
Pedagogi perubahan sosial
Etik yang mengajar sejarah di SMA Kolese Loyola Semarang itu mencoba merekonstruksi pedagogi yang diberi nama Pedagogi Perubahan Sosial (PPS). Ada 3 pedagogi di dalamnya. Pertama, Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) atau paradigma pedagogi Ignasian. Pedagogi ini menekankan pada pengalaman, refleksi dan aksi sebagai inti dari pembelajaran yang dilakukan dalam konteks tertentu dan pada setiap tahap bisa dievaluasi. “Untuk sebuah paradigma pendidikan, saya sangat setuju kalau Paradigma Pendidikan Reflektif ini memang memiliki daya ubah yang luar biasa karena pemberian pengalaman itu tidak berhenti di situ saja. Tapi pemberian pengalaman belajar kepada anak-anak itu disertai refleksi. Refleksi tidak berhenti pada refleksi, tetapi pada aksi. Bahwa cinta dikatakan dengan kata-kata dan perbuatan itu bisa diwujudkan melalui Paradigma Pedagogi Reflektif,” katanya.
Kedua, Pedagogi Digital Kristis (Critical Digital Pedagogy). Pedagogi ini mengakomodasi penggunaan teknologi digital untuk pendidikan anak-anak zaman sekarang. “Jadi, teknologi itu digunakan untuk sarana pembelajaran. Nah, tetapi ceritanya di luar negeri itu, guru-guru atau pemerhati pendidikan itu menjadi khawatir bahwa teknologi itu akan menggerus unsur-unsur kemanusiaan dari murid, unsur-unsur rasa, critical thinking, sehingga mereka menciptakan sebuah pedagogi yang basisnya itu menggunakan teknologi tetapi juga disertai dengan unsur-unsur kritis, pengembangan critical thinking anak untuk melihat realitas hidup. Dan ini menarik, saya kira cocok sekali dengan konteks saat ini, bahwa dunia kita itu dunia digital. Apalagi kemarin masa pandemi, di mana kita ini berubah dari offline menjadi online sehingga kita sangat tergantung dari teknologi. Maka, pedagogi yang tepat, ya, pedagogi digital kritis,” katanya.
Ketiga, Pedagogi Kebaikan. “Karena banyak yang khawatir bahwa anak-anak akan terjebak pada hal-hal yang mekanis dari teknologi yang begitu pesat ini, maka berkembang juga yang namanya pedagogi kebaikan atau Pedagogy of Kindness. Di mana Pedagogi Kebaikan ini menekankan fokus pedagoginya itu pada relasi. Relasi antara guru dan murid itu relasi yang tidak membuat murid itu menderita, tidak membuat murid itu takut, tetapi relasi yang mengembangkan. Murid diajak untuk percaya diri. Guru harus percaya terhadap murid,” katanya.
Menurutnya, Pedagogi Kebaikan tersebut menawarkan sebuah paradigma baru bahwa guru harus percaya pada murid. Ketika murid itu diberi kepercayaan, maka murid itu juga akan memberikan kepercayaan terhadap guru. Ada relasi yang baik antara guru dan murid. “Ada trust. Ada percakapan yang baik. Ada kepedulian. Guru bisa diakses oleh murid. Guru mengembangkan empati,” katanya.
Transformasi diri dan transformasi sosial
Tujuan akhir dari rekonstruksi pedagogi humanis, menurutnya, adalah transformasi diri dan transformasi sosial. Pendidikan harus membawa perubahan. Untuk bisa membawa perubahan tersebut, menurut Etik, proses pembelajaran harus siklik, menggunakan Paradigma Pedagogi Ignatian atau PPR. Bahwa pengalaman-pengalaman menggunakan alat-alat digital, pengalaman menggunakan medsos, dan sarana pembelajaran lainnya tidak berhenti hanya di situ. “Jadi, harus direfleksikan. Nah, setelah direfleksikan anak tergerak untuk melakukan aksi, dan ini siklik. Jadi, dinamika di dalam kelas itu siklik antara pengalaman, refleksi dan aksi,” katanya.
Supaya pedagogi bisa berjalan dengan baik, menurutnya, prosesnya harus dilakukan dengan relasi yang baik, fokus pada proses, dan tulus.
“Dasar-dasar pemahamannya ya ini, konstruktivis, kemudian integratif, reflektif dan sebagainya. Ini dilakukan dalam konteks-konteks tertentu. Ini pedagogi yang dikembangkan ketika masa pandemi dan bisa digunakan di luar pandemi juga,” katanya.
Jadi, imbuhnya, anak-anak melakukan sebuah aksi. Pembelajarannya adalah project base learning atau problem base learning. “Jadi, anak itu dihadapkan pada realitas hidup mereka. Lalu, mereka melakukan apa untuk memperbaiki dunia,” katanya.
Dari rekonstruksi pedagogi tersebut, Etik menemukan, pendidikan Katolik adalah proses penyadaran diri, bukan hanya murid tetapi juga guru. “Proses pendidikan Katolik juga menjadi saksi terjadinya transformasi diri dan sosial dan semuanya itu hanya kita peruntukan untuk lebih besarnya kemuliaan Tuhan,” katanya.
Supaya sekolah-sekolah Katolik saat ini tetap dapat merespons dengan lebih baik ke depan, menurutnya, sekolah Katolik harus melakukan reorientasi yang terus menerus terhadap tujuan pendidikan. “Bahwa tujuan pendidikan ini adalah mempersiapkan siswa menjadi manusia utuh yang berguna bagi orang lain. Dan reorientasi itu juga mestinya diarahkan kepada lifeskill yang nanti akan anak hadapi di kemudian hari,” ungkapnya. Menurutnya, guru sekolah Katolik harus visioner. “Mesti bisa melihat jauh ke depan, sehingga kita bisa memprediksi bekal-bekal lifeskill apa yang harus kita berikan pada murid,” katanya.
Supaya pendikan Katolik semakin berprospek, menurutnya, sekolah Katolik dan gurunya harus berkolaborasi dan berjejaring. “Saya kira gerakan transformasi diri dan transformasi sosial itu akan semakin menggema, akan menjadi sebuah gerakan yang masif untuk mempersiapkan anak-anak di masa depan itu, kalau kita satu sama lain itu bekerja sama, berkolaborasi dalam sebuah jejaring,” tegasnya. Ia berharap KWI dan APTIk mempunyai platform digital yang bisa mewadahi semua sekolah Katolik di seluruh Indonesia dan bisa memfasilitasi untuk saling melakukan sharing terkait pendidikan.
“Bahwa networking, berhubungan dengan institusi lain itu akan mendorong inovasi baru. Dan inovasi baru itu adalah sebuah transformasi sosial. Sehingga murid itu merasa bahwa bersekolah di sekolah Katolik itu berarti bergabung dengan sekolah yang lebih luas dari sekolahnya sendiri supaya mereka itu ketika melakukan transformasi sosial itu memiliki dampak yang lebih luas. Dengan begitu maka, dunia ini akan menjadi lebih baik,” pungkasnya.