Ada luka serius yang perlu disembuhkan dalam masyarakat kita yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 selama 2 tahun ini. Demikian Penanggungjawab Komunitas Sant Egidio Indonesia, Ignasius Respati Teguh Budiono memberi penegasan pada webinar ‘Peran Agama-agama dan Umat Beriman dalam Menghadapi Pandemi’, 6 November 2021.
“Kita menyadari pandemi selama 2 tahun, tidak sedikit yang meninggal, jutaan orang harus meninggalkan kita, para lansia, para tenaga medis tentu saja. Ini tidak sedikit jumlahnya. Belum lagi bagaimana pandemi ini membuat masalah pada pengangguran, berdampak pada ekonomi,” kata Respati.
Namun, Respati bersyukur, Indonesia mampu melewati masa-masa krisis tersebut dengan baik, meski tidak menutup kemungkinan masih ada permasalahan di bawah. “Tentang pengangguran misalnya, berapa banyak orang yang harus berhenti bekerja karena selama masa pandemi otomatis kegiatan operasi berhenti. Belum lagi kita juga dihadapkan pada masalah anak-anak yang kehilangan kesempatan untuk menikmati masa sekolahnya. Tentu saja upaya sekolah melalui daring itu tetap diusahakan. Tetapi bagaimana kita bisa bayangkan anak-anak sekolah yang harusnya memiliki kesempatan untuk membangun atau berkembang dalam sisi sosial, bertemu dengan temannya, harus terkurung di rumah, belajar menghadapi gadget? Itu adalah problematika yang menurut saya juga menjadi sebuah luka, luka yang begitu serius yang harus kita jawab setelah pandemi ini. Dan luka-luka ini saya pikir mempengaruhi tubuh kita semua, tubuh seluruh umat manusia. Artinya, bahwa kita perlu merasa memiliki tanggung jawab besar,” katanya.
Menurutnya, semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama menghadapi kesulitan tersebu. “Kita perlu mengambil tanggung jawab. Kita perlu bergandeng tangan untuk menyembuhkan luka-luka ini. Dan satu hal yang ingin saya garis bawahi dari kebersamaan adalah kita,” katanya.
Menurutnya, pandemi telah menunjukkan bahwa egoisme atau keakuan itu tidak bisa menyelamatkan kita. “Tetapi kebersamaanlah yang mampu menyelamatkan kita. Kepandaian kita yang mungkin cukup populer, mungkin kita bisa katakan pada masa-masa sebelum pandemi, tiba-tiba begitu pandemi terasa tidak ada apa-apanya. Kita tidak bisa mengandalkan gelar kita. Kita tidak bisa mengandalkan kehebatan kita sendiri karena pandemi menunjukkan kepada kita bahwa kita harus bersama. Pandemi menunjukkan kepada kita kalau kamu mau selamat ya, ya, kamu juga harus menyelamatkan yang lain,” katanya.
Meminjam istilah dari Paus Fransiskus, kita berada di perahu yang sama. Kita tidak bisa selamat untuk diri sendiri.
Respati pun memberi kesaksian pelayanan Komunitas Sant Egidio. “Ketika kita banyak melayani orang-orang miskin, peduli kepada mereka yang membutuhkan, membawa mereka masuk ke dalam perahu kita, yang terjadi perahu kita itu tidak tenggelam, tetapi justru perahu kita tetap berjalan dengan mulus karena di dalamnya ada spiritualitas yang kuat, yang di mana ada kekuatan belas kasih yang justru membuat perahu kita di dalam situasi pandemi ini itu tidak tenggelam. Meskipun kita berusaha menarik sebanyak orang untuk masuk ke dalam perahu kita untuk menyelamatkan mereka,” imbuhnya.
Menurutnya, dengan menghadapi pandemi secara bersama-sama membuat langkah dan gerak menjadi lebih ringan daripada bergerak sendiri.
“Komunits Sant Egidio sendiri dalam pelayanannya selama masa pandemi berusaha untuk tidak berhenti meskipun kita tahu bahwa ada bahaya di sana, tetapi kita selalu mengandalkan Roh Kudus untuk membantu kita, untuk tetap berani melayani mereka. Karena pengalaman kita ketika kita semua menarik diri, siapa yang akan membantu teman-teman yang membutuhkan?” ungkapnya.
Respati mendapati, dari waktu ke waktu mereka yang membutuhkan pertolongan semakin bertambah. “Kita merefleksikan bahwa masa pandemi membuat banyak orang membutuhkan pertolongan dan kalau kita berhenti untuk berbuat sesuatu, kalau kita berhenti untuk melakukan kebaikan, siapa yang akan menolong mereka?” ungkap Respati.
Respati kembali menegaskan, kita tidak bisa meninggalkan mereka yang terdampak karena pandemi dan terus menerus kita terkurung di dalam ketakutan. Kita tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. “Jika benar tidak ada yang sanggup menyelamatkan diri sendiri, bagaimana caranya kita bersama-sama, dapat memulai ini dari awal. Saya merefleksikan jawabannya adalah mengembangkan semangat kekitaan, bukan semangat keakuan. Kita adalah bersama. Kita adalah saudara, kita adalah keluarga,” katanya.
Menurutnya, luka pandemi sudah cukup serius, sudah cukup besar. “Janganlah kita menambah luka-luka ini dengan luka-luka permusuhan, luka-luka kebencian, kesombongan, keegoisan,” imbuhnya.
Menurutnya, ada yang perlu diwaspadai pada masa setelah pandemi, yaitu orang terbiasa untuk hidup sendiri. “Orang terbiasa menarik diri dalam masalah-masalah sosial, masalah-masalah yang ada di sekitarnya karena 2 tahun ini mungkin kita takut,” katanya. Hal itu menurutnya, bisa membuat seseorang keras hati, membiarkan konflik, atau tidak peduli dengan masalah-masalah di sekitar.