Berikut ini adalah homili Bapak Ignatius Kardinal Suharyo dalam Misa Pengukuhan Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) periode 2022-2026 di Jakarta, 31 Juli 2022.
Para Ibu dan Bapak, Saudari-Saudaraku yang terkasih di dalam Kristus,
Pertama-tama mewakili Konferensi Waligereja Indonesia, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) yang sudah mengakhiri tugas pelayanannya. Terima kasih untuk semua usaha menemukan jalan-jalan kreatif untuk memajukan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia.
Saya juga ingin mengucapkan selamat kepada para Bapak dan Ibu yang diserahi tugas untuk melanjutkan pelayanan ini sebagai Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia. Tentu tantangan yang dihadapi oleh presidium pusat yang sudah menyelesaikan tugasnya dan yang akan dihadapi oleh presidium pusat yang akan memulai pelayanannya berbeda.
Tetapi kita boleh yakin di dalam kebersamaan, moga-moga juga dengan rahmat Tuhan tantangan-tantangan itu akan berubah menjadi kesempatan untuk semakin erat di dalam kerjasama menemukan kehendak Tuhan di dalam berbagai macam realitas yang semakin kompleks ini. Saya tertarik pada doa pembuka yang dirumuskan, kalimat pertamanya begini: “Allah Bapa sumber inspirasi kebaikan”. Bagi saya, doa ini menarik karena jarang sekali doa pembuka di dalam misa itu diawali dengan kalimat seperti itu. Inspirasi.
Saya membacanya demikian. Kita semua tahu, menurut antropologi Kitab Suci, yang namanya manusia itu terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh. Tubuh kita membutuhkan kekuatan fisik agar tanggungjawab seberat apapun dapat kita jalankan.
Jiwa kita membutuhkan motivasi, motivasi mental, motivasi psikologis manusiawi supaya semangat kita tidak cepat pudar. Belum cukup itu, sebagai manusia kristiani, kita membutuhkan inspirasi. Roh kita membutuhkan inspirasi. Dan saya yakin akhirnya inilah yang menentukan apapun yang kita kerjakan meskipun sama dengan yang dikerjakan oleh saudari-saudara kita yang lain, inspirasi kita, iman kita, itulah yang menentukan keistimewaannya.
Oleh karena itu, tantangan kita adalah menemukan inspirasi itu. Dan saya memilih salah satu kalimat pendek dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose yang tadi kita dengarkan sebagai tawaran, renungan untuk inspirasi kita. Kalimatnya sangat pendek “Kristuslah hidup kita”. Kalimat ini menjadi lebih panjang di dalam Surat Rasul Paulus yang lain. Salah satu yang boleh saya kutip adalah “Bukan lagi aku yang hidup, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku”. Kalimatnya berbeda isinya sama.
Di dalam ajaran Gereja yang resmi, bukan ajaran saya, bukan pendapat saya, dikatakan bahwa kita semua, siapapun kita, dalam status apapun, kita mempunyai panggilan yang sama, yaitu kita semua dipanggil untuk bertumbuh menuju kepenuhan hidup kristiani. Menuju kesempurnaan kasih. Menuju kesempurnaan kesucian. Kalimatnya berbeda karena ini ajaran Gereja. Yang lain adalah tulisan Kitab Suci. Pertanyaannya adalah kalau kita berani mengatakan Kristuslah hidup kita, indikatornya apa? Karena mengatakan Kristuslah hidup kita itu gampang. Tetapi indikatornya apa? Banyak semestinya. Salah satunya yang saya pilih sebagai latar belakang tema ini adalah bahwa Yesus itu pribadi yang sangat peduli. Dalam berbagai macam kesempatan kalau kita membaca Kitab Suci, membaca Injil, setiap kali Yesus melihat hal-hal yang tidak beres, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan. Ini kata-kata refrein di dalam Injil.
Ketika melihat orang banyak seperti domba tanpa gembala, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan. Peduli. Dan tentu wajah kepedulian Yesus itu mencerminkan Allah yang peduli. Sangat berbeda dengan yang diceriterakan di dalam injil. Silakan membayangkan seorang yang bisa mengatakan begini. “Inilah yang akan kuperbuat aku akan merombak lumbung-lumbunku, lalu mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum serta barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku ada padamu banyak barang tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; istirahatlah, makanlah, minumlah, dan bersenang-senanglah.” (Luk 12:18-19)
Ini lawan kata dari peduli. Orang yang sama sekali tidak peduli. Dan kepedulian itu saya yakin, saya tidak salah kalau saya mengatakan ada indikator dari hormat kita kepada martabat manusia. Menurut pemahaman saya, orang yang diceriterakan di sini sama sekali tidak menghormati martabatnya sendiri. Bagaimana mungkin dia dapat menghormati martabat orang lain? Bahkan berbicara pun dia tidak mempunyai siapa-siapa. Dia berbicara sendiri seperti orang yang….apa namanya terserah mengisi sendiri kata-kata itu.
Kawan pun tidak punya karena apa? Karena dia tidak mampu menghormati martabatnya sendiri, tidak mampu menghormati martabat orang lain. Dan saya yakin kalau sampai dia tidak mempunyai siapa-siapa yang ada di dekatnya karena dia juga tidak menghormati kesetaraan itu. Contoh kontras sangat jelas. Yesus bagi kita adalah pribadi yang mencerminkan wajah Allah yang peduli. Sementara orang yang diceriterakan di dalam Injil adalah kontras yang sebaliknya.
Dan seringkali kita dapat memahami yang satu kalau kita mengkontraskan dengan yang lain. Saya ambil contoh kalau saya ditanya, merah itu apa? Jawabannya sangat susah tetapi kalau dikontraskan dengan hijau lalu maksudnya jelas. Merah itu berhenti. Hijau itu jalan terus. Jelas. Demikian juga kepedulian atau hormat terhadap martabat manusia dan kesetaraan menjadi sangat mudah dipahami dengan kontras tokoh yang diceriterakan di dalam Injil.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Tentu mengucapkan kata peduli itu gampang. Tetapi kita juga boleh yakin bahwa yang namanya peduli dan mengembangkan watak peduli itu membutuhkan kajian. Kajian sosial, kajian budaya, bahkan akhirnya, saya berani mengatakan, untuk membangun masyarakat yang peduli satu sama lain, membutuhkan keputusan politik. Dan itulah wilayah yang para Bapak dan Ibu hadapi di dalam tugas perutusan, pelayanan, di dalam Ikatan Sarjana Katolik Indonesia.
Salah satu penelitian yang saya baca beberapa waktu lalu mengenai kepedulian isinya seperti ini. Ada satu lembaga internasional yang namanya Charities Aid Foudation (CAF). Pada tahun 2018, dan saya cek masih berlaku pada tahun 2020, lembaga ini mengadakan penelitian di dalam judul “World Giving Index” (Kerelaan Memberi). Yang diteliti 146 negara, dan kita boleh bangga menurut penelitian itu, bukan penelitian pesanan tentu, Indonesia ditempatkan pada nomor satu di antara 146 negara dalam hal kerelaan memberi.
Lembaga yang kedua (The Legatum Institute, Red), yang disebut The Legatum Prosperity Index, membuat penelitian lain. Ada macam-macam item yang diteliti, salah satunya adalah modal sosial. Yang diteliti 167 negara. Dan menurut lembaga ini dalam hal modal sosial, Indonesia menempati urutan ke-6 dari antara 167 negara ini.
Penelitian-penelitian seperti ini akhirnya mengajak kita, hasilnya jelas bahwa kita mempunyai warisan yang sangat mulia sebagai bangsa yang sungguh rela berbagi, yang sungguh peduli, apapun tantangannya. Panggilan kita adalah dengan inspirasi Allah yang peduli, kita diajak untuk terus merawat watak bangsa kita, mengembangkan watak bangsa kita yang peduli itu, karena kepedulian adalah salah satu indikator yang sangat penting, menurut keyakinan saya. Bahwa kita menghormati martabat manusia dan menghormati kesetaraan.
Marilah kita berdoa agar Ikatan Sarjana Katolik Indonesia terus berusaha menemukan jalan-jalan baru untuk terus merawat dan mengembangkan rasa cinta tanah air dengan berbagai macam indikatornya.