
Keprihatinan akan maraknya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) membuat para biarawati Katolik tergerak membela korban dalam sebuah wadah. Mereka bergabung dalam Talitha Kum. Koordinator Talitha Kum Indonesia Jaringan Jakarta, Sr Irena Handayani OSU dalam Webinar Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Sabtu, 4 Mei 2024, menjelaskan kerasulan Talitha Kum.
Menurutnya, Talitha Kum atau International Network of Consecrated Life Against Trafficking in Person adalah sebuah organisasi biarawati Katolik yang didirikan oleh International Union of Superiors General (UISG) pada tahun 2009. “Jadi ini organisasi para suster yang didirikan jenderal-jenderal kami yang berbasis di Roma untuk berkarya menghapuskan perdagangan manusia di seluruh dunia,” kata biarawati yang kerap disapa Suster Irena itu. Visi Talitha Kum, lanjutnya, adalah Zero Human Trafficking, Dunia Tanpa Perdagangan Manusia.
Suster Irena menjelaskan, dalam konteks Indonesia, Talitha Kum Indonesia bersama semua pihak yang berkehendak baik berkomitmen untuk mewujudkan dunia bebas perdagangan manusia dengan melakukan kampanye tentang bahaya perdagangan manusia, pemberdayaan kelompok religius dan warga masyarakat sebagai agen perubahan, pemulihan martabat korban, dan advokasi kebijakan publik. Kerja sama itu terjalin baik misalnya dengan Migrant Care, IJM, Padma Indonesia, kementerian terkait, kepolisian, maupun kejaksaan. Bahkan para suster yang tergabung di Talitha Kum Indonesia pun turut melakukan kampanye pencegahan TPPO dengan “blusukan” ke sekolah-sekolah.
Talitha Kum ada di banyak negara dengan banyak biarawati yang tergabung di dalamnya. “Secara internasional tahun 2013, Talitha Kum memiliki misi untuk melawan perdagangan manusia, ada di 75 negara, melibatkan 600 biarawati. Dan 2015 tambah lagi, 1100 biarawati bekerja di 80 negara untuk melawan perdagangan orang. Saat ini pemimpinnya Suster Gabriella Bottani, dipilih menjadi Koordinator Talitha Kum Internasional, berkedudukan di Roma, Vatikan,” ungkap Suster Irena.
Dalam konteks Indonesia dan Jakarta pada tahun 2008, lanjut Suster Irena, Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI) membentuk Counter Woman Trafficking Commission (CWTC). Tahun 2010, IBSI Jakarta membentuk kelompok Jaringan Peduli Migran (JPM). Tahun 2019, CWTC berubah menjadi Talitha Kum Indonesia, demikian pula JPM Jakarta berubah menjadi Talitha Kum Jaringan Jakarta. Talitha Kum juga ada di berbagai keuskupan di Indonesia.
Talitha Kum sendiri, jelas Suster Irena, memiliki arti harafiah “bangkitlah, bangunlah, berdirilah” seperti dalam kisah di Kitab Suci waktu Yesus membangkitkan seorang anak perempuan (Mrk 5:41).
Pencegahan TPPO
Talitha Kum melakukan pencegahan TPPO dengan sosialisasi di sekolah, komunitas urban, organisasi masyarakat, OMK, WKRI, kelompok PKK, buruh migran dan keluarganya, serta kelompok pemuka agama. Hal itu dilakukan baik secara online maupun offline. Selain pencegahan, para biarawati yang tergabung dalam Talitha Kum juga berkomitmen menghentikan perdagangan orang melalui berbagai pelatihan. “Jadi para suster dilatih juga untuk bisa menjadi trainer sehingga bisa membantu teman-teman di lingkungannya, wilayahnya, daerah tempat kerja untuk ikut menghentikan perdagangan orang,” jelas Suster Irena. Selain itu, pelatihan berupa training for trainer tentang identifikasi, pencegahan dan penanganan TPPO juga diberikan kepada pemuka agama, pendidik, dan kaum muda.
Talitha Kum juga merayakan Hari Doa dan Kesadaran Internasional Menentang Perdagangan Manusia setiap tanggal 8 Februari dan Hari Anti Perdagangan Orang Internasional tiap tanggal 30 Juli. “Kami mengajak seluruh umat manusia, semua orang untuk bergerak, untuk maju, untuk punya kepedulian persoalan kemanusiaan ini,” ungkapnya.
Upaya penanganan
Selain pencegahan, Talitha Kum juga melakukan penanganan pada korban maupun penyintas TPPO. “Hal itu dilakukan dengan melakukan pendampingan psikologis dan spiritual bagi penyintas, bekerjasama dengan psikolog, konselor, dan pemuka agama. Selain kami mencegah, kami juga mendampingi, mendampingi korban-korban,” kata Suster Irena.
Ia pun berkisah tentang sebuah kasus sebelum Covid-19 ketika korban-korban TPPO berhasil dipulangkan dari Malaysia ke Indonesia. Sebelum dipulangkan ke daerah masing-masing, mereka ditampung di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus milik Kementerian Sosial, Jakarta. “Ketika di Bambu Apus inilah kami memberi pendampingan spiritual karena mereka sudah bertahun-tahun bekerja di Malaysia, di perkebunan Sawit, tidak pernah misa, tidak pernah mengaku dosa, (tidak) menerima sakramen, maka kesempatan yang baik ini, mereka ketika dipulangkan ke Indonesia mendapat pendampingan spiritual. Pendampingan spiritual, juga psikologis, tapi juga ada keterampilan kecil-kecilan. Bagi yang beragama Katolik, romo, suster hadir. Bagi yang Kristen ada pendeta. Bagi yang Islam ada ustad yang datang untuk memberi siraman rohani,” jelas Suster Irena.
