
Kisaran dua puluh lima tahun silam, saat menjadi “misionaris domestik” di Seminari Tinggi St. Petrus Sinaksak, Pematangsiantar, Keuskupan Agung Medan, Timin pertama kalinya naik pesawat unik. Mengapa unik? Pesawatnya kecil. Penumpangnya cuma lima belas orang saja. Timin sebagai penumpang bahkan bisa melihat pilot dan kopilot yang menyetir pesawat.
Kala itu, Timin terbang dari Bandara Polonia Medan menuju Lhokseumawe di Daerah Istimewa Aceh. Berangkat dan pulang naik pesawat yang sama.
Belum lama berselang, Timin mengalami hal serupa. Saat Timin terbang dari Balikpapan menuju Sangatta, Tanjung Bara, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kali ini, jumlah penumpang hanya sebelas orang.
Dalam perjalanan itu, semua penumpang harus mematikan total perangkat elektronik HP. Tak cukup dan tak boleh hanya menggunakan mode pesawat melainkan mati total. Karenanya, Timin tak bisa merekam area dan pemandangan yang sangat bagus. Suara super bising juga terdengar dari bunyi mesin pesawat.
Dalam perjalanan sekitar 50 menit, Timin hanya bisa menahan nafas sambil tak henti-hentinya berdoa. Syukurlah Timin mendarat dengan selamat. Meski menegangkan bikin deg-degan sepanjang jalan, namun asyik juga menikmatinya dalam kepasrahan. (Timin)