Petani “Ngudi Makmur” Wedi Bersekutu dalam Pertanian

Angin bertiup, kadang pelan, kadang kencang di Sengon Kerep, dekat kawasan Taman Doa Maria Wahyu Ibuku Giri Wening, Sampang, Gedang Sari, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Februari lalu. Sinar matahari bersinar cerah siang itu. Cahayanya menembus sela-sela dedaunan yang bergoyang lembut. Sesekali terdengar deritan bambu dari rumpun bambu di pinggir lahan milik warga. Sementara itu beberapa petani berkumpul di sudut pekarangan warga. Petrus dan Alexius Andoyo asyik mencampur bahan-bahan organik seperti kotoran hewan, sekam, dedaunan, bakteri dan tanah. Di sekelilingnya petani-petani yang lain menyimak dengan seksama. Sesekali di antara mereka melontarkan candaan. Seketika itu juga, candaan tersebut direspons oleh petani yang lainnya. Suasana pun menjadi ramai penuh kegembiraan dan derai tawa. Siang itu, mereka sedang praktik membuat kompos. Itu salah satu aktivitas para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Ngudi Makmur yang didirikan di Paroki Santa Perawan Maria Bunda Kristus Wedi, Klaten.

Siang itu Romo Paroki Wedi, Basilius Edy Wiyanto, Pr turut mendampingi pertemuan itu. Sesekali ia bertanya seraya menghidupkan suasana tentang cara-cara membuat kompos. Petrus pun segera menghentikan aktivitas mengaduk bahan kompos dan sontak menyampaikan cara-cara membuat kompos secara urut sesuai yang sedang dipraktikannya.

Romo Edy melihat, dunia pertanian saat ini diwarnai dengan keprihatinan dan tantangan yang tak mudah. Selain teknik pertanian yang mesti ditingkatkan, petani juga mengalami permasalahan pasca panen di antaranya adalah rendahnya harga jual produk pertanian. Sementara itu, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan juga telah menurunkan kualitas tanah pertanian. Dalam kondisi itulah, petani perlu mendapatkan pendampingan. Salah satunya adalah dengan membentuk paguyuban supaya di antara para petani itu bisa saling meneguhkan. Selain untuk merekatkan persaudaraan dan meningkatkan ketrampilan bertani, paguyuban itu juga menjadi sarana berbagi ilmu pertanian pada yang lain.

Sudah punya kelompok tani, tapi saya menantang jangan hanya nama. Namun, punya praktik baik tentang pertanian dan peternakan itu dibagi kepada yang lain. Jadi, ilmunya tidak diambil sendiri. Berbagi dengan orang lain,” katanya pada suatu pertemuan di rumah warga setelah praktik membuat kompos.

Senada dengan Romo Edy, pendamping petani, Priyo Djatmiko mengatakan dalam kesempatann itu, ilmu itu untuk dibagi. “Kalau Anda punya ilmu, ilmu itu untuk ditularkan karena ilmu itu bukan dari siapa-siapa, ilmu itu dari Tuhan,” katanya.

Ia pun berkisah tentang pengalamannya ketika membawa bibit jeruk dari Berastagi, Sumatera Utara untuk ditanam di Klaten. Oleh warga setempat, usaha itu dianggap akan gagal karena kondisi di Klaten yang adalah dataran rendah tidak sama dengan di Brastagi yang pegunungan membuat jeruk itu tidak bisa tumbuh dengan baik. Jeruk bisa mati. Kalaupun hidup, masam rasanya.

Namun, Priyo bertekad untuk mempelajarinya. Ketika sampai Klaten, ia pun menanam dan memperlakukan jeruk itu sesuai dengan kondisi asalnya. Dan ternyata hasilnya sangat memuaskan. Ia menyadari itu semua karena peran Tuhan yang membuatnya mencari cara untuk menghasilkan jeruk yang baik.

Pengalaman yang sama ia dapatkan juga ketika membudidayakan tanaman jagung. Biasanya satu batang akan menghasilkan satu tongkol jagung. Namun, ia menemukan cara membuat satu batang bisa menghasilkan dua tongkol jagung. Menurutnya, kemampuan manusia untuk membuat semua itu berasal dari Tuhan. Manusia tinggal berkreasi sedemikian rupa. Oleh sebab itulah, ia merasa bahwa ilmu sebisa mungkin untuk dibagikan kepada yang lain.

Dalam pengalamannya mendampingi petani, Priyo menemukan satu permasalahan yang mendera petani adalah  tanah pertanian yang bersifat asam. Tanah seperti ini menurunkan kualitas hasil pertanian. Hal itu, menurutnya, disebabkan oleh penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.

Melihat kondisi itu, Priyo pun mendorong petani untuk berlatih dan bisa membuat pupuk kompos serta menggunakannya dalam pertaniannya. Menurutnya, dalam pupuk kompos,  bahan-bahan organik seperti kotoran hewan, sampah organik, dedaunan, maupun arang sekam itu disederhanakan atau diurai sehingga bisa terserap menjadi nutrisi bagi tanaman.

Kotoran hewan seperti sapi, kambing maupun ayam sangat potensial untuk menjadi bahan pupuk. “Namun, jangan langsung disebar ke tanaman, karena dia akan berproses menghasilkan panas dan bisa merusak akar tanaman,” katanya. Kotoran hewan itu harus diolah terlebih dulu menjadi kompos yang benar-benar terurai dengan baik.

Kepada paguyuban tani, Priyo pun berpesan, ketika bisa menghasilkan pupuk yang banyak, paguyuban sebaiknya tidak menjual pupuk tersebut kepada petani yang lain. Ia memiliki pertimbangan, jika hal itu dilakukan, petani yang lain akan memilih membeli daripada membuat sendiri. Akibatnya dia tidak bisa membuat kompos sendiri secara mandiri. Ilmu tidak terdistribusi.

Priyo berharap petani bisa membuat pupuk secara mandiri dengan bahan-bahan yang tersedia di sekitarnya. “Mulai hari ini kita harus berjanji tidak akan membuang kotoran hewan langsung ke tanaman. Itu haram hukumnya. Ini hukum ke-11, di luar sepuluh perintah Allah,” katanya memberi semangat kepada petani. Priyo juga memberitahu petani tentang pemanfaatan jamur Trichoderma yang sangat baik bagi tanaman namun mudah diperoleh yaitu di sekitar rumpun bambu.

Selain kotoran hewan, Priyo memotivasi petani untuk memanfaatkan daun-daunan yang ada di sekitarnya. Menurutnya, daun-daun yang bertekstur kasar memiliki kandungan kalium fosfat yang sangat tinggi. Itu sangat dibutuhkan oleh tanaman-tanaman buah. Yang termasuk daun jenis itu adalah jati, bambu, maupun munggur.

“Jadi, daun-daun itu jangan dibiarkan teurai sendiri, dikumpulkan jadi satu dengan kotoran hewan. Itu sudah sangat lengkap. Tidak usah memakai bahan kimia. Daun-daun jangan sampai dibakar. Nah, ini hukum ke-12. Tidak boleh dibakar. Karena kalau dibakar itu menjadi abu,” katanya. Sedangkan abu, menurutnya, bersifat alkali (basa). Meski abu bisa meningkatkan kadar pH tanah, namun, kalau terlalu banyak bisa membunuh bakteri, termasuk bakteri baik.

Ia menambahkan, kalau membakar kayu, sekam atau daun usahakan hanya sampai menjadi arang. Arang, menurutnya, bisa membuat media tanam menjadi porus.

Lebih lanjut Priyo mengatakan, tanah pegunungan berkapur bisa untuk budidaya tanaman. Tanah berkapur itu seperti dolomit yang biasa dipakai dalam dunia pertanian. Karena biasanya tanah itu ada top soil-nya yang bisa ditanami di bagian atas. Ia pun memberi kiat dengan cara menggalinya dari top soil sampai terkena bagian kapur. Dari batas tanah kapur itu, digali lagi sampai 50 cm. Selanjutnya, lubang itu disiram cuka dan dibakar.  Hal itu dilakukan supaya lapisan kapur itu remah dan bisa menjadi tempat akar tanaman. Kapur itu telah menjadi asam batu. “Kalau dibikin asam batu akar lebih cepat menyerap. Itu sangat dibutuhkan,” katanya.

Priyo menggerakkan petani supaya juga membudidayakan tanaman-tanaman yang punya nilai jual tinggi dan dibutuhkan pasar.

Gerakan pendampingan petani Ngudi Makmur tidak lahir begitu saja. Beberapa saat setelah diutus untuk melayani di Paroki Wedi, Romo Edy berkeliling. Dalam salah satu kunjungannya ia terkesan dengan area sawah. Sawah di Kecamatan Wedi masih luas. Masih banyak orang yang menjadi petani. Ketika menatap sawah, tiba-tiba muncul pertanyaan dalam hati, “Wah, Sawah, apa kamu pernah disapa Gereja?” Dari pertanyaan itulah bergulir pembicaraan dan gerakan pendampingan petani dan kemudian bernama Ngudi Makmur. “Jejaring dalam pertanian itu sangat penting,” ujarnya.

Secara berkala mereka bertemu untuk sharing pengetahuan dan berbagi pengalamannya dalam pertanian dan peternakan. Lewat grup media sosial pun mereka berbagi informasi dan sharing masalah tentang pengalaman bertani dengan mengirimkan foto-foto temuan di lahan garapannya. Alexius Andoyo merasa paguyuban itu telah memperkaya pengetahuannya dalam dunia pertanian. Bahkan lahannya pun menjadi “laboratorium” dalam pertanian untuk mencoba aneka model pertanian. Ia pun mengamati dan mencatat perkembangan maupun hambatan yang ditemui dan membuat perbandingan dengan model pertanian yang lainnya. Dari pengamatannya itu, ia bisa mencari model dan cara terbaik dalam bertani.

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *