
Walaupun dibilang panas tapi sejatinya Kota Semarang itu hangat seperti pelataran gereja dan terbuka bagi para peziarah. Demikian kata-kata Walikota Semarang, Agustina Wilujeng saat memberi sambutan dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-85 Keuskupan Agung Semarang (KAS) di Stadion Jatidiri, Semarang, 29 Juni 2025.
“Bagi kami, kota tidak hanya menjadi titik temu sebagai budaya dan kepercayaan, tetapi juga tempat di mana iman kita pada sore hari ini menemukan jalan untuk bertumbuh. Sore hari ini kita memperoleh undangan untuk kembali menyadari jati diri kita di Stadion Jatidiri ini sebagai komunitas peziarah dengan kesederhanaan, dengan apa adanya yang dipanggil untuk menjadi berkat bagi dunia,” demikian kata Agustin.
Menurutnya, 85 tahun bukan sekadar deretan angka dalam kalender. Namun, 85 tahun adalah ziarah panjang yang bermula dari benih yang ditanam oleh para misionaris, disirami oleh semangat penginjilan Romo Van Lith SJ di Muntilan. “Dari benih itulah tumbuh seorang murid bangsa yang menjadi gembala sulung Gereja Katolik Indonesia Mgr Albertus Soegijapranata, SJ. Ziarah penggembalaan berlanjut kepada Kardinal Yustinus Darmoyuwono, diteruskan Kardinal Julius Darmaatmadja, dan diestafetkan kepada Kardinal Ignatius Suharyo, Mgr Johannes Pujasumarta, dan kini gembala Keuskupan Agung Semarang berlanjut kepada Mgr Robertus Rubiyatmoko. Kita patut bersyukur. Tepuk tangan untuk Mgr Robertus Rubiyatmoko. Dan kita terus selalu berdoa untuk kesehatan dan kesuksesan semua perencanaan yang dibuat oleh seluruh imam dan gembala di Keuskupan Agung Semarang.
Kita patut bersyukur, Keuskupan Agung Semarang, iman dan perutusan imam tumbuh subur sehingga melahirkan tiga sosok kardinal bagi Gereja Katolik Indonesia. Inilah buah iman yang berakar kuat dan berbuah lebat. Kita berdoa agar pada waktunya Mgr Rubiyatmoko pun menerima putusan serupa. Amin!” kata Agustin.
Agustin pun menyoroti tema 85 Tahun KAS “Bersama Berziarah, Berbagi Berkah”. Menurutnya, tema yang diangkat pada tahun ini begitu indah dan menggetarkan. Baginya, tema tersebut tidak hanya mengajak kita menoleh ke belakang tetapi juga menatap jauh ke depan sekaligus menjadi peneguh bagi dirinya yang saat ini dipercaya sebagai Walikota Semarang.
“Gereja bukan benteng, benteng yang diam dan sombong. Gereja adalah bahtera yang mengarungi samudra, sebuah komunitas yang berjalan dinamis. Bagi saya pribadi, tema ini menjadi peneguh iman sebagai Walikota Semarang, kepercayaan warga Kota Semarang. Ini bukan semata posisi struktural, tetapi bagian dari perutusan iman. Bagi saya kota ini adalah ladang Tuhan, medan ziarah, tempat perutusan bagi saya untuk berjalan bersama masyarakat, seluruh masyarakat tidak peduli Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Muslim atau agama kepercayaan sekalipun. Tugas saya adalah mendengarkan mereka, melayani dengan kasih dan membagikan berkat keadilan sosial, membagikan pendidikan yang berkeadilan, mensejahterakan bagi semua tanpa membedakan suku, agama, golongan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, dalam budaya Jawa kita mengenal “urip mung sak dermo mampir ngombe yang berarti hidup hanya sekedar singgah sejenak untuk minum. “Namun mampir ngombe bukan sekadar transit pasif, melainkan kesempatan untuk menyegarkan diri agar mampu melanjutkan ziarah menuju kekekalan. Kita tidak bisa memilih berapa lama kita mampir. Tetapi kita bisa memilih untuk apa kita hadir,” katanya. Masa singkat itu, menurutnya, digunakan untuk menjadi cahaya, garam, dan berkat. “Menjadi berkat, berkah kang nyawiji, becik tumraping liyan,” imbuhnya.
Agustin pun berharap, Keuskupan Agung Semarang terus menjadi Gereja yang terbuka dan inklusif, tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi bagi seluruh bangsa. “Semoga Keuskupan Agung Semarang menjadi pelopor dalam membangun pertobatan ekologi, serta menjadi penyuara dan pengingat hati nurani bagi kehidupan berbangsa,” tuturnya.