Gereja KAS Berkatekese

Formatio Iman Berjenjang dan Berkelanjutan (FIBB) yang dicanangkan Keuskupan Agung Semarang (KAS), menurut Uskup KAS Mgr Robertus Rubiyatmoko, mesti melibatkan kerja sama antar komisi dan banyak pihak. “Ada komisi keluarga, ada komisi katektik, ada komisi kepemudaan, dan yang lain-lain yang bersinergi bersama-sama untuk menyiapkan dan nandangi bareng-bareng. Dan inilah persis sifat sinodalitas kita. Lungguh bareng, mutuske bareng, nandangi bareng. Kita bersama-sama bersinode melalui karya evangelisasi atau karya pewartaannya,” kata Mgr. Rubi dalam Temu Pastoral di Semarang, 21 November 2023.

Berjenjang dan berkelanjutan

Formatio Iman Berjenjang menurut, Mgr Rubi, mengacu pada proses yang dibagi dalam tahap-tahap tertentu. Setiap tahap memiliki fokus dan tujuan tertentu sesuai dengan perkembangan dan pemahaman iman masing-masing. “Dan formasi iman berjenjang ini dimulai setelah baptisan, ya ada anak-anak nanti terbagi dalam PIUD, ada PIA, ada PIR, kemudian remaja, OMK, kemudian orang dewasa dan lanjut usia,” kata Mgr Rubi.

Selain berjenjang, formatio juga dilakukan secara berkelanjutan. “Ini yang nanti harapannya bisa berkesinambungan, satu dengan yang lain. Sementara berkesinambungan menunjuk pada proses iman berkelanjutan yang menekankan adanya pembelajaran secara terus menerus sepanjang kehidupan. Belajar tidak hanya berhenti di satu saat. Namun terus sampai akhir,” katanya.

Mgr Rubi melihat formatio iman di paroki-paroki sebagian belum terlaksana secara berjenjang dan berkelanjutan. “Kalau saya mengamati, pembelajaran di paroki-paroki kita, di keuskupan kita itu kebanyakan terhenti pada saat penguatan saja,” katanya.

Mgr Rubi melihat pentingnya pembinaan iman dalam keluarga. “Keluarga menjadi basis pembinaan iman yang paling utama,” katanya. Namun, sayangnya, menurutnya, persiapan yang dibuat belum cukup memadai. “Kita melihat bahwa keluarga menjadi basis formasi, maka mesti orang tua atau calon pasangan ini sungguh-sungguh disiapkan dengan bagus, dengan baik, supaya mereka nanti betul-betul menyadari tanggung jawabnya terhadap anak-anak,” katanya.

Karena keluarga menjadi basis pembinaan iman, menurut Mgr Rubi, keluarga perlu mendapat kesempatan dan waktu yang baik untuk pembinaan. “Kalau saya melihat pengalaman di pengadilan Gereja, panitia pastoral keluarga itu, kadang-kadang sangat memprihatinkan karena sebenarnya masalah-masalah yang ada bisa ditangani, diatasi semenjak awal perkawinan namun kelewatan karena tidak terlalu serius kita menangani. Entah melalui pendidikan kanonik maupun melalui persiapan khusus persiapan perkawinan. Maka perlu disiapkan dengan lebih serius lagi untuk perkawinan ini,” kata Mgr Rubi.

Lebih lanjut, Mgr Rubi mengatakan, tujuan FIBB adalah yang pertama, menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung pertumbuhan rohani yang  berkesinambungan hingga umat memiliki iman yang semakin kokoh sepanjang rentang kehidupannya. “Bahkan termasuk sampai akhir mau meninggal,” tegas Mgr Rubi.

Mgr Rubi melihat pentingnya pendampingan orang yang dalam keadaan kritis jelang ajal tiba. “Justru saat-saat terakhir orang kadang-kadang mengalami kebingungan, mengalami pergulatan milih endi, milih Gusti Yesus apa milih setan? Ini pergulatan yang sangat nyata,” ungkapnya. Menurutnya, kalau iman seseorang sudah kuat sejak awal, pada akhir kehidupannya pun ia akan tetap kuat. “Nek imane kuat sejak awal diharapkan sampai akhir pun juga akan kuat. Namun kalau di tahap perjalanan hidupnya itu goyang, macam-macam nggak kokoh, ada kemungkinan saat terakhir juga akan mudah tergoyahkan. Maka ini yang kita harapkan, kita menciptakan suatu lingkungan pembelajaran yang terus-menerus sampai akhir, sehingga semua memiliki dasar iman yang kokoh dan kuat,” kata Mgr Rubi.

Tujuan yang kedua adalah membentuk pribadi yang memiliki dasar iman yang kokoh/kuat dan tidak tergoyahkan: sungguh-sungguh memahami betul yang diimani, menghidupinya dalam keseharian, mempertanggungjawabkannya, dan mewartakannya melalui kesaksian yang transformatif.

Dalam kesempatan itu, Mgr Rubi juga menyinggung tentang tugas pastor paroki dalam melakukan katekese berdasar Kanon 777. “Dengan tetap memperhatikan norma-norma yang ditetapkan oleh Uskup diosesan, secara khusus hendaknya pastor paroki berusaha: satu, supaya diberikan katekese yang sesuai untuk perayaan sakramen-sakramen. Dua, supaya anak-anak, dengan pengajaran kateketik selama waktu yang cukup, disiapkan dengan semestinya untuk penerimaan pertama sakramen-sakramen tobat dan Ekaristi mahakudus serta untuk penerimaan sakramen penguatan. Tiga, supaya anak-anak itu, sesudah penerimaan komuni pertama, dikembangkan dengan pengajaran kateketik yang lebih melimpah dan mendalam. Empat, supaya pengajaran kateketik diberikan pula kepada mereka yang menyandang cacat fisik atau mental, sejauh keadaan mereka mengizinkannya. Lima, supaya iman orang muda dan orang dewasa diteguhkan, diterangi dan diperkembangkan dengan bermacam-macam bentuk dan prakarsa.

Tentu semua itu dilakukan romo paroki dan timnya di paroki.

Berdasar Kanon  760, Mgr Rubi juga menyampaikan “dalam pelayanan sabda yang harus berdasarkan pada Kitab Suci, Tradisi, liturgi, magisterium dan kehidupan Gereja, hendaknya misteri Kristus diwartakan secara utuh dan setia”.

Adapun hal-hal yang diajarkan adalah sebagai berikut:

Pertama, pengajaran doktrin, studi Alkitab, liturgi, dan moralitas: mulai dari yang lebih dasariah menuju ke pemahaman dan penerapan praktis.

Kedua, kegiatan spiritual: memperkuat hubungan pribadi dengan Tuhan melalui doa, meditasi, retret, dan pelayanan masyarakat.

Ketiga, pengembangan komunitas: melalui doa bersama komunitas, partisipasi dalam pelayanan Gereja, akan memunculkan keterhubungan dengan sesama dan mendapatkan dukungan moral dalam perjalanan imannya.

Tentang cara menjalankan katekese, Mgr Rubi menyampaikan usul dengan fokus-fokus perhatian, dasar pemikiran, dan dokumen acuan sesuai jenjang usia umat mulai dari PIUD-PIUL. (terlampir dalam tabel 1).

Tabel 1

Penanggungjawab FIBB

Berdasar Kanon 773-780, Mgr Rubi menyampaikan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam melaksanakan FIBB. Di antaranya adalah pertama, gembala jiwa-jiwa (kanon 773) yang meliputi Uskup diosesan (kanon 775 §1; 756 §2)  dan para imam, khususnya pastor paroki dengan bantuan klerikus, anggota hidup bakti, katekis (kanon 776; 757-758; 528 §1; CT 67).

