Mgr Adrianus Sunarko, OFM melihat, pandemi Covid-19 telah membawa akibat dan perubahan di banyak hal. Tak sedikit kontes budaya harus berhenti, politik yang normal juga berhenti, perusahaan-perusahaan terancam gulung tikar, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi besar-besaran. Itu adalah dampak negatif yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19.
Meski dari satu sisi terlihat negatif dan bernuansa murung, di sisi lain, pandemi Covid-19 memunculkan sejumlah peluang-peluang baru. “Covid juga memaksa kita untuk segera berevolusi menjadi homo digitalis. Dalam arti dia mendorong kita masuk dalam komunikasi digital meskipun kita semua mula-mula enggan ya, tapi kita dipaksa dengan aplikasi zoom seperti sekarang-sekarang ini, kita menjadi terbiasa dengan perjumpaan digital, rapat, webinar internasional dan lain sebagainya,” kata Mgr Adrianus dalam webinar ‘Pengharapan di Masa yang Suram’ yang diselenggarakan STFT Widya Sasana, 6 November 2021.
Mgr Adrianus juga melihat, pandemi Covid-19 memaksa manusia menghentikan sejumlah praktek-praktek buruk yang sudah dikecam dalam khotbah-khotbah. “Pesta-pesta hedonistik, panti pijat, karaoke dikosongkan, industri film porno dihentikan, macam-macam hal yang menimbulkan nikmat dan adiksi dipaksa berhenti oleh Covid-19,” katanya. Bahkan, sambungnya, hal itu lebih efektif daripada khotbah-khotbah yang selama ini mengancam dengan dosa.
Pandemi Covid-19 juga telah membuat praktik-praktik keagamaan berubah. “Tempat ibadah kosong, kegiatan rutin agama berhenti, orang dipaksa masuk dalam keheningan dan mencari perjumpaan dengan Allah yang lebih personal,” katanya. Covid-19 juga memaksa menghentikan sejumlah perkumpulan politik yang menganut paham ‘post truth.’
Sisi positif lain, menurut Mgr Adrianus, pandemi Covid-19 juga telah memaksa negara-negara untuk memperhatikan Ibu Bumi. “Sudah lama Ibu Bumi diperkosa habis-habisan, tetapi kurang begitu didengar protesnya. Dengan macam-macam protokol, ada ensiklik Laudato Si’, kurang diindahkan pemeritah. Tetapi, Covid-19 memaksa kita untuk mengistirahatkan bumi. Tidak pernah udara kota-kota sebersih selama pandemi ini dialami di kota-kota besar, karena pabrik berhenti, kendaraan pencemar lingkungan diparkir di garasi,” ujarnya. Bahkan, pandemi juga telah membuat orang banyak tinggal di rumah sehingga kebersamaan di rumah pun terbangun.
Meski pandemi juga telah banyak memakan korban, namun banyak orang tak kehilangan harapan. “Di Indonesia selama Covid ini dalam sebuah penelitian dari segi indeks kesediaan untuk berbagi dan menolong, Indonesia ada di rangking satu. Itu luar biasa, kesediaan untuk membantu orang berbagi dan lain sebagainya, rangking Indonesia nomor satu,” katanya.
Mengutip Joas Adiprasetya dalam buku Gereja Pascapandemi, Mgr Adrianus mengatakan, pandemi menjadi cermin yang tidak hanya menampilkan “the dark side of humanity” melainkan juga “the heroic side”.
Perspektif iman
Kepedulian pada musibah, termasuk pandemi, sudah dilakukan oleh jemaat kristiani awal. Hal itu, menurut Mgr Adrianus, dapat dilihat, pertama, dari Kisah para Rasul (Kis 11:25-30). Dan kedua, dari buku ‘The Rise of Christianity’ tulisan Rodney Stark. “Lalu pergilah Barnabas….seluruh dunia akan ditimpa kelaparan.” “Seluruh dunia berarti pandemos, seluruh rakyat. Jadi, sudah terjadi pada awal kekristenan. Yang menarik adalah apa reaksi pengikut Kristus ketika terjadi pandemi ini, katakanlah berupa kelaparan. Lalu, murid-murid memutuskan untuk mengumpulkan suatu sumbangan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing dan mengirimkannya kepada saudara-saudara yang diam di Yudea. Itu reaksi spontan langsung dari mereka ketika ada pandemi kelaparan,” katanya.
