Oleh BAPAK JULIUS KARDINAL DARMAATMADJA, SJ
Rumusan judul diatas merupakan tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) Keuskupan Agung Semarang (KAS) tahun 2024, yang bersumber pada Arah Dasar Umat Allah KAS tahun 2021-2025, yang berjudul “Tinggal dalam Kristus dan Berbuah.” Dalam APP tahun ini, keadaan umat Katolik yang telah dikaruniai baptis dan menerima sakramen-sakramen Gereja, diharapkan “Tumbuh dalan iman dan berbuah dalam kesaksian”, karena lewat Sakramen Baptis itulah kita mulai “tingggal dalam Kristus”, dan berbuah.
Tinggal dalam Kristus
Kita sekarang sangat bersyukur, karena hidup kita sebagai umat beriman, sudah dikaruniai rahmat yang melimpah berkat pembaptisan kita. Yaitu bersatu hidup dengan Kristus, dan Roh Kudus bersemayam dalam hati nurani kita. Dengan demikian hidup kita berakar dalam Dia, dan karenanya kita juga menerima hidup ilahi, dengan segala kekuatannya untuk melawan godaan setan. Roh Kudus yang bersemayam dalam hati juga menuntun ke jalan-jalan yang benar, sehingga kita dibuat mampu hidup kudus, dan berkenan dihadapan-Nya. Kenyataan ini terungkap dalam doa Embolisme, saat kita merayakan Ekaristi. Di dalamnya kita berdoa: “bebaskanlah kami dari segala yang jahat, sudilah memberi damai sepanjang hidup kami, supaya, kami yang telah dikuatkan oleh kelimpahan belas kasih-Mu, selalu bebas dari dosa dan dijauhkan dari segala gangguan…”.
Allah dalam diri Kristus dan Roh Kudus yang hadir dalam hidup umat beriman adalah puncak dari proses panjang. Bapa Bangsa Yahudi, Abraham, Iskak dan Yakub, dibimbing secara pribagi oleh Allah. (Bdk Kej 12 dst.) Keturunan Yakub di Mesir dibimbing Allah melalui Musa (bdk Kel 2:23 dst.), keluar dari perbudakan di Mesir menuju tanah terjanji. Kemudian Allah membimbing kehidupan umat pilihan dengan memberikan 10 Perintah Allah yang ditulis dalam 2 potongan batu (bdk Kel 20 dst.). Dengan 10 Perintah Allah ini Umat Israel diikat dalam perjanjian. Kalau Umat Israel setia hidup mengikuti perintah dan ketetapan-Nya, Allah akan menjadi Allah mereka. Maka sejak itu Umat Israel disebut sebagai Umat Perjanjian.
Umat Perjanjian tersebut tidak mampu setia, karena Taurat Allah atau Hukum Allah ada di luar diri manusia, ditulis dalam batu, tidak memberi kekuatan dan memengaruhi dari dalam. Betapa banyak nabi-nabi diutus Allah untuk mengingatkan umat-Nya dari waktu ke waktu. Tetapi tetap saja begitu. Akan tetapi pada waktunya Allah akan bertindak. Allah akan menempatkan hukum-Nya dalam batin mereka. Nabi Yeremia menubuatkan: “Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN. Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka.” (Yer 31:31-34). Nubuat Yeremia ditulis sekitar zaman Daud memerintah. Berarti Perjanjian Baru ini baru terlaksana seribu tahun kemudian, di mana kerajaan telah pecah menjadi dua, yaitu Israel dan Yehuda, dan hidup umat makin merosot, hingga masa pembuangan di Babilon. Setelah dipulangkan kembali, akhirnya di bawah kekuasaan Romawi. Justru saat hancurnya kuasa duniawi Kerajaan Umat Allah, maka lahirlah Yesus, Mesias yang mendirikan Kerajaan Rohani, yaitu Kerajaan Allah. Dengan pengantaraan Dia, bersama Dia dan dalam Dia, Perjanjian Baru dibangun, di mana Kristus dan Roh Kudus hidup dalam diri umat beriman yang dibaptis. Sehingga Paulus dapat mengucap: “… aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:20). Maka terlaksanalah nubuat Yeremia yang mengatakan bahwa: “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (Yer 31:33). Kehadiran Kristus dan Roh Kudus dalam hidup Umat beriman yang dibaptis dan menerima sakramen-sakramen Gereja lainnya, membuat umat beriman setia dan berbakti kepada Allah. Adalah Paulus pula ketika ia menulis surat kepada Umat Ibrani, ia tak lupa mengutip nubuat Nabi Yeremia, ketika Paulus menjelaskan mengenai Yesus sebagai Imam Besar Perjanjian Baru. (bdk. Ibr 8, lebih-lebih ayat 8 sampai dengan 11). Singkatnya, memang kita mampu setia, karena rahmat Allah yang melimpah yang kita terima sejak kita dibaptis, kemudian menerima Sakramen Ekaristi, Sakramen Penguatan dan Sakramen lainnya. Kristus dan Roh-Nya selalu berkenan tinggal dalam diri kita. Tetapi kitalah yang kerap tidak tinggal dalam Kristus dan Roh-Nya, karena kita berdosa. Maka dalam Masa Prapaskah, dalam masa pertobatan kita, Surat Gembala APP mengingatkan agar kita tetap tinggal dalam Kristus dan Roh-Nya, supaya kita tumbuh dalam iman dan berbuah dalam kesaksian.
Tinggal dalam Kristus dan berbuah
Hanya karena tinggal dalam Kristuslah maka kita mampu berbuah. Rasul Yohanes menggambarkan hubungan kita yang telah dibaptis dengan Kristus seperti hubungan antara ranting dan pokok anggur. Ia menulis tentang sabda Yesus: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”. (Yoh 15:4-5). Ada dua macam buah yang dapat muncul dari kedekatan relasi kita dengan Kristus. Yang satu adalah keteguhan dan kesuburan iman, yang terungkap dalam doa, renungan, ibadah, perayaan Ekaristi dan perayaan Sakramen lainnya. Berikutnya adalah ketekunan dalam menjadi saksi Kristus yang tampak dalam kegiatan keluar berbuat baik di tengah masyarakat.
Bertumbuh dalam iman dan berbuah dalam kesaksian
Bertumbuh dalam iman dan berbuah dalam kesaksian ini merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Hanya karena makin tumbuh dalam imanlah maka umat juga memberi kesaksian, meskipun umat Katolik jumlahnya sangat sedikit, kira-kira 3-4%. Ada 3 kemungkinan kesaksian kita di tengah masyarakat.
a. Kesaksian hidup
Di tengah perbedaan pandangan hidup karena berbeda budaya, kepercayaan dan agama, kita diharapkan tetap setia pada iman kita dan setia dalam mengungkapkan iman kita dalam doa, ibadah dan renungan. Setia setiap hari Minggu merayakan Ekaristi. Dan selama masa Prapaskah, kecuali puasa dan pantang juga rajin mengikuti pertemuan APP. Kita syukuri bahwa Umat sangat antusias menyambut Rabu Abu. Semoga selanjutnya meningkat juga perbuatan baik, benar dan adil di tengah masyarakat, dan meningkat pula kepedulian kita terhadap mereka yang berkekurangan dan siap sedia membantu sesuai kemampuan kita. Kesetiaan hidup umat Katolik yang secara konsekuen terpancar pada perilaku sudah sangat besar nilainya bagi kesaksian terhadap Tuhan Yesus Kristus selanjutnya. Memang dalam situasi tertentu kesaksian hidup ini adalah satu-satunya cara menjadi saksi Kristus. Meski tampaknya belum berbuat apa-apa, kesaksian hidup memiliki nilai misioner yang tinggi, dan mendasar. Katekismus Gereja Katolik no. 2044 menyebut kesaksian lewat hidup dan perilaku, sebagai dasar dan awal pewartaan Injil dan perutusan Gereja. “Kesaksian hidup dan perbuatan baik mereka yang dilakukan dengan semangat adikodrati, sangat kuat menarik orang kepada iman dan Allah.” (Ibid.). Menurut pengamatan Gereja (pidato Paus Paulus VI tanggal 2 Oktober 1974 di depan Dewan Kepausan untuk Awam), “manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena para pengajar tadi merupakan saksi-saksi.” (ibid). Pengamatan tersebut pantas kita perhatikan, sambil menunggu kesempatan yang baik, kapan kita dapat menyampaikan pewartaan secara eksplisit. Karena Gereja memang berpendapat bahwa semua orang berhak atas pewartaan Injil. (Bdk (EN 53).
b. Dialog dengan nilai budaya dan agama
Pengalaman Gereja muda menjadi pewarta Injil telah menampilkan kebijaksanaan menjadi saksi Kristus di tengah realitas plural. Dari Kisah Rasul-rasul tampak bagaimana pewartaan iman terhadap Yesus juga disesuaikan dengan budaya setempat. Gereja memang terbuka terhadap nilai-nilai budaya yang dijumpai. Setelah Gereja mulai keluar dari budaya Yahudi, Gereja pada tahun 71 dengan pertemuan di Yerusalem, memutuskan bahwa orang bukan Yahudi tidak perlu sunat dan ikut tata cara dan tradisi Yahudi (Kis Ras 15:5-11.28), “…Gereja membuka pintunya dan menjadi rumah yang boleh dimasuki semua orang, dan di sana semua orang dapat menjadi betah, sambil tetap memelihara kebudayaan serta adat istiadat mereka sendiri, asalkan semua ini tidak bertentangan dengan Injil.” (RM 24). Di sini tampak bahwa Gereja sudah membuka diri untuk menerima apa yang benar, apa yang baik dan suci dalam budaya tertentu.
Konsili Vatikan II telah mengukuhkan sikap demikian tadi dengan dokumen Gerejani yang bernama Nostra Aetate (NA), pernyataan tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan kristiani (28 Oktober 1965). Dengan Nostra Aetate kita diharapkan menghormati nilai-nilai iman mereka, baik mereka yang telah menyadari akan adanya kekuatan-kekuatan yang gaib, yang hadir dalam sejarah dan peristiwa hidup mereka, bahkan terkadang disertai pengakuan kuasa ilahi yang tertinggi. Kesadaran dan pengakuan tadi dihayati dengan semangat religius yang mendalam. Pemeluk agama Hindu umpama, mencari pembebasan dari kesesakan hidup ini dengan ulah tapa atau dengan renungan yang mendalam. Umat Budha mengakui bahwa dunia yang serba berubah ini tidak mencukupi dan mengajarkan jalan penuh bakti dan kepercayaan menuju keadaan kebebasan sempurna, atau penerangan tertinggi. (bdk NA 2). Umat Islam menyembah satu-satunya Allah yang hidup dan berdaulat, yang Mahakuasa dan Maharahim, Pencipta langit dan bumi. Tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan sebagai Nabi. Kecuali itu mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah memberi pahala kepada mereka yang telah bangkit. Maka mereka menjunjung tinggi hidup bermoral. (bdk NA 3). NA mengajak kita untuk tidak menolak, dalam agama-agama dan kepercayaan, apapun yang serba benar, baik dan suci. Meski memang berbeda dengan iman kita, tetapi tidak jarang ada nilai-nilai yang memantulkan sinar kebenaran, yang menyinari semua orang.(Bdk. ibid no 2).
c. Pada saat kita menjadi saksi hidup dan berdialog serta membangun persaudaraan di tengah masyarakat, kalau kita menjumpai keterbukaan hati kepada iman Katolik, maka kita akan menyampaikan pewartaan secara ekplisit mengenai Yesus Kristus sebagai Juruselamat seluruh umat manusia. Karena Gereja memang berpendapat bahwa semua orang berhak atas pewartaan Injil. (Bdk EN 53).
Penutup
Para Paus, sejak Paus Yohanes Paulus II telah memberi teladan berdialog dengan nilai-nilai agama dan kepercayaan lain. Paus Yohanes Paulus II memprakarsai dialog antar tokoh agama dan kepercayaan di Assisi, tanggal 28 Oktober 1986 dalam bentuk berdoa bersama, masing-masing sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka. Banyak orang kala itu mula-mula terkejut, lalu heran, dan setelah merenung lalu mendukung, bahkan memuji. Ada sesuatu yang luhur yang mau dicapai, yaitu perdamaian dunia. Tentu ada orang Katolik yang merasa kurang nyaman, karena seakan-akan Paus Yohanes Paulus II dengan berdoa bersama tokoh-tokoh agama lain kurang mengagungkan Kristus sebagai satu-satunya Penyelamat dunia. Maka beliau lalu menanggapi: “Dengan menyingkirkan suatu penafsiran yang keliru, pertemuan antar agama yang diadakan di Assisi dimaksudkan untuk memperteguh keyakinan kami, bahwa setiap doa yang otentik itu didorong oleh Roh Kudus, yang hadir secara ajaib di dalam hati setiap manusia.” (RM 29). Kemudian Paus Benediktus XVI pada tanggal 28 Oktober 2011 memperingati ulang tahun ke-25 peristiwa Assisi I, juga mengadakan doa bersama dengan tokoh-tokoh agama dan kepercayaan. Bedanya yang sangat istimewa, seorang komunis diundang sebagai wakil dari kelompok tak beragama. Tokoh-tokoh agama, kepercayaan dan yang tak beragama pun menyambut baik karena mereka juga menjunjung tinggi sikap yang sama. Kasih, persaudaraan, solidaritas dan perdamaian adalah nilai-nilai hidup yang mereka perjuangkan juga. Semangat yang sama diteruskan oleh Paus Fransiskus. Dari nama yang ia pilih sebagai Paus sudah menunjukkan semangat spiritualitasnya.
Pada tanggal 4 Februari 2019, di Abu Dhabi, Paus Fransiskus bersama Imam besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb menandatangani bersama dokumen mengenai “Persaudaraan Manusiawi demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”. Pada tanggal 3 Oktober 2020 Paus Fransiskus telah menerbitkan ensiklik “Fratelli Tutti”, yang berarti “Semua adalah Saudara”. Ensiklik ini bertujuan untuk mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial. Pandemi Covid-19 menjadi latar belakang ensiklik ini. Kedaruratan kesehatan global telah membantu menunjukkan bahwa “tak seorang pun bisa menghadapi hidup sendirian” dan bahwa waktunya sungguh-sungguh telah tiba akan “mimpi sebagai satu keluarga umat manusia” di mana kita adalah “saudara dan saudari semua”. Setelah mendapat contoh dari pimpnan tertinggi Gereja, bagaimana tanggapan kita sebagai umat Katolik?
Saya kira kita perlu menekuni budaya “srawung”, membuat semua warga Gereja menjadi anggota masyarakat, anggota RT/RW, kelurahan atau kecamatan yang aktif tampil dalam peristiwa suka dan duka suatu keluarga, aktif hadir dalam perayaan nasional, dengan memancarkan kasih dan kepedulian kita yang tinggi. Lebih-lebih membantu mereka yang kekurangan, yang menderita sakit atau yang tersingkirkan dari masyarakat. Semoga pancaran kebaikan kita menjadi sinar pewartaan iman kita. Bersama dengan warga masyarakat yang tanggap, kita bangun bersama RT/RW dan lainnya, menjadi tempat persaudaraan kita berkembang. Selamat mengadakan Aksi Puasa Pembangunan!