FIBB di Zaman yang Berubah

Hidup Kristiani pertama-tama adalah mengalami pengalaman relasional bersama dengan Tuhan Yesus. Hal itu disampaikan oleh Romo Antonius Firmanto, Pr mengawali paparannya dalam Temu Pastoral Online Keuskupan Agung Semarang, 1 Oktober 2024.

“Bahwa dalam pengalaman relasional bersama dengan Tuhan Yesus itu, hidup Kristiani itu bukan sekadar agenda politik, bukan sekadar mitos, bukan sekadar ritual atau bukan sekadar hukum. Tetapi hidup Kristiani adalah sebuah pengalaman yang sungguh bersama dengan rekan-rekan seiman berjumpa dengan Yesus Kristus sendiri,” kata Romo  yang menjadi Dosen Teologi Dogmatik di STFT Widya Sasana Malang itu.

Menurutnya, perjumpaan dengan Bapa Suci Paus Fransiskus saat kunjungan apostolik ke Indonesia adalah instrumen terdekat kita untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan. “Dalam tradisi rasuli bahwa Bapa Suci adalah pemimpin pengganti Petrus sebagai wakil Tuhan di dunia,” katanya.

Menurutnya, pengalaman hidup Kristiani yang tertuang dalam tema “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah: Semakin Katolik dan Apostolik di Tengah Perubahan Masyarakat” secara teologis-pastoral digambarkan dalam lima domain. Pertama, pengetahuan iman. Menurutnya, historisitas iman Kristiani itu meminta kita untuk mau tidak mau belajar lebih dalam tentang iman Katolik. Iman Katolik itu sendiri, menurutnya, bukan sekadar ‘saya percaya’, tetapi iman yang bisa ditangkap dengan akal budi dan pertanggungjawaban iman.

Kedua, hidup yang berpusat pada pengalaman persekutuan yang mendalam dengan Kristus melalui pembacaan Kitab Suci maupun perayaan liturgi. Menurutnya, relasi dengan Yesus yang berdasar kesaksian para rasul, para gembala umat dari masa ke masa, pengalaman orang-orang Kristiani dari masa ke masa, dirangkum dalam sebuah pengalaman iman yang dirayakan dalam liturgi. “Sehingga pengalaman liturgi juga menjadi pengalaman bagi kita menjadi semakin Katolik di tengah perubahan masyarakat,” imbuhnya.

Ketiga, moral Katolik yang relevan dan signifikan. Menurutnya, pengalaman liturgia mesti diteruskan dalam praktik hidup diakonia. “Di dalam iman yang dirayakan dalam liturgia, mau tidak mau saksi Kristus itu ya diminta untuk hidup dalam moral Katolik yang relevan dan signifikan, agar ada beda antara orang Katolik dengan orang yang bukan Katolik,” katanya. Dengan demikian, menurutnya, kesalahen itu tidak sekadar kesalehan yang hanya ditampakkan  lewat hal-hal yang sifatnya asesori atau cuma tambahan, tetapi memang yang berasal, bersumber dari sebuah hidup yang memang diyakini sebagai sebuah cara hidup yang saya yakin sebagai cara saya untuk menjadi semakin serupa dengan Yesus karena tujuan kita adalah menjadi semakin serupa dalam Yesus.

“Kita hidup semakin sinkron dengan nilai-nilai Yesus. Dan dalam kesinkronan itu mau tidak mau dalam perspektif Keuskupan Agung Semarang pasti kita juga ingat ada yang disebut dengan peradaban kasih dan peradaban perjumpaan yang dibawa oleh Paus Fransiskus,” kata Romo .

Keempat, kesaksian hidup. Kita dipanggil untuk bersaksi menjadi orang Katolik. “Bagaimana menjadi semakin Katolik, semakin apostolik,” katanya.

Kelima, berada dalam persekutuan dan penerimaan terhadap “saudara yang hina”. “Jangan lupa bahwa ukuran panggilan kekudusan kita ada terletak dalam kebersatuan atau komunio dengan jemaat,” imbuhnya.

Menurut Romo , hidup Kristiani adalah sebuah pengalaman iman sekaligus juga peristiwa iman. “Kalau peristiwa iman artinya bahwa yang terjadi itu bukan cuma sekadar peristiwa mbledhos, njedor (meledak) selesai. Tapi karena sebuah peristiwa iman ketika habis mbledhos itu orang beriman bertanya apa yang terjadi ya? Lalu kemudian saling berkomunikasi seperti pengalaman Tiga Raja dari Timur. Mereka bertanya ada apa di Timur itu loh, bertanya sebagai sebuah peristiwa. Ketika mereka akhirnya bertanya ke Herodes, bertanya ke orang-orang, lalu mereka bertemu dengan Sang Timur, dengan Tuhan Yesus, lalu mereka mengalami sebuah perjumpaan-relasional dan mereka mempersembahkan hidupnya,” katanya.

Menurutnya, ada pengalaman iman, namun juga hidup Katolik sebagai sebuah peristiwa. “Ketika hidup Katolik itu sebuah peristiwa, maka pengetahuan bukan sekadar pengetahuan tetapi membuat saya semakin beriman. Berliturgi bukan cuma sekadar ikut aturan liturgi, tetapi membuat saya semakin senang,” katanya.

FIBB dalam Society 5.0

Romo Denny dalam kesempatan itu juga menyinggung Formasio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan (FIBB) di tengah perubahan masyarakat yakni Society 5.0. Menurutnya, projek yang besar itu tidak boleh hanya sekadar menjadi slogan, “tetapi membutuhkan beberapa perubahan dan aksi yang kemudian suka tidak suka harus dikerjakan”.

“Masyarakat, Society 5.0, itu cirinya adalah global, berpusat pada manusia, mengalami disrupsi, semuanya serba berubah dengan cepat, ada digitalisasi dan yang terakhir ada bermacam-macam perspektif (multifacet). Ketika melihat bermacam-macam perspektif, maka jelas mereka yang hanya mempunyai perspektif tunggal akan ketinggalan. Dan di dalam era revolusi 4.0, peristiwa harian itu menjadi bersifat volatil atau serba tidak menetap, kompleks dan ambigu,” imbuhnya.

Dalam situasi itu, Romo Denny melihat perlunya pendekatan pedagogi Kristiani yang memungkinkan perjalanan orang per orang dalam riwayat hidup masing-masing untuk sampai kepada perjumpaan dengan Yesus dalam dunia baru.

Terkait dengan upaya KAS dalam membangun FIBB dalam Society 5.0, Romo Denny melihat perlu ada jembatan yang menghubungkannya. “Kita punya aneka macam perjumpaan. Kita punya aneka macam latar belakang, dan itu dijembatani,” ungkapnya.

Ia menambahkan, dalam struktur sosial,  ketika yang terpinggirkan itu hendak dimasukkan ke dalam percakapan kita, maka orang itu harus kita link-kan (sambungkan).

Menurutnya, Kardinal Dikasteri untuk Evangelisasi Baru ketika Kongres Misi di Thailand, beberapa tahun yang lalu, mengatakan, tiap-tiap Gereja perlu mempunyai gambar Gerejanya masing-masing seperti arah dasar dan konsep hidup Gereja yang mau dituju oleh komunitas tersebut. Namun, menurutnya, ketika orang menggambar konsep Gerejanya, ia akan mendapat profil jemaatnya seperti halnya profil lulusan di dunia pendidikan. Dalam konteks Gereja, profil pun perlu dibangun dengan menyiapkan profil umat, tenaga pastoral, dan romo-romonya.

“Kalau saudara tahu bahwa nanti Romo, Saudara, Suster, Saudara, Bruder, Saudara bekerja di Keuskupan Agung Semarang ya, bagi saya ya jangan menabuh gendang dengan irama sendiri, ya menabuhlah gendang dengan gendangnya Keuskupan Agung Semarang,” katanya.

Kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia, menurut Romo Denny, membawa kesadaran baru bagi Gereja-gereja. Perjumpaan dengan Bapa Suci membuatnya bertanya dan berpikir ulang tentang wajah Gereja yang revolusioner.

“Jangan-jangan kita ini terjebak dalam apa yang disebut kita hanya mengerjakan bisnis seperti biasanya,” katanya.

Padahal menurutnya, Bapa Suci berpikir masing-masing dari kita adalah misionaris dan utusan. “Yang namanya utusan kan gak bisa cuma berpikir seperti biasanya,” katanya. Bapa Suci, menurutnya, mau menampilkan bahwa tiap-tiap orang itu diterima, dikasihi, diampuni, dan didukung dalam menghayati hidup yang baik.  Dalam situasi itu, Romo Denny, menyampaikan perlunya paroki yang menampakkan hospitalitas rumah sebagaimana  kata parokia berasal dari kata yang berarti orang-orang yang ada di pengasingan dan juga berarti rumah. “Jemaat kita pertama di dalam zaman rasuli adalah jemaat yang berpusat di sebuah rumah, maka pastoral ministry adalah usaha menampakkan hospitalitas rumah,” ungkapnya.

Paulus, sambungnya, menyapa tokoh-tokoh umat dan jemaat dengan kata sapaan salam yang memancarkan kehangatan rumah. Dalam titik ini, katanya, demi menciptakan kehangatan “rumah”, maka pastoral planning dibuat untuk membuat jalan dan jembatan agar Allah bisa bertemu dengan manusia-manusia.

Konsep ini juga dikenali dalam konsep inkarnasi Allah. “Pengalaman inkarnasi itu pengalaman jembatan ketika Allah berjumpa dengan manusia dan manusia dapat mencapai hidup Ilahi,” katanya.

Romo Denny berpesan, supaya kita tidak menganggap kerasulan hanya sekadar pekerjaan sosial meskipun dilengkapi dengan jiwa afektif yang tinggi. “Tapi ketika iman adalah sebuah pengalaman dengan peristiwa, mau tidak mau karya yang kita lakukan ini adalah sebuah karya di tempat yang suci seperti dikatakan ketika Musa melihat pengalaman Allah di semak yang terbakar itu,” katanya.

Paroki sebagai pusat misi

Ketika bicara semakin Katolik, semakin apostolik, maka yang perlu diupayakan adalah paroki sebagai pusat misi, bukan hanya sebagai tempat ibadah. “Ketika paroki menjadi pusat misi, pastor paroki adalah kreator dan inisiator yang revolusioner  “di mana ide-idenya selalu membawa, membuat jalan bisa bertemu antara Allah dan manusia, manusia bertemu dengan sesamanya, di mana sebuah kegiatan itu akhirnya menempatkan tempat ibadah kita bukan cuma sekadar tempat ibadah”.

Institusi keagamaan dalam hal ini, menurutnya, memfasilitasi bahwa ruang sakral kekristenan itu dapat bersinggungan dengan ruang-ruang yang dihidupi di hati  masyarakat. “Bahwa Gereja sebagai himpunan orang Kristiani mengakomodasi kemisionerannya itu dengan membuka ruang fisiknya. Bahwa ruang perjumpaannya adalah ruang perjumpaan yang tidak terbatas dengan layanan ibadah misalnya, tapi juga jadi tempat pameran, jadi tempat acara sosial, jadi tempat acara program pendidikan,” katanya.

Ia pun menceritakan kisah Santo Don Bosco yang membuat gerejanya selalu punya lapangan sehingga anak-anak bisa bermain, berolahraga, bisa berjumpa dengan sesamanya, senang dan gembira. Ia pun menceritakan para misionaris yang membuka klinik dan sekolah agar masyarakat bisa berkenalan, bisa berjumpa dengan iman Kristiani dan mereka bisa hidup lebih baik dengan pendidikan yang lebih baik.

“Kalau sekarang memang tempat perjumpaan itu paroki sebagai pusat misi dan paroki sebagai sebuah tempat perjumpaan. Maka Bapa Suci pernah mengingatkan tentang yang namanya tempat peziarahan. Selama ini orang berpikir tempat ziarah itu kan tempat yang jauh-jauh kan atau tempat-tempat di mana difasilitasi sebagai tempat untuk kerohanian. Tapi Bapa Suci mengatakan, Paus Fransiskus, bahwa tempat peziarahan itu, Gereja Paroki itu pun juga sebuah tempat peziaran itu loh, di mana orang bisa sejenak berhenti untuk sembahyang, sejenak berhenti untuk duduk merenung. Karena kadang yang masuk ke tempat gereja kita bukan cuma orang Katolik saja. Banyak orang juga yang ingin tenang,” katanya.

Ketika paroki disebut sebagai pusat misi, menurutnya, tentu paradigmanya perlu berubah. Ia memberi contoh di Biara Core Jesu, Malang  dibuat museum tentang Core Jesu dan kota Malang.

“Ketika museum itu menjadi  sarana publik untuk berjumpa, bertemu, maka orang yang bukan Katolik punya keberanian masuk ke lokal-lokal atau lokasi-lokasi yang bersifat Katolik. Nah, ketika Saudara berjumpa seperti itu saja dengan orang yang bukan Katolik, bagi saya ini sebuah proses yang sangat luar biasa karena berani mempertemukan antara iman Katolik dengan situasi hidup lokal sehari-hari,” katanya.

Untuk itu, Romo Denny melihat perlunya formasi iman yang disinkronkan dengan Keuskupan baik para romo, suster, bruder, maupun umat. “Yang untuk parokinya kalau itu memang formasi iman berjenjang, apakah sudah disinkronkan dengan situasi kehidupan masyarakat? Jangan-jangan cuma sibuk dengan mikiri diri sendiri, lupa untuk pergi keluar dan di tengah dunia seperti ini,” katanya. Bahkan kalau perlu para aktornya belajar secara khusus.

FIBB anak dan remaja

Mengenai formatio iman berjenjang dan berkelanjutan pada anak-anak dan remaja, Romo Denny melihat itu adalah hal yang menjadi prioritas dan penting namun kerap salah kelola. “Saya selalu memandang cerita Bapa Suci kemarin bahwa yang menjadi prioritas penting itu memang anak dan remaja ya. Tetapi kita juga perlu tahu bahwa ketika anak dan remaja itu menjadi prioritas penting, selama ini kita salah kelola. Salah kelola itu artinya bahwa kita memperlakukan mereka sebagai anak-anak atau sebagai remaja yang mungkin dianggap tidak tahu, tidak mengerti,” katanya.

Romo Denny memberi contoh para santo termasuk Santo Tarsisius yang membela iman pada waktu muda. “Kita ingat pengalaman martir-martir muda di mana mereka dalam pengalamannya, mereka berani untuk menjadi saksi iman pada masanya, dan mereka sungguh meyakini bahwa hidup Kristiani mereka adalah hidup yang bisa berbuah dalam tindakan mereka,” katanya.

Menurutnya, ketika anak dan remaja menjadi sebuah keprihatinan, mereka perlu disapa dalam skenario pastoral berupa formasi kepemimpinan kerasulan. “Di dalam kepemimpinan kerasulan itu maka, rasul-rasul muda itu selalu saya ingat apa yang dikatakan oleh Tertulianus, Bapa Gereja abad kedua, orang menjadi Kristen itu bukan karena dilahirkan, tapi orang menjadi Kristen itu karena dididik, dibentuk, dibina oleh komunitas,” katanya.

Romo Denny melihat seandainya anak muda dan remaja diberi perspektif kekristenan, maka kita akan mengalami masa orang-orang muda kita 15 atau 20 tahun lagi, mereka akan mengambil peran pastoral yang lebih dalam. “Tertulianus jelas mengatakan bahwa orang tidak dilahirkan menjadi Kristen tetapi dididik jadi Kristen,” tegasnya sekali lagi.

Untuk menjalankan FIBB dibutuhkan kerasulan baru sesuai konteks zaman. “Hidup Kristiani itu dalam pengalaman sejarah Gereja kan selalu serupa dengan yang namanya menanggapi, menanggapi undangan Roh Kudus kan. Kalau kita lihat, para suster, para bruder dalam sejarah pendirian mereka, ketika ada situasi masyarakat yang berubah, lalu kemudian ada Roh Kudus yang menggerakkan para pendiri Serikat, Kongregasi, lalu mereka mengambil sebuah sikap dalam bentuk hidup yang dikerjakan,” katanya.

Menurut Romo Denny, ketika terjadi perang pada masa Napoleon dengan semua ekses politiknya, ekses industrinya, muncul sebuah kebutuhan, maka komunitas-komunitas waktu itu membentuk gerakan-gerakan baru. Lalu muncul kongregasi, muncul serikat, muncul kelompok-kelompok seperti Aksi Katolik.

“Dalam Perang Dunia I, iman itu dihadapkan dengan realita yang pahit, sejarah perang,” katanya. Ia menerangkan, pada Perang Dunia I, Aksi Katolik membentuk gerakan baru. Lalu setelah Perang Dunia II, Aksi Katolik lalu masuk ke dalam dunia sosial politik.

Menurutnya, ketika memberi perhatian pada  anak-anak dan remaja yang perlu disiapkan pertama  adalah infrastruktur dan pendampingnya yang siap menemani mereka.

“Yang jelas, ketika dikatakan bahwa dunia kita berubah ya memang betul berubah, dan butuh sebuah pendekatan baru. Dan kita, dalam sejarah Gereja kita, kita punya pengalaman bahwa sejarah ordo, kongregasi, serikat itu senantiasa adalah upaya menanggapi tantangan dunia baru ini di dalam situasi hidup sehari-hari,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *