 2025. Ia menyampaikan tidak hanya orang-orang muda yang stres dan kemudian bunuh diri, “tetapi banyak orang tua juga merasa kesepian, ditinggalkan, merasa dibuang”.
Mgr Yan menyoroti perubahan demografis di banyak negara yang berpengaruh pada kesehatan mental. “Banyak negara itu mengalami apa yang disebut sebagai piramida terbalik. Jumlah orang tua dan anak-anak dibandingkan dengan jumlah mereka yang usia produktif itu terbalik. Dan jumlah manusia dengan usia yang panjang itu semakin besar populasinya dibanding dengan jumlah anak dan juga usia produktif. Dan disinggung Indonesia kita masih beruntung bisa menikmati sekarang bonus demografi di mana jumlah orang tua dan anak-anak itu lebih kurang, atau jumlah usia produktif lebih banyak dari mereka yang tua,” katanya.
Komisi Keluarga saat ini, menurutnya, mendapat tugas besar untuk memperhatikan kesehatan mental manusia, “terutama juga orang yang lanjut usia karena semakin lanjut usia mereka juga semakin merasa terbuang, merasa kesepian ditinggalkan dan merasa seperti diistilah dari Paus Fransiskus, mereka menjadi orang-orang seperti sampah yang dibuang.”
“Dan karena itu Gereja melawan mentalitas membuang itu dengan menyodorkan apa yang bisa dilakukan seperti yang kita lakukan hari ini, mencari bahan yang dilakukan untuk menjadi sumbangan bersama bagi gerakan peduli kesehatan mental ini, baik Komisi Keluarga maupun Komisi Pendidikan dan juga pemerintah memberi perhatian untuk dapat diarahkan dalam suatu sinergi menjawab apa yang kita perlukan saat ini. Oleh karena itu, seminar seperti yang kita lakukan pada hari ini nanti perlu dilengkapi untuk menanggapinya tidak melulu sekadar dari kebijakan pemerintah dan juga mungkin perspektif kesehatan dan ilmu-ilmu sosial tetapi bagaimana tanggapan iman itu disinergikan,” katanya.
Peneguhan Paus Leo XIV
Mgr Yan pun berbagi peneguhan dari Paus Leo XIV yang disampaikan dalam Kongres Internasional II di Vatikan, “manusia jangan dilihat nilainya dari apa yang dibuatnya, tetapi dari martabat dirinya apa adanya, termasuk ketika ada dalam situasi ketergantungan. Menjadi tua bukan suatu kutuk tetapi suatu berkat”.
Menurut Mgr Yan, sekarang usia harapan hidup manusia itu bertambah. Tetapi usia orang di mana berada dalam sakit sebelum meninggal pun bertambah rata-rata menjadi 11 tahun. “Dan karena itu kita menjadi bagian dari apa yang harus menjadi inspirasi itu untuk melihat bahwa di dalam keadaan itu menjadi bukan suatu kutuk tetapi berkat. Dan orang tua diinjili tetapi juga menjadi penginjil atau misionaris. Kata-kata ini menjadi tugas yang berat ketika kita bicara tentang kesehatan mental terkait juga dengan situasi pastoral kita,” ungkap Mgr Yan.
Mgr Yan menyampaikan, kesehatan mental terkait dengan kesejahteraan emosional, psikologis, juga cara berelasi. Ia juga menyampaikan keprihatinan kesehatan mental anak-anak yang terpengaruh oleh banyaknya perceraian, “tidak tahu berapa ayah dan berapa ibu dalam satu keluarga, satu ibu dengan anak dari ayah yang berbeda dan seterusnya. Juga bagaimana mempengaruhi bagaimana mereka berpikir, merasa dan bertindak.”
Melalui seminar (webinar), Mgr Yan berharap bisa menemukan paket materi yang bisa digunakan di bidang pendidikan formal dan pelayanan pastoral keluarga. “Dan oleh karena itu seminar ini mengingatkan kita bahwa masih banyak hal yang harus dimasukkan di sana untuk melengkapi apa yang menjadi analisis di dalam hal yang terkait misalnya dengan orang-orang tua kita melihat ada keputusan-keputusan politis yang membuat situasi terbuang semakin dalam,” katanya.
Mgr Yan bercerita, dalam pertemuan kongres yang diikutinya, peserta dari Kanada sharing bahwa di tempatnya hukum positif mengizinkan orang untuk disuntik mati sesuai dengan keinginannya.“Itu jelas bertentangan nilainya dengan nilai yang kita anut,” katanya.
Mgr Yan juga melihat, paket-paket materi kesehatan mental untuk training for trainers (TFT) perlu disiapkan melalui kerja sama dengan beberapa pihak termasuk kementerian terkait. “Tetapi inspirasi-inspirasi kita yang berbasis nilai-nilai kristiani itu perlu tetap kita perhatikan terutama menyangkut seluruh jenjang kehidupan, bahwa manusia mempunyai martabat yang berharga dan suci. Dan bahwa hidup itu bermakna dan karena itu ditolak budaya membuang, dan yang diperlukan adalah budaya kehidupan dan budaya perjumpaan. Begitu juga pribadi manusia jangan diukur dari hanya segi manfaat atau kegunaan, tetapi sebagai ciptaan Allah yang berguna dalam dirinya sendiri,” ungkapnya.
Selain menghasilkan materi pelatihan acara itu diharapkan juga menghasilkan gerakan. “Gerakan ini berarti akan terus menerus,” katanya. Ia melihat, “belum ada satu keuskupan di dunia ini yang mempersiapkan suatu paket yang katakanlah sangat komplet tentang misalnya bagaimana menemani orang sepi dan seterusnya.”
Ia mengapresiasi webinar mental kesehatan yang menandakan kesehatan mental menjadi gerakan. “Artinya apa? Kita memulai dan kemudian akan menyempurnakannya di dalam perjalanan,” katanya.
Beberapa negara, sambungnya, sudah memulai sejak 5 tahun yang lalu dan sekarang sudah terlihat hasilnya. Meski demikian, menurutnya, negara-negara itu tetap memperhatikan adanya unsur-unsur budaya yang tak tergantikan di masing-masing negara. “Di mana banyak orang berusaha untuk memberikan nilai itu sebagai contoh seperti yang kita lihat dari budaya Timur baik India, maupun juga China, Tiongkok, itu wisuda para siswa-siswi tidak lagi dilakukan dengan pawai keliling kota, tetapi anak-anak itu bersujud pada orang tuanya dan itu sebagai ungkapan terima kasih,” katanya. Dengan penghormatan pada orang tua, meski usia makin bertambah, di sana ada unsur keterlibatan orang tua. Dan diharapkan penghormatan itu tetap menjadi nilai yang tidak hilang dari anak-anak kepada orang tua.
Mgr Yan menegaskan, perlunya persiapan jangka panjang dan berkesinambungan untuk mempersiapkan pastoral kesehatan mental melalui kerja sama beberapa pihak termasuk kementerian terkait. “Seluruh rangkaian dari masa awal kehidupan sampai akhir kehidupan nanti akan dibantu oleh kerja sama kita semua untuk menghadapi apa yang disebut sebagai kesehatan mental itu,” katanya.