Kedua, awam: karena baptis dan penguatan umat awam menjadi saksi warta injili

Ketiga, orangtua: “Melebihi semua yang lain, orangtua terikat kewajiban untuk membina anak-anak mereka dalam iman dan dalam praktek kehidupan kristiani, baik dengan perkataan maupun teladan hidup mereka; demikian pula terikat kewajiban yang sama mereka yang menggantikan orangtua dan para bapak/ibu baptis” (kanon 774 §2).

Keempat, seluruh umat beriman, karena baptisan (kanon 774 §1).

  “Berevangelisasi, berkatekese adalah tugas-tanggung jawab semua umat beriman karena babtisan. Semua mempunyai tanggung jawab yang satu dan sama, berevangelisasi,” kata Mgr Rubi.

Namun, menurutnya, di antara semua yang lain, orang tua mempunya tanggung jawwab yang paling besar dan paling utama. “Jadi, orang tua adalah penanggung jawab utama dan pertama untuk formatio iman berjenjang berkelanjutan, karena apa? Ya, ini konsekuensi dari melahirkan anak. Melahirkan anak berarti tanggung jawab untuk ngopeni, untuk ngupakara sampai anaknya selamat,” katanya.

Dan, itu juga yang menjadi alasan, anak-anak yang dilahirkan oleh orang tua Katolik mesti sesegera mungkin dibaptiskan supaya mendapatkan keselamatan dalam Kristus Yesus. Selain orang tua, wali bagi anak yang tidak punya orang tua, atau wali baptis dan wali penguatan, menurutnya, mempunyai tanggung jawab yang sama mendampingi perjalanan iman anak-anak yang dibaptis dan menerima sakramen penguatan.

Karena dirasa sangat penting, Mgr Rubi menekankan, supaya persiapan perkawinan sungguh-sungguh dibuat sebaik mungkin. “Maka ini salah satu yang harus ditekankan dalam persiapan perkawinan supaya mereka jangan hanya sekedar melahirkan, namun tidak ngopeni, namun sungguh-sungguh memelihara dengan sepenuh hati,” imbuh Mgr Rubi.

Institusi yang dilibatkan

Selain keluarga, dalam melaksanakan FIBB, Mgr Rubi melibatkan beberapa pihak seperti paroki, sekolah, organisasi, maupun sekolah-sekolah Katolik.

“Sekolah-sekolah yang menamakan diri Katolik semua mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mendidik umatnya atau siswa-siswinya agar sungguh-sungguh beriman dengan baik, iman yang dewasa. Maka jangan sampai sekolah-sekolah Katolik melewatkan soal ini. Tolong dimasukkan dalam kurikulum pembinaan entah kurikuler maupun kokurikuler supaya anak-anak juga terbina. Ada sinkronisasi antara pendidikan di Gereja, di rumah dan di sekolah, sehingga lalu bisa membentuk pribadi-pribadi yang semakin integral betul,” harap Mgr Rubi.

Mgr Rubi juga menyoroti pentingnya organisasi terlibat dalam FIBB. “Bahkan organisasi yang kita punya, organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi kegerejaan, semua mesti mendukung program ini dengan memberikan pendidikan atau pengajaran yang semestinya, WKRI, Pemuda Katolik apalagi PMKRI yang sosial politik. Kemudian yang kelompok-kelompok kategorial, semua mesti ikut bergerak dalam rangka formatio iman berjenjang dan berkelanjutan ini. Termasuk rumah-rumah pembinaan: seminari, novisiat, asrama dan rumah retret. Maka harapannya, nanti ikut bergerak. Bahkan tempat-tempat ziarah. Kita mempunyai banyak tempat ziarah. Diharapkan nanti juga menjadi tempat di mana umat bisa belajar sesuatu. Maka program-program tertentu perlu dikembangkan di sana bahwa umat yang datang sungguh-sungguh akhirnya menikmati lebih mendalam karunia Tuhan,” katanya.

Untuk memantapkan hal itu, Mgr Rubi mencanangkan tahun 2024 sebagai Tahun Katekese dengan berbagai tema yang sudah disiapkan setiap bulannya. Modul maupun bahan pembelajaran akan disiapkan dengan baik.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *