Konsep Keselamatan

Keselamatan itu bukan suatu konsep yang teoritis saja. Demikian Uskup Keuskupan Bogor, Mgr Paskalis Bruno Syukur, OFM mengawali Webinar Spiritual PUKATNAS “Konsep Keselamatan”, 6 Juni 2023. Ia pun menukil Yohanes 3:16, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

“Jadi ada unsur kasih Allah yang begitu besar. Ada unsur karunia atau pemberian dari Allah dan pemberian-Nya itu ialah Putra-Nya yang tunggal, dengan maksud supaya semua orang beroleh hidup kekal, tidak binasa, beroleh keselamatan,” kata Mgr Paskalis.

Berdasar ayat tersebut, menurutnya, karya keselamatan adalah karya besar Allah kepada manusia dan dunia ini. “Inilah proyek besar Allah,” lanjutnya. Menurutnya, selain Allah menciptakan dunia dan manusia, Dia juga menyelamatkan manusia dan dunia ini.

“Kalau kita bicara mengenai keselamatan, maka mestinya satu pikiran pertama yang muncul di sana ialah bahwa inilah karya besar Allah kepada manusia dan dunia ini.  Allah tidak hanya sekadar menciptakan lalu membiarkan begitu saja. Tetapi Dia juga berusaha agar manusia dan dunia ini ya hidup terarah pada yang disebut keselamatan itu,” ungkap Uskup kelahiran Manggarai Barat, 17 Mei 1962 itu.

Frase “begitu besar kasih Allah akan dunia ini”, menurutnya,  memiliki arti bahwa karya Allah menyelamatkan itu dilaksanakan di dunia ini ini. “Jadi, bukan, sekali lagi, bukan suatu konsep yang teoritis belaka, artinya mengawang-awang sesuai dengan kita berpikir atau kita menganalisa dalam akal budi kita saja. Tetapi peristiwa keselamatan itu adalah peristiwa yang menyejarah dan itu dilaksanakan oleh Allah di dunia kita ini. Berarti terlibat dalam sejarah kehidupan manusia dan dunia konkretnya. Bagi saya ini penting dengan nanti implikasinya dalam hidup kita ialah bahwa kita sungguh -sungguh meyakini bahwa Allah terlibat dalam kehidupan kita ini,” ungkap pemilik motto episkopal Magnificat anima mea dominum itu.

Meskipun demikian, pandangan itu, menurutnya, bisa bertentangan dengan pandangan sekularisme fanatik dan kecenderungan ateisme praktis yang tidak mengakui campur tangan Allah dalam berkarya menyelamatkan dunia ini.

“Orang yang menerima atau yang mengarahkan hidupnya dengan mengikuti aliran sekularisme, dia tidak akan menerima gagasan keselamatan Katolik ini. Karena bagi dia tidak perlu Allah itu. Kita, dunia ini berkembang dengan dirinya,” katanya.

Sedangkan ateisme praktis, menurutnya, terlihat pada orang Katolik yang percaya kepada Kristus, tetapi dia tidak mewujudkan karya keselamatan dalam tindakan-tindakannya.

Menurutnya, ateisme atau sekularisme dengan menyisihkan peran Allah dalam hiruk pikuk hidup manusia bisa terlihat dalam gejala-gejala misalnya melegalkan aborsi. “Tidak mau menerima bahwa Allah itu mengajarkan kita untuk menyelamatkan sesama kita, terutama juga dalam hal ini misalnya bayi-bayi dalam kandungan yang memang lemah,  yang bergantung kepada manusia yang kuat. Tetapi manusia yang kuat ini tidak peduli. Bisa jadi itu juga ada ada unsur yang saya sebut tadi itu situasi di mana orang tidak percaya pada kehadiran Tuhan dalam dunia ini, dalam hidup kita,” katanya, seraya menambahkan hal itu juga terlihat dalam perdagangan manusia.

Mgr Paskalis kembali mengingatkan, Allah yang datang menyelamatkan bukanlah suatu konsep teoretis, tetapi suatu kenyataan bahwa Allah terlibat dalam dunia ini melalui orang-orang yang percaya pada-Nya. “Jadi, dunia dan seluruh hiruk pikuk  perjuangan manusia mengembangkan dirinya dalam dunia ini, dalam pandangan Gereja Katolik, tidak terlepas dari peran Allah, melalui siapa? Ya, melalui manusia-manusia yang percaya kepada-Nya dan yang ikut serta dalam menciptakan keselamatan,” katanya.

Menurutnya, kalau kita percaya pada Allah yang menyelamatkan, Yesus Sang Penyelamat, kita tidak akan berpangku tangan.

“Kalau saya percaya kepada Allah yang menyelamatkan saya, Yesus Sang Penyelamat, memandang Dia melakukan karya keselamatan itu, ya bukan berarti kita duduk berpangku tangan saja, kita tidak bekerja ikut serta. Tidak. Malah dengan kita percaya kepada Dia, ya kita mestinya disibukan bersama Dia untuk menciptakan keselamatan dalam dunia ini,” tegasnya.

Menurutnya, karya keselamatan yang terjadi dalam peristiwa inkarnasi, Allah menjadi manusia kalau  dirayakan secara liturgis ada dalam perayaan Natal. “Ini amat penting bahwa Allah masuk ke dalam dunia dan Dia terlibat secara penuh bahkan juga mengalami peristiwa yang kita sebut peristiwa salib, penderitaan, wafat-Nya yang kita rayakan dalam peristiwa Jumat Agung dan peristiwa kebangkitan. Jadi, Yesus sendiri mengalami kematian. Tapi bagi kita peristiwa salib itu adalah peristiwa puncak di mana Allah menyerahkan seluruh diri-Nya, pemberian Diri-Nya untuk menyelamatkan kita semua ini,” tuturnya.

Sedangkan peristiwa kebangkitan, menurutnya, adalah suatu tanda nyata bahwa karya keselamatan itu puncaknya mengalahkan kematian.

“Maka bagi kita, kita orang Katolik ya peristiwa kematian bukanlah peristiwa akhir dari kehidupan kita. Tetapi justru bersama Dia, kita ya mengatasi kematian dalam hidup ini, ya, dengan kepercayaan kita. Dalam arti tertentu juga akhirnya saya ingat Paus Yohanes Paulus II pernah mengingatkan kita agar kita berjuang untuk suatu kultur kehidupan (culture of life) itu diperhadapkan dengan yang kita sebut dengan culture of death (kultur kematian). Itu sebenarnya  bertentangan antara perjuangan menuju kehidupan dan perjuangan menuju kematian,” katanya.

Mgr Paskalis kembali menegaskan, manusia diselamatkan berkat karunia Allah. “Allah memberikan karunia ini, bahwa Dia menyelamatkan kita. Tetapi bukan berarti bahwa peran manusia itu diabaikan. Tidak. Dalam konsep kita, Gereja Katolik, bahwa keselamatan itu pertama-tama adalah karunia rahmat dari Allah. Allah itu memang melakukan ini. Dia tidak membiarkan kita mengalami kematian. Tapi Dia mengambil tindakan. Itulah karunia dari Allah. Bukan karena jasa kita juga. Tapi memang karena kasih Allah kepada kita. Nah, peran manusia ialah bahwa manusia dengan Dia percaya, ya dia ikut bersama Allah itu mewujudkan karya keselamatannya di dunia ini,” jelasnya.

Dalam perspektif Gereja Katolik, menurutnya, sejarah manusia dan sejarah dunia tidak bisa dilepaskan dari sejarah keselamatan Allah. “Jadi, Allah terlibat dalam membangun, mengembangkan dunia ini,” katanya.

Ajaran Gereja seperti dalam dokumen Konsili Vatikan II dan  Ajaran Sosial Gereja (ASG) mengarahkan kita agar membangun dunia ini.

Ajaran Gereja yang mengarahkan kita agar membangun dunia juga ada di Ensiklik Fratelli Tutti dan Laudato Si’.  “Arahan dari pimpinan Gereja kita untuk melihat bahwa karya Allah menyelamatkan itu juga dan bukan hanya juga tapi memang harus mendorong kita untuk membangun persaudaraan antar manusia. Maka konsep keselamatan itu juga menyangkut konsep persaudaraan, menyangkut konsep bagaimana kita memandang alam ini, ciptaan Tuhan juga sebagai saudara dan saudari yang diciptakan oleh Allah. Maka kita tidak memanfaatkan alam semesta itu untuk kepentingan ekonomis manusia saja. Karena dengan demikian kita memanipulasi alam ciptaan Tuhan. Kita tidak anggap dia sebagai saudara dan saudari,” katanya.

Sebagai orang Katolik, kembali ia mengulangi, kita tidak hanya diam, tetapi terlibat dalam karya menyelamatkan dunia ini. “Jadi kita tidak bisa kita diam-diam saja. Manusia Katolik harus terlibat dalam karya menyelamatkan dunia ini,” katanya.

Untuk menyampaikan cara memandang dunia ini, Mgr Paskalis pun mengutip ayat  Yoh 3:17. “Allah mengutus Putra-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.”

Dari teks tersebut, Mgr Paskalis mengingatkan, ada suatu kenyataan dosa, kenyataan kejahatan yang ada dalam kehidupan ini. Bagaimana Allah menuntun kita menghadapi kenyataan-kenyataan itu? “Ya, kita tidak menghakimi dunia ini, tetapi kita berjuang bagaimana kita menyadari kenyataan itu dan kita berusaha untuk mengatasi. Kita tidak tenggelam dalam dosa itu. Tapi menciptakan cara dan kondisi yang diperlukan untuk memperoleh keselamatan. Sehingga kita tidak jatuh dalam kenyataan dosa dan kejahatan-kejahatan dalam dunia ini,” katanya.

Menurutnya, ayat tersebut juga mengingatkan kenyataan bahwa dunia bukan yang kudus saja, tapi, juga ada kejahatan. “Saya juga ingat bahwa paus kita juga mengajak kita untuk melakukan discernment. Itu berarti kan kenyataan yang ada di dunia ini ialah ada hal yang jahat, tapi ada juga hal yang baik,” katanya.

Pada hal yang jahat dalam dunia ini, sambung Mgr Paskalis, kita tidak menghakimi,  tidak menghukum, tetapi bagaimana supaya kenyataan-kenyataan itu diubah menjadi lebih baik. “Dan saya kira spiritualitas injili itu amat jelas terlihat dalam karya Yesus sendiri di mana Dia tidak menghukum orang yang berdosa. Tetapi Dia memberi kesempatan, meneguhkan untuk melakukan perubahan ini. Ini juga menurut saya, ya, berkenaan dengan konsep keselamatan itu. Sehingga konsep keselamatan itu juga menyangkut tindakan belas kasih, tindakan kemurahan hati kita dan tindakan agar orang diberi kesempatan untuk bertumbuh, untuk berkembang menjadi baik. Kita tidak menjadi hakim-hakim yang menghukum orang ini dan itu, biasanya kuat juga dalam kehidupan menggereja kita,” katanya.

Mgr Paskalis mengingatkan bahwa kita kadang menghakimi, menghukum orang dengan, misalnya mengeliminir orang tersebut dari kelompok. “Padahal Tuhan sendiri tahu, menerima, bahwa memang itu ada kesalahan, tapi tidak bisa Dia mengeliminir, mengusir orang itu. Tetapi menerimanya untuk kemudian membangun orang itu menjadi manusia yang baru,” ungkapnya.

Tawaran praktis keselamatan

Mengingat bahwa keselamatan bukan suatu konsep yang teoretis saja, tetapi sesuatu yang mendarat dalam kehidupan kita, maka Mgr Paskalis menawarkan beberapa cara praktis yang bisa dilakukan. Pertama, tidak menghakimi dunia ini. “Jadi kita tidak hanya berhenti mengeluh saja, ya, terhadap kenyataan-kenyataan dosa, kejahatan bahkan kemudian kita menghakimi. Tetapi, ya kita seperti Yesus mengambil bagian untuk, ya, menghapus wajah-wajah kejahatan itu dengan tindakan-tindakan kita yang mempunyai ciri-coraknya menyelamatkan,” kata Mgr Paskalis. Menurutnya, tidak menghakimi adalah mengimani secara konkret sebagai pengikut Kristus.

Yang kedua, memeluk dan mengangkat dengan kasih yang menyelamatkan, yang menebus. Kristus menebus kita. “Kasih selalu lebih besar daripada dosa apapun yang dimiliki. Ingatlah, perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu. Jadi, kasih Bapa itu mengatasi dosa anak itu. Anak itu memang, dia, kalau mau dikatakan juga dia representasi kita, manusia,” katanya. Karena dosa, kita merasa dan berpikir sudah tidak pantas lagi. “Tetapi Allah justru melampaui cara berpikir kita manusia. Nah, Dia menerima anak itu dan tidak menghukumnya,” katanya.