Upaya pendampingan korban juga dilengkapi dengan penyediaan rumah aman di Shelter Suster Gembala Baik, Shelter Suster FMM dan pelayanan medis bekerjasama dengan RS Carolus dan Poliklinik FMM. “Ada yang pulang tidak membawa uang, tapi malah membawa baby. Dan ini, kami juga mendampingi ibu-ibu. Ada dua ibu waktu itu yang melahirkan di tempat Kementerian Sosial dibantu di tempat shelter itu. Dan juga ada yang bawa baby dari Malaysia juga. Jadi, itulah manusia-manusia baru yang diberikan Tuhan kepada mereka yang bekerja di kebun sawit dan kami ikut membantu memberikan support, dukungan kepada ibu-ibu muda yang mengalami persoalan-persoalan kelahiran. Jadi, selain pemberian psikologis, spiritual, kami juga pendampingan persoalan kesehatan,” tutur Suster Irena.
Korban TPPO juga memerlukan pendampingan hukum. Untuk pendampingan hukum, Talitha Kum bekerja sama dengan dengan banyak pihak. “Padma Indonesia, LBH Apik, LBH Jakarta, IJM, IOM bekerja sama dengan kami, membantu kami, sehingga kita bergandengan tangan untuk kita saling menguatkan, memberi support,” ungkapnya.
Untuk membangun kesadaran khalayak luas, bersamaan dengan peringatan Santa Bakhita tanggal 8 Februari 2024, Talitha Kum mengundang para pemuka lintas agama untuk berdoa lintas iman. Ia pun berkisah tentang Santa Bakhita. Ia menuturkan, Santa Bakhita adalah perempuan muda dari Sudan yang sejak umur 12 tahun diculik oleh mafia, lalu diperjualbelikan dari pedagang-pedagang kaya dan orang-orang kaya dari satu negara ke negara lain. Terakhir dia dibeli oleh pengusaha kaya dari Vatikan, Italia. “Ketika di tangan saudagar kaya beragama Katolik inilah Josephin Bakhita dirawat dengan baik sampai sembuh, sampai sehat. Ketika dia sehat, ditanya apakah mau dipulangkan ke Sudan, dia tidak mau. Josephin Bhakita memilih masuk biara, menjadi Suster Canosian. Biara tersebut dekat rumah saudagar kaya yang sudah menyembuhkannya. “Ketika Bakhita masuk biara, dia menjadi sangat produktif dalam arti banyak doa, banyak membantu, dan banyak memberi penjelasan tentang persoalan perdagangan orang ini. Dan akhirya, karena perjuangannya yang hebat, Paus mengukuhkan Josephin Bakhita menjadi orang kudus. Dan pestanya diperingati setiap tanggal 8 Februari. Maka, tanggal 8 Februari kita dedikasikan untuk secara khusus berdoa bagi korban-korban perdagangan orang,” ujar Suster Irena.
Membangun jejaring
Selain memberikan edukasi melalui webinar, penyuluhan, Talitha Kum Jaringan Jakarta juga kerap diundang untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional yang ada di Jakarta. “Sebagai lembaga internasional, kami berjejaring dengan duta besar-duta besar yang ada di Jakarta,” katanya. Bahkan beberapa waktu sebelumnya, mereka diundang oleh Kedutaan Amerika untuk mendengarkan persoalan human trafficking yang sudah mendunia dan sangat masif. “Para suster juga harus tahu sehingga bisa ikut mencegah dengan bijaksana,” ujar Suster Irena.
Selain dengan kedutaan-kedutaan, pegiat Talitha Kum juga kerap diundang kementerian untuk ikut memerangi perdagangan orang bersama-sama. “Ya, jadi ini undangan-undangan lembaga lain, dihadiri oleh kelompok-kelompok, lembaga NGO, yang bergerak di bidang persoalan perdagangan orang. Maka, kita perlu berjejaring untuk saling menguatkan satu dengan yang lain,” ungkap Suster Irena.
Edukasi tentang pencegahan TPPO, selain melalui webinar dan pertemuan, juga dilakukan melalui film dengan nonton bersama (nobar). “Ini menambah wawasan kami bagaimana trik-trik trafficking ini masuk ke dalam sektor kehidupan melalui banyak hal. Maka, para suster juga harus tahu, kita, juga para penyintas, maupun juga NGO-NGO yang bergerak di bidang masalah perdagangan orang, perlu melihat dan tahu sehingga memperkaya wawasan kita,” ungkapnya. Yang tak kalah penting lagi adalah kerja sama dengan lembaga-lembaga agama lainnya.
“Perdagangan manusia merupakan masalah kemanusiaan yang sangat besar. Penanganannya membutuhkan kerja sama dari banyak pihak,” ujarnya.
Paus Fransiskus dalam ceramah di hadapan peserta Hari Doa dan Refleksi Sedunia Melawan Perdagagan Orang, 2 Februari 2018 mengatakan, “Perdagangan orang adalah aib dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kita harus berkerjasama untuk mengakhiri perdagangan yang mengerikan ini”.