Hari ini kita merayakan pesta satu orang kudus, St Theresia Kanak-kanak Yesus. Theresia lahir di Alencon – Perancis tahun 1873 dan masuk biara pada usia 15 tahun. Sembilan tahun hidup membiaranya diwarnai dengan pengalaman spiritual yang mendalam. Ia melatih diri dalam kerendahan hati, kesederhanaan injil, dan penyerahan diri kepada belas kasih Allah.
Melalui tulisan-tulisannya menjadi nyata bahwa Theresia pantas menjadi teladan hidup rohani dalam semangat sabda bahagia. Dia wafat tanggal 30 sept 1897, dan dikanonisasi 1925 serta dinyatakan sebagai Pujangga Gereja oleh Paus Yoh Paulus II.
Dalam 1Kor 12: 31-13: 13 Paulus menyapa umatnya: “Saudara-saudari, berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama. Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi.
Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.
Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap, sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, yang tidak sempurna itu akan lenyap.
Ketika kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.
Sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
Matius dalam injilnya (Mat 18: 1-5) mewartakan: “Pada waktu itu datanglah para murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka.
Lalu Dia berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.”
Hikmah yang dapat kita petik:
Satu, melalui tulisan-tulisannya menjadi nyata bahwa Theresia pantas menjadi teladan hidup rohani dalam semangat sabda bahagia.
Tulisan sepertinya tidak berguna dan hanya begitu-begitu saja, namun ketika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, dan direnungkan, dia bisa memberikan inspirasi. Sering juga dia mendorong orang untuk membuat pembaruan diri.
Hendaknya kita meluangkan waktu untuk membaca. Melalui tulisan yang sederhana, atau yang sulit atau yang agak aneh, Allah menyapa kita untuk hidup baru.
Dua, para murid bertanya kepada Yesus: “Siapakah yang terbesar dalam kerajaan sorga ?” karena mereka ingin menjadi orang besar.
Di sisi lain, Paulus menegaskan biar pun dia punya semuanya (= harta, kedudukan, popularitas, bahkan menyerahkan tubuhnya untuk dibakar), jika tidak mempunyai kasih, dia sama sekali tidak berguna.
“Nama besar” diraih bukan karena harta, takhta dan popularitas, tetapi karena kasih yang diwujudkan dalam perbuatan. Amin.
Mgr Nico Adi MSC