Menurutnya, amat penting untuk mengarahkan diri supaya kita tidak menjadi orang-orang yang menghakimi orang lain. Bahkan menurutnya, ada kecenderungan besar dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan atau kelompok-kelompok rohani, yang di dalamnya tidak menghidupi arti keselamatan yang dipelajari dari Yesus, misalnya dengan menghakimi, menghukum, bahkan mengeliminir orang.

Yang ketiga, membebaskan orang dari kejahatan. Bentuk kejahatan beraneka ragam seperti kejahatan sosial, ketidakadilan, bahkan penindasan. Tindakan keselamatan juga bisa dilakukan dengan membebaskan orang dari penyakit, malapetaka, bencana alam dan segala hal yang dapat dianggap sebagai bencana dalam sejarah umat manusia.

Kita juga diundang untuk menyelamatkan orang dari kesengsaraan karena pengungsian akibat perang yang merupakan kesalahan manusia. Kita juga diajak untuk membebaskan orang dari kesengsaraan akibat kurang meratanya pendidikan dan kurangnya pembangunan di Indonesia. Kita juga diajak untuk peduli pada masalah kemiskinan yang akhirnya menimbulkan masalah stunting pada kelompok-kelompok tertentu. Semua itu, menurutnya, adalah peristiwa-peristiwa yang membelenggu manusia dalam kesengsaraan dan penderitaan.  “Nah, kalau kita bicara konsep Gereja Katolik berkenaan dengan keselamatan, ini juga harus menjadi bagian perhatian dari kita,” tegasnya.

Keempat, membebaskan dari kejahatan yang telah berakar. “Kejahatan pokok yakni kematian bagi kita, dosa. Dan dengan percaya kepada Kristus itu, Allah yang terlibat itu, maka keselamatan itu terjadi. Jadi, kematian dalam hidup kita itu tidak lagi menjadi kata akhir, tetapi itu suatu perjalanan menuju kehidupan yang baru,” tegasnya.

Agama Kristen: Agama Keselamatan

Mgr Paskalis mengatakan, agama Kristen-Katolik adalah agama keselamatan. “Ya, karena kita percaya kepada Dia yang memang mengajarkan kepada kita akan keselamatan itu,” katanya.

Keselamatan itu juga diungkapkan dalam kehidupan sakramental Gereja. Sakramen Baptis memberikan kehidupan yang baru, menenggelamkan dosa. “Sakramen Ekaristi juga yang memberi kehidupan kepada kita, benih-benih kehidupan baru pada kita. Sakramen pernikahan ya membangun kehidupan bersama bukan membangun kejahatan bersama,” katanya.

Sakramen Tobat memberikan kesempatan orang untuk mulai hidup yang baru. “Jadi keyakinan kita bahwa agama yang saya anut ini sekali lagi mestinya membuat kita juga menjadi orang-orang yang siap membawa keselamatan. Dan itu terlihat juga dalam bidang sakramen-sakramen Gereja,” kata Mgr Paskalis.

Meskipun agama berorientasi pada hidup kekal, terhadap kebahagiaan yang ditemukan dalam Allah sendiri dan itu memang kesempurnaannya namun, menurut Mgr Paskalis, agama Kristen-Katolik tidak pernah menjadi suatu agama yang acuh tak acuh terhadap dunia ini. “Dia agama yang Anda anuti dan saya juga yakini itu adalah agama yang selalu terbuka terhadap dunia, terhadap masalah-masalahnya, terhadap kecemasan-kecemasan dan harapan masyarakat. Itu ditegaskan dalam Gaudium et Spes,” katanya.

Maka, lanjutnya, kalau ada orang seperti romo atau suster terlibat dalam karya penanganan masalah perdagangan manusia, itu jangan dilihat seolah-olah di luar panggilan hidupnya sebagai romo atau biarawati.

“Agama Kristen tidak pernah menjadi suatu agama yang acuh tak acuh terhadap dunia, yang tidak peduli terhadap masalah-masalah kemanusiaan,” katanya.

Jadi, lanjutnya, sejarah keselamatan mesti memberi inspirasi baru untuk menafsirkan sejarah umat manusia ini. “Peristiwa-peristiwa yang kita alami ya harus dilihat juga dalam konteks apakah kita sungguh-sungguh mengikuti kehendak Allah,” katanya.

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *