Seperti dilansir Kompas.com (11/8/2022), menurut Presiden Joko Widodo, ketahanan dan kedaulatan pangan menjadi persoalan yang sangat serius, serta perlu mendapat penanganan sebaik dan secepat mungkin. “Ini persoalan yang sangat serius, perlu penanganan yang komprehensif, perlu antisipasi sedini mungkin, secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya,” kata Jokowi. Adapun tindak lanjut tersebut perlu dilaksanakan dengan melibatkan multi sektor dan pihak terkait, untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. (https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/11/080200223/memperkuat-ketahanan-dan-kedaulatan-pangan-nasional-ini-komitmen-bmkg?page=all.)
Jokowi juga menyebutkan jika tidak segera diantisipasi sejak sekarang, diprediksikan ada 13 juta orang atau lebih akan kelaparan akibat terhambatnya rantai pasok dunia pengaruh dari perubahan iklim.
Ke depan, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, kita membutuhkan pangan yang lebih banyak. Sayangnya, selain lahan pertanian yang makin berkurang karena alih fungsi lahan, rusaknya lingkungan hidup, jumlah petani pun menurun, tak sedikit orang yang enggan menjadi petani.
Gereja terlibat dalam ketahanan pangan
Selain negara yang mengusahakan ketahanan pangan, Gereja pun turut terlibat dalam usaha tersebut. Inspirasinya adalah Yesus sendiri yang memerintah para murid untuk memberi makan pada orang-orang yang mengikuti-Nya. Suatu ketika, Yesus dan para murid hendak ke tempat sunyi, supaya bisa sendiri dan beristirahat. Hal itu dilakukan karena begitu banyak orang datang dan pergi sehingga mereka pun tidak sempat makan. Namun, orang banyak tetap mengikuti-Nya. Karena tergerak oleh belakasihan, Yesus pun mengajar mereka. “…karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala.” (Mrk 6:34a).
Hari mulai malam, para murid gusar, lalu memberi usul pada Yesus supaya orang-orang yang mengikuti-Nya pergi. “Suruhlah mereka pergi, supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa dan di kampung-kampung di sekitar ini.” (Mrk 6:36).
Namun jawaban Yesus justru mengejutkan. Alih-alih menyetujui usul para murid-Nya, dan dengan demikian beban pun ringan, mereka bisa beristirahat, namun, Yesus justru memberi perintah pada para murid supaya memberi makan pada para pengikut-Nya. “Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk 6:37). Ia rupanya tidak tega pada orang-orang itu pergi untuk membeli makanan apalagi setelah sekian waktu mengikuti-Nya.
Perintah supaya memberi makan seperti yang disampaikan Yesus tetap relevan untuk dilakukan pada saat sekarang. Maka, Gereja sudah layak dan sepantasnya untuk mengupayakan memberi makan. Dalam hal ini adalah ketahanan pangan. Terlebih saat ini begitu banyak tantangan yang menghadang terkait dengan ketersediaan pangan. Ledakan jumlah penduduk menuntut perhatian tersendiri mengenai ketersediaan pangan. Banyak mulut yang membutuhkan makanan. Lahan pertanian produktif banyak yang beralih fungsi, sehingga area pertanian menyempit.
Kerusakan lingkungan yang berimbas pada anomali cuaca dan musim serta rusaknya tanah dan air kerap menggagalkan panen para petani. Budaya membuang-buang makanan masih dilakukan sebagian masyarakat kita, baik yang dibuang setelah panen dan belum diolah (food loss) maupun dibuang setelah makanan diolah dan siap konsumsi (food waste).
Ketersediaan pangan juga mengalami tantangan ketika profesi petani jarang dilirik karena dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi. Pola pertanian konvensional yang tidak ramah lingkungan turut memperparah kerusakan tanah dan ekosistem serta berakibat tidak baik pada kesehatan manusia. Tanah dan organisme pendukung pertanian pun terganggu yang berakibat pada tidak optimalnya pertanian itu sendiri.
Berbagai langkah nyata dilakukan Gereja untuk terlibat dalam menjaga ketahanan pangan. Beberapa paroki di Semarang yang memiliki lahan yang cukup luas mulai memanfaatkan lahan-lahan paroki yang selama ini tidak dimanfaatkan.
Paroki Sambiroto salah satunya. Dengan lahan sekira 2000 meter pun, umat mulai menggarap tempat itu dengan menanam beberapa tanaman pangan. Untuk menggarap lahan, mereka membentuk kelompok kerja berdasarkan wilayah perumahan.
Salah satu lingkungan di paroki, yakni Lingkungan Santo Andreas Graha Muda terlibat dalam usaha mengolah lahan yang biasa disebut Domus Pastori tersebut. Bahkan mereka memberi nama paguyubannya “Kebun SeGer” yang merupakan akronim dari Sayuk Guyub Rukun. Koordinator paguyuban Markus Krisna Wardana dalam kesempatan Sharing Karya Pekan Laudato Si di Semarang mengatakan, pembukaan lahan sempat mengalami berbagai tantangan mengingat tanah tersebut mangkrak sekian lama. Namun dengan semangat gotong royong umat pun berhasil mengolah lahan dan menanam berbagai tanaman pangan bahkan sudah bisa panen berkali-kali.
Selain umat bisa menikmati hasil panen, Markus menyampaikan bahwa kegiatan tersebut ternyata bermanfaat untuk meningkatkan keguyuban umat dan bisa menjadi sarana olahraga. Bahkan tak hanya untuk orang tua, anak-anak pun kerap bermain di area tersebut. “Anak-anak belajar mengenal cara berkebun,” kata Markus. Lahan yang sebelumnya dipenuhi semak belukar kini menjadi pemandangan yang menyejukkan mata dengan aneka tanaman pertanian.
Hal yang sama pun dilakukan di Paroki Banjardowo. Lahan di samping gereja yang semula ditumbuhi semak belukar dan alang-alang pun disulap menjadi lahan produktif. Umat di lingkungan ambil bagian untuk mengolah lahan tersebut. Salah satu pengurus kebun, Handoko, menjelaskan meski awalnya banyak mengalami tantangan, berkat dukungan dari berbagai pihak, lahan yang semula penuh dengan semak belukar pun menjadi lahan yang bisa menghasilkan aneka tanaman pangan. “Dulu kalau masuk ke kebun itu orang bisa hilang,” demikian Handoko menggambarkan situasi kebun yang penuh dengan semak belukar karena tidak terkelola dengan baik. Saat ini siapapun yang masuk kebun tersebut akan disuguhi pemandangan indah karena berbagai tanaman ditanam dengan perawatan yang baik. Bahkan mereka sudah panen berkali-kali. Tentu hal ini akan semakin baik, jika paroki atau keuskupan yang memiliki lahan namun masih mangkrak bisa mulai mengolahnya untuk bercocok tanam. Dengan demikian tanah menjadi produktif dan berkontribusi pada ketersediaan pangan bagi umat dan masyarakat.
Paroki Bedono pun melakukan gerakan seputar pertanian. Hal itu diawali dengan gerakan mandiri sayur. Umat diajak untuk bersama-sama menanam sayur mayur di pekarangan rumahnya. Rupanya gerakan itu menarik minat warga lainnya, bahkan diadopsi menjadi gerakan di tingkat desa dan kecamatan. Dalam kelanjutannya, paroki mulai menghidupi gerakan pangan lokal seperti kimpul plocot, kopi dan jali.
Bahkan khusus untuk jali mendapat perhatian lebih di bawah paguyuban Laudato Si’ Camp (eLSi Camp). Direktur eLSi Camp, Irena Frieda dalam sharing karya Pekan Laudato Si’ di Salatiga mengatakan, jali merupakan tanaman pangan yang sudah biasa dikonsumsi masyarakat sejak dulu. Namun, saat ini menjadi kurang popular. Padahal, tanaman tersebut mempunyai kandungan gizi yang sangat baik dan bisa ditanam di lahan yang kritis sekalipun.
Gerakan pemanfaatan lahan pun terjadi di Kelurahan Sukamulya, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Lahan yang semula menjadi tempat pembuangan sampah warga akhirnya bisa diubah menjadi lahan produktif oleh warga dengan dukungan dari Paroki Cigugur dan Komisi PSE Keuskupan Bandung. Mereka menamakan diri Kelompok Wanita Tani Mitra Rahayu Sukamulya. Semula lahan tersebut sungguh menjijikkan karena menjadi tempat buangan aneka macam sampah warga. Hingga pada saatnya, keberadaan sampah tersebut mengganggu warga itu sendiri. Berkat pendampingan dan pemakaian teknologi pengolahan sampah, lahan yang semula dipenuhi sampah diubah menjadi lahan produktif bahkan hanya memerlukan waktu yang singkat. Teknologi itu bisa mempercepat penguraian sampah. Sehingga aneka tanaman sayur pun bisa ditanam di daerah tersebut. Teknologi tersebut memakai konsorium bakteri baik dan kotoran sapi yang melimpah di daerah tersebut. Di desa tersebut mayoritas warganya memelihara sapi.
Sebelumya, Keuskupan Bandung melalui PSE dan Paroki Cigugur mendampingi warga yang bergabung dalam Paguyuban Pangan Sehat Lestari untuk mengolah kotoran sapi dan sampah organik menjadi pupuk dan media tanam yang berguna. Kotoran sapi yang sebelumya hanya dibuang ke sungai dan mencemari sungai akhirnya diolah menjadi pupuk dan media tanam. Untuk melayani kebutuhan petani akan pupuk, PSE dan Paroki Cigugur pun mengusahakan pupuk lascing (Tilas Cacing). Pupuk tersebut dibuat dari kotoran sapi dengan memanfaatkan cacing.
Pencegahan sampah makanan
Upaya sebaik apapun terkait dengan ketahanan pangan perlu diimbangi dengan animasi pentingnya menghargai pangan. Hal ini penting mengingat budaya membuang makanan masih menjadi gaya hidup sebagian masyarakat kita.
Dalam beberapa kesempatan dan kembali di tegaskan dalam Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus mengritik keras tentang budaya membuang makanan. “…kita tahu bahwa kurang lebih sepertiga dari seluruh makanan yang diproduksi dibuang, dan setiap kali makanan dibuang itu seolah-olah mencuri makanan dari meja orang miskin.” (LS 50).
Harian Kompas (19/5/2022) merilis data mencengangkan. Berdasar penelitian Bappenas (2021), potensi sampah yang dihasilkan dari makanan yang terbuang sebelum diolah (food loss) dan sampah makanan (food waste) di Indonesia pada tahun 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara dengan 115-184 kg perkapita per tahun. Setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan setara Rp 2,1 juta pertahun. Hasil analisis “Kompas” menemukan, nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun pertahun. Ini kalau dibiarkan terus menerus, tentu sangat disayangkan terlebih ketika ada yang masih kekurangan makanan dan menderita stunting.
Terkait dengan food loss, seperti dilansir Kompas.com (1/10/2022), Vice President of Growth and Marketing Segari Michelle Arsjad mengatakan bahwa ada dua aspek yang menjadi tantangan dalam pengelolaan ketahanan pangan di Indonesia saat ini yakni masalah rantai pasokan dan minimnya pangan berkualitas unggulan.
“Sebenarnya hasil tanam dari petani lokal banyak yang bagus, tapi karena rantai pasokannya panjang, saat pangan sampai ke tangan ke konsumen kualitasnya sudah tidak bagus,” kata Michella saat acara talkshow “Ketahanan Pangan Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat dan Petani” di kafe Kopi Perempuan Tani pada Rabu (28/9/2022).
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Gereja mesti mengambil peran penting dengan terus tanpa lelah mengedukasi umat untuk menghargai makanan sebagai anugerah Tuhan. Hal itu bisa dilakukan dengan menerapkan kebiasaan di setiap kegiatan Gereja ataupun umat untuk selalu menghabiskan makanan sedemikian rupa, tanpa harus membuangnya dengan sia-sia. Gereja juga sebisa mungkin membantu rantai distribusi hasil panen supaya cepat sampai kepada konsumen. Dengan demikian food loss rendah, dan serapan pasar tinggi, sehingga petani diuntungkan.
Diferensiasi pangan
Seperti yang telah dilakukan di Paroki Bedono, kita sudah semetinya mulai mengonsumsi keanekaragaman pangan di masing-masing daerah. Tiap daerah tentu memiliki pangan lokal yang khas. Dengan mengonsumsi pangan lokal, kita juga memperpendek rantai distribusi yang panjang yang berakibat pada tingginya jejak karbon. Dengan mengonsumsi pangan lokal, kita juga mencegah terjadinya ketergantungan pada komoditas pangan tertentu.
Pembekalan ketrampilan bertani
Mengingat pangan adalah hal yang penting bagi kehidupan manusia. Sudah selayaknya pula, Gereja mengedukasi umatnya untuk turut bersama-sama memproduksi pangan dalam konteksnya masing-masing. Jika pangan berlebih tentu bisa didistribusi kepada yang membutuhkan dengan memakai jejaring yang ada. Teknik bertaninya pun sebisa mungkin menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dengan demikian aman bagi kesehatan tubuh maupun lingkungan. Umat diajak untuk mengonsumsi pangan sehat bagi kesehatan tubuhnya.
Tidak harus dilahan yang luas, lahan sempit pun bisa menjadi area bertani. Bahkan dengan memanfaatkan barang-barang bekas sebagai pot-pot tanaman. Bertani pun bahkan bisa dilakukan di wilayah perkotaan yang notabene memiliki lahan sempit. Sebisa mungkin pula, karena bertani juga membutuhkan pupuk, adalah kesempatan baik, jika umat diajak pula untuk mengolah sampah organiknya supaya bisa dijadikan pupuk bagi tanaman-tanamannya. Bukankah dengan ini, pertanian bisa dijalankan sekaligus juga merawat bumi bebas dari pencemaran sampah?
Gerakan tersebut di atas menjadi inspirasi kesungguhan umat menanggapi perutusan terlibat merawat ibu bumi rumah kita bersama.
Kolaborasi semua pihak yang berkehendak baik merawat bumi rumah kita bersama baik terus digalang. Gereja sinodal terus digelorakan baik hirarki, Kon’gergasi , komisi2 , swasta dan pemerintah bersinergi membangun ekonomi berkelanjutan dengan mengindahkan dalil2 alam lestari . Mengikis eksploitasi berlebihan dan mengurangi dampak pencemaran lingkungan hidup.