Mendengarkan dengan Telinga Hati

Penutup

Sebagai pesan pada akhir tulisan, ada 4 hal penting (3 singkat, 1 panjang) agar didengarkan dengan telinga hati pada masa sekarang ini. Yaitu, a). Realita adanya pandemi; b). Realita adanya banyak migran; c). Realita perusakan lingkungan hidup dan pemanasan bumi (tambahan penulis); d). Gereja yang sedang mengadakan sinode.

a. Kehidupan kita dilukai oleh pandemi Covid-19 dengan turunannya. Pantas bahwa kita mendengarkan dengan hati kepada keluarga-keluarga yang berduka karena yang dikasihi dan dicintai telah tiada, padahal banyak dari mereka adalah tulang punggung keluarga. Ditambah oleh kegelisahan sosial yang diperparah oleh penurunan atau penghentian banyak kegiatan ekonomi. Banyak orang kehilangan pekerjaan sekaligus sumber nafkahnya. Ditambah melonjaknya harga kebutuhan hidup, seperti minyak goreng dan bensin.

b. Realitas migrasi paksa juga merupakan masalah yang kompleks, dan tak seorang pun memiliki resep siap pakai untuk menyelesaikannya. Banyak prasangka. Untuk mengatasi pelbagai prasangka atas para migran dan untuk mencairkan kekerasan hati, kita harus mencoba mendengarkan cerita mereka. Berilah mereka masing-masing sebuah nama dan suatu cerita. Banyak jurnalis yang baik sudah melakukan ini. Dan, banyak jurnalis lain ingin melakukannya, jika saja mereka dapat. Mari kita dorong mereka! Mari kita dengarkan cerita-cerita ini! Kemudian setiap orang akan bebas mendukung kebijakan migrasi yang mereka anggap paling tepat untuk negara mereka sendiri. Akan tetapi saat ini, bagaimanapun juga, di depan mata kita mereka bukan angka, mereka bukanlah para penjajah berbahaya, tetapi wajah dan cerita, tatapan, harapan, dan penderitaan pria dan wanita nyata yang harus didengarkan.

c. Kerusakan hutan dan pemanasan bumi telah nyata kita rasakan akibatnya. Yaitu banyak tanah longsor dan banjir bandang. Sampah mencemari sungai dan laut. Banyak mikroba. Ikan mati. Di darat, gajah pun mati karena habitatnya semakin sempit. Kita perlu prihatin dan bertindak menanggapi jeritan bumi, sungai dan laut serta hewan-hewan penghuni hutan. (tambahan penulis).

d. Gereja yang sedang bersinode.

Di dalam Gereja juga, ada kebutuhan besar untuk mendengarkan dan saling mendengarkan satu sama lain. Inilah hadiah paling berharga dan menghidupkan yang dapat kita tawarkan satu sama lain.

Masing masing keluarga Katolik, dalam membangun keluarga perlu didasari semangat saling mendengarkan dengan telinga hati. Jangan sampai rumah seperti tempat kos, masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri, didukung alat media sosial masing-masing. Demikian pula orang tua terhadap anak-anak mereka, yang sangat butuh didengarkan dengan telinga hati. Mereka ingin cerita apalagi keluh kesah mereka didengarkan. Saling mendengarkan dengan telinga hatilah yang membuat rumah menjadi home, rumah yang dirindukan manakala sedang keluar rumah. Apalagi anak-anak masih membutuhkan pendampingan kehidupan moral dan iman mereka.

Keluarga-keluarga Katolik dalam satu lingkungan, wilayah atau paroki, perlu sadar bahwa pelayanan mendengarkan telah dipercayakan kepada mereka oleh Yesus yang adalah pendengar yang baik dan yang pekerjaannya harus mereka bagikan. Bahkan kita harus mendengarkan dengan telinga Tuhan agar kita dapat mengucapkan firman Tuhan. Demikian teolog Protestan, Dietrich Bonhoeffer mengingatkan kita bahwa “pelayanan pertama yang kita berikan kepada orang lain dalam persekutuan yaitu: mendengarkan mereka. Siapa tidak tahu mendengarkan saudara laki-laki atau perempuannya akan segera tidak mampu mendengarkan Tuhan”. (bdk  D. Bonhoeffer, La vita comune, Queriniana, Brescia 2017, 76 dan 75). Tugas paling penting dalam kegiatan pastoral adalah “kerasulan telinga”—mendengarkan sebelum berbicara, seperti nasihat Rasul Yakobus: “Biarlah setiap orang cepat mendengar, lambat berbicara” (Yak 1: 19). Memberi sedikit waktu kita secara bebas untuk mendengarkan orang lain adalah tindakan pertama dari amal kasih. Proses sinode baru saja diluncurkan. Mari kita berdoa agar menjadi kesempatan besar untuk saling mendengarkan. Persekutuan sebenarnya bukanlah hasil pelbagai strategi dan aneka program, tetapi dibangun dalam sikap saling mendengarkan antara saudara dan saudari. Sama seperti dalam paduan suara, kesatuan tidak menuntut keseragaman, kemonotonan, tetapi kemajemukan dan keragaman suara, polifonia. Pada saat yang sama, setiap suara dalam paduan suara bernyanyi sambil mendengarkan suara-suara lain dan dalam hubungannya dengan harmoni keseluruhan. Harmoni ini dirancang oleh komposer, tetapi realisasinya tergantung pada simfoni masing-masing dan setiap suara. Dalam kesadaran bahwa kita berpartisipasi dalam persekutuan, yang sudah ada sebelumnya dan kita pun termasuk di dalamnya, kita dapat menemukan kembali Gereja yang simfonis, di mana setiap orang dapat bernyanyi dengan suaranya sendiri, sambil menyambut suara orang lain sebagai hadiah untuk mewujudkan harmoni keseluruhan yang disusun oleh Roh Kudus. Selamat mendengarkan dengan telinga hati!

 

 

Bagikan:

Recommended For You

About the Author: redinspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *