Perjalanan bersama dengan persekutuan, partisipasi dan misi, tentu memerlukan cara-cara bernegosiasi. Bagaimana perjalanan bersama itu dapat dipersiapkan, dijalani dan direfleksikan dengan cara-cara bersama pula. Sinodalitas tidak berlangsung di dalam ruang hampa atau kevakuman, melainkan di dalam konteks tertentu. Demikian Prof. Francisia Saveria Sika Ery Seda mengawali paparannya dalam webinar “Bagaimana Ajaran Sosial Gereja Mendasari Kita di Tengah Kemajuan IT Era Society 5.0?” di kanal YouTube Komsos Keuskupan Agung Semarang dan Komisi Komsos KWI, 7 Agustus 2024.
“Dan penting untuk kita sadari sekarang ini bahwa konteks dunia tidak terlalu baik pada saat kita sekarang hidup dalam konteks situasi pasca pandemi Covid-19, adanya konflik lokal dan internasional, meningkatnya dampak perubahan iklim, pengungsi, para pengungsi yang tidak semua diterima dengan baik, berbagai bentuk ketidakadilan, rasisme, kekerasan, penganiayaan, penderitaan anak-anak di bawah umur karena pelecehan seksual dan penyalahgunaan kekuasaan, serta ledakan kesenjangan ekonomi dan termasuk yang sekarang kita bahas mengenai tantangan dari arus digital,” terangnya dalam topik “Sinodalitas dalam Arus Digital Menurut Perspektif Sosiologi”.yang dibawakannya.
Menurutnya, konteks yang cukup kompleks ini menjadi sangat penting untuk disadari bersama. Ada pembeda yang amat jelas antara manusia dengan teknologi. Manusia mempunyai kesadaran. “Dan itu menjadi sangat penting bagi kita bersama untuk menyadari bahwa kesadaran ini bukan hanya membedakan kita dengan teknologi, tetapi juga kita lebih menyadar, bahwa konteks kita sekarang hidup itu sedang tidak baik-baik saja. Konteks ini cukup kompleks dan sampai sekarang masih terus berlangsung pada level lokal, nasional maupun global. Artinya secara lokal, masing-masing keuskupan tentunya termasuk Keuskupan Agung Semarang dan juga secara nasional, Gereja Katolik Indonesia dan secara global, Gereja Katolik semesta atau universal,” imbuhnya.
Menurutnya, secara sosiologis, semua itu bisa dianalisa dalam beragam level analisa. Yang pertama, level analisa mikro, yaitu relasi antar individu dengan kelompok. Kedua, level analisa meso, yaitu relasi pada lembaga institusi dan organisasi. Dan yang ketiga, level makro, yaitu relasi secara struktur dan kultur di dalam masyarakat di mana kita hidup.
“Jika masyarakat khususnya umat Katolik KAS, Keuskupan Agung Semarang bisa menyesuaikan diri dengan prinsip sinodalitas, maka hal itu diharapkan bisa menjadi gambaran dan bagian dari mozaik sinodalitas Gereja Katolik Indonesia yang kontekstual dan juga beragam,” sambungnya.
Menurutnya, perbedaan atau keragaman konteks antar keuskupan perlu dihadapi dengan bijaksana dan cerdas, sehingga semangat sinodalitas tetap bisa menjadi prinsip dasar yang menjadi roh yang menjiwai gerakan bersama sinodalitas ini.
Mengenai sinodalitas Gereja Katolik, menurutnya, Paus Fransiskus mengundang Gereja Katolik universal untuk berjalan di jalan sinodalitas dalam menghadapi milenium ketiga. “Jalan sinodalitas adalah perjalanan dan refleksi bersama yang memampukan Gereja untuk belajar dari pengalaman beragam proses yang dapat membantu Gereja untuk menghidupi persekutuan, mencapai partisipasi dan membuka diri terhadap misi,” kata perempuan yang berkarya di Sekretariat Departemen Sosiologi – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.
Menurutnya, sinodalitas merupakan modus vivendi (cara hidup) dan modus operandi (cara bergerak) ketika persekutuan umat Allah Gereja secara bersama berperan serta aktif dalam misi penginjilan.
“Di dalam sinode ada ikatan antara sensus fidei umat Allah dan fungsi magisterial para gembala sehingga kesepakatan penuh seluruh Gereja dalam iman yang sama dapat terwujud,” ungkapnya.
Menurut Ery, Gereja sinodal adalah tanda kenabian untuk mewujudkan bonum commune atau kebaikan bersama, tanda paling nyata untuk menjadi sakramen keselamatan universal seperti yang dikatakan di dalam Lumen Gentium artikel 48. Ia pun menjelaskan, tema sinode adalah persekutuan, partisipasi, dan misi. “Persekutuan berarti Allah mengumpulkan kita bersama dalam satu iman, kasih dan kesatuan Trinitas. Semua umat memiliki peran dalam pelayanan sebagai panggilan Tuhan. Partisipasi adalah proses yang dengannya seluruh umat Allah dalam keragaman dipanggil untuk berdoa, mendengarkan, menganalisa, berdialog, memberi pertimbangan dan usulan dalam membuat berbagai keputusan pastoral yang sesuai dengan kehendak Allah. Kita juga harus memastikan peran serta mereka yang terpinggirkan dan dikucilkan. Misi adalah dimensi misioner dari proses sinodal yang mendalam agar Gereja mampu melibatkan kesaksian yang lebih baik mengenai kabar gembira atau Injil sebagai ragi yang siap mewujudkan datangnya Kerajaan Allah,” terangnya.
Ery pun menyampaikan pertanyaan dasar yang perlu dijawab terkait proses sinodalitas ini. Pertama, bagaimana perjalanan bersama berlangsung di tingkat lokal sampai ke level universal, sehingga Gereja dapat mewartakan Injil?
Kedua, langkah-langkah apa yang dapat dilakukan dalam naungan Roh Kudus untuk berkembang menjadi Gereja sinodal?
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, menurutnya, kita perlu merujuk pada tujuan sinode, untuk mendengarkan sebagai umat Allah apa yang dinyatakan oleh Roh Kudus kepada Gereja.
Tiga proses Gereja Sinodal
Gereja sinodal ini, menurutnya, mencakup tiga proses. Ketiga proses itu adalah pilar mendasar dari Gereja sinodal dan memiliki relasi dinamis yang saling memperkaya satu sama lain. Yang pertama, semua anggota umat Allah yang sudah dibaptis dapat turut berperan aktif, khususnya mereka yang berisiko dieklusikan seperti kaum perempuan, disabilitas, pengungsi, migran, lansia, kaum miskin, remaja dan anak-anak, serta kelompok Katolik yang jarang atau tidak pernah mempraktikkan iman mereka. Kedua, proses yang sungguh sinodal adalah mendengarkan, discerment dan partisipasi. Yang ketiga, diperlukan beberapa sikap untuk membuat proses mendengarkan dan dialog partisipatif dalam suatu proses sinodal ini bisa diwujudnyatakan.
Sinodalitas dalam konteks arus digital
Berdasar penelitian yang dilakukan Romo Salto Deodatus, Imam Praja di Keuskupan Agung Jakarta dan sudah diterbitkan dalam buku “Gambaran Gereja di Era Digital” ditemukan bahwa kebaruan-kebaruan yang dimunculkan dari perkembangan teknologi digital membentuk ciri corak gambaran Gereja di era digital yang sifatnya hybride atau hibrida.
“Gereja hibrida yang dimaksud di sini adalah sintesa dari dua tegangan yakni antara Gereja sebagai persekutuan umat Allah secara aktual ini khususnya sebelum perkembangan teknologi digital dengan Gereja sebagai persekutuan umat Allah secara daring atau virtual yaitu sesudah perkembangan teknologi digital. Manusia dan masyarakat kontemporer yang terhubung ke internet bukanlah sosok fisik non digital atau digital. Baik individu pada tataran mikro maupun masyarakat pada tataran makro pada zaman digital adalah persilangan antar keduanya. Realitas virtual dan realitas aktual telah terus menyatu hingga hampir tidak bisa terpisahkan.
Gambaran manusia beriman Kristiani dan Gereja di era digital ini berciri corak hibrida. Percampuran teknologi berkembang semakin canggih dan kompleks, tetapi kebenaran iman tetaplah konsisten dalam hidup,” tegasnya.
