Pentingnya Sinodalitas Dalam Menyiapkan dan Menjalankan Program Pelayanan Pastoral
Ardas dan Nota Pastoral ini sudah saya promulgasikan atau saya tetapkan, saya canangkan pada tanggal 7 Oktober yang lalu dan kita berlakukan mulai 1 Januari 2026 sampai 31 Desember 2030. Demikian kata Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang (KAS), Mgr Robertus Rubiyatmoko dalam Temu Pastoral daring yang membahas “Arah Dasar (Ardas) IX” dan “Nota Pastoral (Nopas) dan Panduan Implementasi Arah Dasar IX tahun 2026-2030 Keuskupan Agung Semarang” “Menjadi Gereja yang Bahagia, Menginspirasi dan Menyejahterakan”, 17 Oktober 2025.
Tujuan pembelajaran Ardas IX dan Nopas ini, menurutnya, adalah supaya Umat Allah KAS semua semakin memahami isi Ardas dan Nota Pastoral ini sehingga akhirnya bisa merealisasikannya, terutama dalam menyusun program pelayanan pastoral untuk 5 tahun ke depan. Banyak hal yang diterobos dalam Nota Pastoral ini. “Nota Pastoral yang sedapat mungkin implementatif dalam arti membantu nanti paroki-paroki dalam menyusun program pelayanan pastoral. Maka ini menjadi salah satu yang sangat menguntungkan untuk kita sekalian,” kata Mgr Rubiyatmoko.
Ardas IX dan Nota Pastoral tersebut, menurutnya, akan berlaku selama 5 tahun ke depan “menjadi semacam pedoman, acuan atau katakanlah rambu-rambu bagaimana kita menyusun atau melaksanakan karya pelayanan pastoral bagi umat beriman.”
Selanjutnya, menurut Mgr Rubi, Ardas dan Nota Pastoral ini akan dijalankan oleh semua warga Keuskupan Agung Semarang. “Setiap dan semua warga KAS baik klerus yang tertabis entah itu imam, diakon; anggota hidup bhakti baik itu yang religius maupun sekular, para biarawan-biarawati, maupun juga awam yang praktis sebagian besar dari anggota Gereja KAS ini , dan juga semua orang Katolik yang sedang berada di wilayah KAS ini entah untuk kurun waktu yang cukup panjang maupun singkat. Mereka semua pun juga kita harapkan ikut melibatkan diri dalam dinamika Keuskupan Agung Semarang ini. Selain itu juga lembaga-lembaga Katolik di KAS baik itu kevikepan, Dewan Pastoral Keuskupan, paroki, sekolah, universitas, rumah sakit, dan karya-karya sosial yang lain. Ruang lingkupnya kita batasi pada karya pelayanan pastoral di seluruh wilayah keuskupan ini,” katanya menjelaskan.
Ia menjelaskan sifat Ardas IX dan Nota Pastoralnya yang menjadi dokumen pendamping seperti “undang-undang”. “Katakanlah ya “undang-undang partikular” yang bersifat teritorial. Partikular artinya hanya berlaku untuk wilayah Keuskupan Agung Semarang ini sebagai penjabaran konkret dari RIKAS dalam program 5 tahunan. Dan melalui nota pastoral kita akan dibantu untuk menyusun program layanan, program strategis selama 5 tahun ke depan. Di sana ada banyak hal-hal yang sangat teknis, strategis sekali. Berbeda dengan yang lalu-lalu, nota pastoral kali ini sungguh-sungguh membantu kita untuk menyusun program. Kita tinggal mengikutinya, merumuskannya, tentu sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.Dimungkinkan adanya penyesuaian dengan situasi konkret yang dihadapi baik oleh paroki maupun lembaga-lembaga terkait,” terangnya.
Ardas IX, lanjut Mgr Rubi, merupakan kelanjutan tak terpisahkan dari RIKAS, karena memang merupakan penjabaran dan turunan dari RIKAS. Ardas IX juga tak terpisahkan dari Ardas-Ardas yang lain, baik dua yang sebelumnya maupun satu setelahnya. “Karena itu Ardas IX ini harus dibaca dan dipahami dalam kaitannya dengan dua Ardas sebelumnya: Ardas VII dan VIII, dan juga Ardas X nanti yang akan kita susun pada waktunya,” katanya. Mengapa dikaitkan satu sama lain? “Karena semuanya merupakan tahapan dalam rangka mewujudkan mandat RIKAS, yakni terwujudnya peradaban kasih di masyarakat Indonesia yang beriman, bermartabat, dan sejahtera,” jelas Mgr Rubi.
Dasar Teologis
Mgr Rubi menegaskan, dari Ardas dan Nota Pastoral, kita bisa melihat ke mana arah dan orientasi yang ingin kita tempuh, yang ingin kita jalani.
Lebih lanjut Mgr Rubi menyampaikan dasar teologisinya terkait Ardas IX dan Nota Pastoralnya. “Pendasaran teologisnya bisa kita katakan demikian, bahwa melalui baptisan, melalui sakramen baptis kita semua mengalami penebusan Kristus dan menjadi bagian dari Umat Allah, menjadi bagian dari Gereja, khususnya Gereja keuskupan Agung Semarang. Dan inilah kebahagiaan yang mesti kita syukuri dan kita hidupi, mesti kita syukuri dan hidupi dengan membangun persahabatan yang makin erat dengan Kristus. Maka seperti jemaat perdana sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 2:41-47, mereka setiap hari berkumpul bersama-sama untuk mendengarkan sabda, mendengarkan pengajaran para rasul, untuk memecahkan roti dan bersama berdoa. Ini menjadi sarana kita untuk membangun persahabatan yang makin dekat dengan Kristus sebagai bentuk syukur atas karunia penebusan,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, kebahagiaan ini perlu dipertahankan dan diperjuangkan sekaligus dibagikan kepada semua orang yang kita jumpai. “Tentu harapannya agar semakin banyak orang yang mengalami karya penyelamatan Allah dalam Kristus itu. Semakin kita wartakan, semakin kita bagikan, harapannya semakin banyak orang yang percaya kepada Kristus dan mengalami keselamatan-Nya. Kebahagiaan sebagai paguyuban Umat beriman diharapkan mampu menginspirasi atau menggerakkan orang lain. Dan ini akan terjadi manakala Gereja bisa sungguh-sungguh menjadi tanda dan teladan yang menumbuhkan harapan serta membaharui semangat hidup bersama,” tuturnya.
Menurutnya, kehadiran Gereja di tengah masyarakat mesti mampu menggerakkan. “Maka berulang kali dikatakan, mesti menjadi pengambil langkah pertama untuk berbagai macam kebaikan termasuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat,” katanya.
Mgr Rubi juga menyampaikan, tindakan yang sangat konkret terkait berbagi kebahagiaan di masa sekarang ini adalah mengupayakan kesejahteraan yang berkeadilan bagi semua orang terutama mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel (KLMTD).
“Kita paham,tahu bahwa akhir-akhir ini situasi ekonomi masyarakat kita tidak baik-baik saja. Dan kita sudah berjuang semaksimal mungkin melalui berbagai macam apa ya dana sosial yang kita bagikan kepada mereka yang membutuhkan. Meskipun demikian, masih ada begitu banyak dana sosial yang masih belum tersalurkan.
Maka saya mengajak seluruh umat beriman khususnya melalui paroki-paroki nantinya bagaimana menyalurkan dana sosial yang ada itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita khususnya yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel,” ajaknya. Mgr Rubi berharap, perhatian pada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir sungguh-sungguh menjadi gerakan bersama di seluruh keuskupan.
Mgr Rubi juga menekankan bahwa dalam penyusunan dan pelaksanaan program pelayanan pastoral mesti ada semangat dasar yang dihidupi. “Yakni pelayanan pastoral ini dihayati sebagai tanda kasih dan ungkapan syukur kita atas penebusan Kristus yang kita terima.
Semua demi kemuliaan Allah dan semua demi pembangunan Gereja-Nya. Bukan untuk mencari diri sendiri, bukan untuk mencari keuntungan diri dan kelompok, namun sungguh-sungguh semua demi kemuliaan Allah. Kalau ini bisa kita hidupi, kita perjuangkan, dan kita hayati, maka yang ada adalah gairah dan sukacita kendatipun harus menghadapi banyak kesusahan, kesulitan, dan kelelahan. Namun kalau semangat ini tidak ada, maka yang ada adalah keluh kesah dan mungkin juga kekecewaan yang luar biasa,” ungkapnya.
Selain menggarisbawahi pentingnya semangat dasar, penyusunan dan pelaksanaan program pelayanan pastoral mesti didasarkan pada semangat yang realistis. “Artinya kita membuat program yang sesuai dengan prioritas kebutuhan dan kemampuan,” katanya.
Mgr Rubi berharap, program pelayanan bisa dilaksanakan secara riil. “Bukan mengejar banyaknya program namun akhirnya terbengkelai, nggak terlaksanakan, seperti kerap kali terjadi. Programnya begitu banyak, bagus-bagus namun yang terealisasi sangat sedikit sekali,” katanya.
Namun, Mgr Rubi juga mengingatkan supaya tidak membuat program pelayanan yang seminimal mungkin lalu menjadi minimalis. “Istilah saya membuat program yang sak madya. Sak madya itu artinya ya yang iso tak tandangi, bisa saya lakukan dengan seoptimal mungkin dengan baik sesuai dengan kebutuhan yang ada,” katanya.
Mgr Rubi juga mengingatkan pentingnya sinodalitas dalam menyiapkan program pelayanan. “Selain itu juga berani berproses dalam semangat sinodalitas Gereja. Berulang kali tadi kita dengarkan bagaimana sinodalitas menjadi semangat kebersamaan kita. Lungguh bareng, berani untuk meninggalkan diri sendiri, namun berani mendengarkan orang lain. Rembugan bareng, mendengarkan, mencoba memahami pemikiran orang lain yang mungkin jauh lebih baik dari yang kita pikirkan, dan memutuskan bersama, mutuské bareng. Dan yang terakhir yang sangat penting sekali adalah nandangi bareng, menjalankan atau melaksanakan bersama-sama. Kadang-kadang kita berembug bareng, diskusi bareng, mutuské bersama, namun yang nandangi, yang melaksanakan silakan. Lah ini yang kerap kali menjadi kisruh. Kisruh. Wah ngomong tok ora nyambut gawe (Wah, hanya bicara tidak bekerja). Inilah yang menjadi salah satu tantangan kita,” katanya. Menurutnya, sinodalitas hanya akan terwujud kalau kita sungguh-sungguh selalu berjalan bersama-sama dari tahap awal sampai akhir nanti.
Yang penting untuk diperhatikan lebih lanjut dalam penyusunan program menurut Mgr Rubi adalah sinergi. “Bagaimana kita membuat program-program yang bisa kita laksanakan bersama-sama, melibatkan banyak pihak antar tim pelayanan paroki, antar komisi di kevikepan dan juga antar unit pengembangan pastoral yang ada di keuskupan kita ini. Semua ditandangi bersama. Syukur-syukur bisa bersinergi sehingga jauh lebih melibatkan banyak orang dan sekaligus bisa lebih optimal dalam pelaksanaannya,” ungkapnya.
Pada bagian akhir, Mgr Rubi berharap, semua itu bisa ditanggapi bersama-sama dalam penyusunan program pelayanan baik yang bersifat rutin dan maupun strategis. Mgr Rubi berharap, akhir Desember 2025 ,semua program sudah tersusun dengan baik, bisa disahkan sehingga mulai tahun baru sudah bisa dilaksanakan. “Kita mencoba memajukan proses Tepas ini yang online dan offline kita padatkan, kita rapatkan supaya kita mempunyai waktu yang cukup longgar untuk menggodok program-program kita dengan harapan awal tahun semua sudah siap. Memang dalam diskusi, mungkin membutuhkan waktu banyak. Namun kita coba mudah-mudahan harapan ini bisa terwujud. Tentu saja selalu dimungkinkan adanya perubahan rancangan anggaran dalam perjalanan khususnya setelah nanti mendapatkan pencermatan dari Tim Dana Solidaritas paroki dan juga pencermatan dari Dewan Pastoral Harian Keuskupan Agung Semarang. Mudah-mudahan dengan pencermatan itu kita dibantu untuk menjadi semakin riil, semakin realistis dalam membuat program. Ini yang saya harapkan semoga bisa kita wujudkan bersama-sama,” harapnya.