Lebih lanjut Ery memaparkan, mengutip Dwight Jefferson “Terhubunglah Kerajaan-Mu atau Thy Kingdom Connected “, Romo Salto Deodatus dengan sangat baik menyatakan bahwa Gereja itu jauh lebih besar daripada sekadar jejaring secara sosiologis dan jejaring secara sosial sekarang ini dan di masa depan. “Persekutuan atau communio iman adalah karunia Roh Kudus yang bisa mengubah koneksi melalui internet menjadi suatu communio. Tantangan yang perlu dipikirkan dengan cermat adalah kita sebagai anggota persekutuan iman ini tidak mencampuradukkan antara media sebagai sarana dengan karunia Roh Kudus ini,” jelas Ery.
Menurut Ery, tiga proses Gereja sinodal berupa berperan aktif discernment, sikap mendengarkan serta dialog partisipatif dapat dijalankan melalui media teknologi digital yang dapat mempermudah koneksi atau keterhubungan di antara para anggota Gereja yang berjalan bersama. “Tetapi keterhubungan atau koneksitas ini bukanlah persekutuan umat Allah itu sendiri. Gereja adalah persekutuan umat Allah yang bisa difasilitasikan melalui teknologi digital. Tetapi jejaring sosial ini tidaklah sama dengan karunia Roh Kudus,” katanya memberikan pembedaan yang jelas.
Ery dalam kesempatan itu menjelaskan, Masyarakat (Society) 5.0 adalah suatu konsep yang ditumbuhkembangkan oleh Jepang yang mempunyai visi bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan transformasi sosial, ekonomi, budaya masyarakat menuju masyarakat yang lebih berkembang. “Pada era Masyarakat 5.0 ini diharapkan beragam tantangan dan permasalahan sosial di dalam masyarakat, dengan mengunakan inovasi di era revolusi industri 4.0 untuk peningkatan kualitas kehidupan manusia. Perlu adanya kesiapan sumber daya manusia atau SDM untuk menghadapi era Masyarakat 5.0 ini, khususnya SDM yang mempunyai kemampuan creativity, critical thinking, communication dan colaboration sehingga di dalam era Masyarakat 5.0 ini perlu diperhatikan dan dikembangkan Internet of Things atau yang disebut dengan IoT virtual atau Augmented Reality (AR), dan Artificial Intelligence (AI). Ketiga platform digital ini IoT, AR dan AI diharapkan dapat dioptimalisasikan di era masyarakat 5.0 ini, sehingga kualitas sumber daya manusia dapat terus mengalami perkembangan untuk masa depan yang lebih baik,” terangnya.
Ery pun menyampaikan pertanyaan lanjutan, adakah keterkaitan antara arus digital di era Masyarakat 5.0 ini dengan menggunakan perspektif sosiologi? Menurutnya, sinodalitas di dalam Gereja Katolik yang berdasarkan persekutuan, partisipasi dan misi dapat sangat diperkuat dengan adanya perkembangan teknologi digital khususnya di dalam konteks era Masyarakat 5.0 yang mengandalkan IoT, AR, dan AI.
“Penguatan ini di dalam arti saling keterhubungan atau connectivity di antara berbagai elemen di dalam Gereja sebagai persekutuan umat Allah. Saling keterhubungan atau interconnectivity ini dapat diperkuat melalui beragam platform teknologi digital seperti IoT, AR, AI, sehingga membentuk dan menumbuhkembangkan jejaring sosial. Tetapi catatan yang perlu dipertimbangkan dengan cermat oleh kita bersama adalah bahwa persekutuan umat Allah yaitu Gereja Katolik tidaklah sama dengan jejaring sosial ini,” tegasnya.
Menurutnya, tantangan di masa sekarang dan di masa depan adalah bahwa kita tidak mencampuradukan antara sarana media dengan persekutuan umat Allah atau Gereja Katolik itu sendiri.
“Thy Kingdom come, seperti yang dikatakan dalam ‘Doa Bapa Kami’ oleh Tuhan Yesus “Datanglah kerajaan-Mu” itu tidaklah sama dengan “Thy Kingdom connected”, yaitu bahwa Gereja menjadi jejaring, konektivitas,” pungkasnya.