Sedangkan sosiolog Rodney Stark dalam ‘The Rise of Christianity’, menurut Mgr Adrianus, telah menunjukkan bahwa para pengikut Kristus dalam menghadapi krisis atau masa sulit bisa melewatinya dengan lebih baik. “Dia menunjukkan, tahun 165, masa pemerintahan Markus Aurelius, ada epidemi yang melanda seluruh kekaisaran Romawi. Berlangsung kurang lebih 15 tahun, dan sekitar seperempat dari penduduk meninggal dunia, termasuk Markus Aurelius sendiri pada tahun 180 di Viena. Lalu, tahun 251, terjadi lagi epidemi, melanda kekaisaran Romawi, baik kota-kota maupun desa-desa. Puncaknya sekitar 5000-an orang meninggal dalam sehari di kota Roma, hanya di kota Roma,” katanya.
Mgr Adrianus menambahkan, Cyprianus waktu itu Uskup Kartago,menulis bahwa banyak di antara mereka meninggal karena epidemi dan sampar. Dionisius, Uskup Alexandria juga menulis hal serupa, penyakit tersebut adalah sesuatu yang lebih menakutkan dari bencana lain yang pernah ada.
Rodney Stark dalam buku ‘The Rise of Christianity’ mencari tahu “mengapa umat Kristiani dapat bertahan dan melewati masa krisis epidemi itu dengan relatif lebih baik dibandingkan kaum pagan atau penganut helenisme?”
Mgr Adrianus menunjukkan 3 tesis Rodney. Tesis pertama, menurut Rodney, paganisme dan filsafat Yunani, pada waktu itu tidak mampu memberi penjelasan dan penghiburan yang memadai atas epidemi. “Menurut dia, agama Kristiani mampu memberi penjelasan atau makna yang lebih memuaskan tentang epidemi. Makna itu artinya menjawab pertanyaan kenapa terjadi hal-hal seperti ini? Kenapa menimpa banyak orang penderitaan ini? Tentu kita bertanya ya, dalam arti apa agama Kristiani bisa memberikan penjelasan atau makna terhadap problem ini ya?” kata Mgr Adrianus.
Dalam kristianitas, menurut Mgr Adrianus, meski menghadapi kematian, masih ada hidup baru kelak di surga. Bahkan saat menderita, kita tidak ditinggalkan Allah. Allah menyertai kita. Putera Allah sendiri sudah menderita. Allah dalam kekristenan adalah Allah yang solider.
“Dionisius, misalnya, mengatakan meskipun epidemi ini sungguh mencekam bagi kaum pagan, orang kristiani dapat menyambut epidemi ini sebagai kesempatan untuk schooling and testing. Agama kristiani memberikan penjelasan dan penghiburan, bahkan juga memberi petunjuk tentang tindakan apa yang harus dilakukan,” katanya. Epidemi menjadi kesempatan untuk belajar dan ujian.
Tesis kedua, menurut Rodney, nilai-nilai kristiani tentang cinta kasih diterjemahkan secara konkret dalam sistem dan norma serta tindakan pelayanan sosial dan solidaritas: lebih mampu bertahan menghadapi krisis. Bahkan, pasca-epidemi, populasi kristiani menjadi lebih tinggi.
“Orang lebih mampu bertahan menghadapi krisis karena ada tindakan-tindakan cinta kasih yang nyata, wujud dari solidaritas itu. Misalnya, pada puncak epidemi sekitar tahun tahun 260, Dionisius Uskup, dalam surat paskahnya, menyampaikan pujian pada upaya orang-orang kristiani yang rela mengorbankan nyawa demi merawat orang sakit,” kata Mgr Adrianus.
“Banyak dari saudara-saudara kristiani kita menunjukkan kasih dan loyalitas yang tak terbatas, tanpa menghiraukan diri sendiri, tanpa takut pada bahaya, rela merawat orang sakit, melayani mereka dalam Kristus,” tulis Dionisius Uskup.
“Orang-orang terbaik dari saudara-saudara kita telah kehilangan hidup mereka…Banyak imam, diakon dan awam pantas mendapat kehormatan karena mengalami kematian dalam pelayanan; buah dari kesalehan dan iman yang kuat…kematian laksana martir,” (ibid).
“Ini yang membuat kenapa agama kristiani mampu bertahan dengan relatif baik melewati pandemi,” kata Mgr Adrianus. Selain bisa memberikan makna dalam situasi krisis, agama kristiani juga membangkitkan tindakan-tindakan cinta kasih konkret yang membangkitkan harapan.
“Penulis pagan maupun kristiani sepakat, bahwa ajaran Kitab Suci kristiani tentang cinta kasih diterapkan secara nyata dalam masa-masa yang sulit. Itulah sebabnya kenapa agama kristiani bertahan dan bahkan justru berkembang setelah pandemi atau epidemi waktu itu. Prosentase jumlah penganut agama kristiani justru menjadi makin tinggi,” kata Mgr Adrianus.
Tertulianus, lanjut Mgr Adrianus, membuat klaim dalam ‘Apology’-nya, “It is our care of the helpless, our practise of loving kindness that brands us in the eyes of many of our opponents. Only look, they say, ‘look how they love one another!” (Apology 39, 1989 ed). “Branding, katakanlah demikian, dari orang kristiani pada masa sulit adalah justru tindakan-tindakan cinta kasih mereka kepada orang-orang yang susah. Itu yang membuat agama kristiani makin berkembang,” ungkap Mgr Adrianus.
Pengikut agama Pagan, Kaisar Julian, menurut Mgr Adrianus mengeluh, kaum pagan perlu meniru keutamaan-keutamaan orang kristiani. “Pertumbuhan agama kristiani disebabkan oleh karakter moral mereka dan kebaikan mereka pada orang asing, perawatan mereka atas orang sakit hingga wafat,” ungkap Mgr Adrianus.
Kaisar Julian menulis surat kepada pemimpin agama Yunani, menunjukkan kehebatan orang-orang kristiani. “I think when the poor happened to be neglected and overlooked by the priests, the Implaus Galileans observed this and devoted themselves to benevolence”. Implaus Galileans adalah orang-orang kristiani yang dianggap waktu itu tidak saleh.
“Ketika orang-orang miskin itu diabaikan, tidak diperhatikan oleh para imam dari agama-agama Yunani itu, justru The Implaus Galileans itu, orang-orang kristiani itulah yang merawat mereka ya, menolong mereka,” kata Mgr Adrianus.
“Jadi, para orang Galilea yang tidak saleh ini, yang dimaksud orang kristiani itu, memberi support tidak hanya kepada orang-orang miskin kristiani tapi juga yang lain. Nah, itulah yang kemudian menyebabkan agama kristiani melewati masa-masa krisis dengan lebih baik, dengan harapan,” tegas Mgr Adrianus.
Tesis ketiga, menurut Rodney, epidemi di satu pihak menimbulkan kekacauan berkaitan dengan relasi sosial di antara kaum pagan. Ikatan persaudaraan antar mereka menjadi lemah. Relasi dengan sesama bahkan keluarga terputus. Sebaliknya, pada masa-masa sulit itu ikatan persaudaraan di antara orang kristiani semakin kuat. Bahkan, jalinan persaudaraan dengan mereka yang bukan penganut agama kristiani juga makin luas. Kaum pagan justru lebih mudah menemukan dan membangun relasi persaudaraan dengan orang kristiani.
Mgr Adrianus menunjukkan catatan Dionysius: “Orang-orang kristiani merawat orang sakit dan mendampingi mereka yang sekarat serta menyiapkan pemakaman yang pantas bagi yang meninggal.” Sedangkan kaum pagan, sambung Mgr Adrianus, berperilaku sebaliknya. Ketika epidemi mulai memakan korban, mereka mengusir atau menghindari orang-orang yang terjangkit, pergi meninggalkan orang-orang terdekat, menelantarkan mereka di jalan hingga mati.
Tindakan nyata
Baik dari Kisah para Rasul (Kis 11:25-30) dan Rodney Stark dalam buku ‘The Rise of Christianity’, menurut Mgr Adrianus, ada 3 hal bisa menjadi refleksi Gereja ketika menghadapi masa-masa sulit seperti pandemi. Pertama, dalam melakukan pendampingan terhadap yang menderita, kita bisa menemukan makna. Kedua, kualitas persaudaraan justru semakin erat. Ketiga, solidaritas, sikap peduli dan tindakan kasih menjadi semakin nyata.
Mgr Adrianus melihat,ada sebuah keluarga kristiani yang beberapa anggota keluarganya meninggal dunia akibat Covid-19. Namun, keluarga lainnya menerima kenyataan tersebut dan mendapat penghiburan karena iman yang dihayatinya. Mereka meyakini, ada hidup baru kelak di surga. Mereka juga yakin, Allah tidak meninggalkan orang yang menderita itu kalau mengacu pada peristiwa salib. “Allah sendiri menderita. Putera Allah sendiri juga mengalami penderitaan. Ini juga sering muncul juga dalam ungkapan orang-orang yang sedang mengalami kesusahan. Mereka menemukan kekuatan,” katanya.
Dalam Kitab Suci, menurut Mgr Adrianus, pun ditemukan teks-teks yang memungkinkan, membolehkan orang untuk meratap, menangis, bertanya pada Tuhan. “Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?”
Kristus datang untuk yang menderita
Mengacu pada kristologi yang dikembangkan oleh teolog Johann Baptize Metz, Kristus datang tidak hanya untuk menebus dosa. Namun, Kristus datang ke dunia karena solider dengan orang-orang yang menderita. “Metz ingin mengembangkan bahwa Kristus itu ke dunia bukan hanya itu (menebus dosa), tapi bahwa Dia datang juga terutama untuk solider dengan yang sedang menderita,” kata Mgr Adrianus. Dalam hal ini, peran umat kristiani yang mengimani Yesus Kristus terlibat dalam meringankan beban sesama yang menderita menjadi relevan.
Refleksi penutup
Menurut Mgr Adrianus, saat-saat sulit atau krisis dalam hidup, kalau dalam konteks Eropa, digambarkan memasuki pengalaman musim dingin. “Tanpa tanaman hijau, daun-daun berguguran, tanpa bunga, tanpa buah-buahan. Rencana-rancana kita terhambat. Situasi-situasi menjadi sulit,” katanya.
Namun, tambah Mgr Adrianus, ketika musim dingin akar tanaman bekerja keras, “mengumpulkan apa yang penting untuk memulai hidup yang baru menuju musim semi”. “Jadi, musim dingin memang susah kelihatannya, gelap, dingin, nggak ada tanaman, tapi sebenarnya akar bekerja keras sehingga nanti ada musim semi lagi. Diam-diam dan dalam ketersembunyian akar bekerja keras sehingga memungkinkan lahirnya hidup yang baru,” katanya.
Dengan demikian, menurutnya, dalam musim dingin juga ada sisi khairos, kesempatan emas untuk bertumbuh. Hal itu, bagi Mgr Adrianus, merupakan ajakan untuk kembali pada yang esensial.
“Sebenarnya ajakan juga kepada kita untuk kembali pada akar, kembali pada yang esensial seperti pohon-pohon di musim dingin. Selama itu akar bekerja keras. Dalam situasi sulit, kita diajak kembali kepada akar. Dan itu, musim dingin atau krisis bukan sekadar untuk survive, tapi justru untuk kembali pada akar hidup kita secara radikal. Radix. Arti akar itu yaitu kalau sebagai orang beriman kembali pada keutamaan-keutamaan dasar yaitu iman, kasih dan harapan,” katanya.
Menurut Mgr Adrianus, harapan itu ditopang oleh iman, disuburkan oleh kasih. “Iman artinya percaya akan Allah yang baik, kenangan akan solidaritas Yesus Kristus, mengalami kehadiran Allah dalam penderitaan itu,” katanya.
Iman, tambahnya, memberi kekuatan untuk menerima keterbatasan, bahkan kematian. “Jadi ketika prediksi-prediksi manusiawi tidak positif, iman masih bisa membuat orang bertahan. Tetapi iman perlu ditopang oleh kasih, pengalaman konkret dikasihi baik dahulu maupun sekarang. Tanpa ada sedikit pengalaman tentang ini, mungkin akan berat untuk mempertahankan dan memelihara harapan,” kata Mgr Adrianus.
Sedangkan pengalaman konkret mengasihi, menurutnya, membuat kita mampu bertahan dalam pengharapan. “Maka, harapan dalam arti itu bukan sikap pasif, tapi dia ditopang oleh iman dan kasih. Tanpa iman, harapan kurang kuat, khususnya berhadapan dengan berbagai keterbatasan manusiawi yang tak terelakkan. Tanpa kasih, harapan tidak subur karena kasih itu biasanya sudah dengan kesulitan-kesulitan, sudah biasa,” ujarnya.
Pengalaman kasih meneguhkan solidaritas. Yang membuat orang-orang kristiani mampu melewati masa-masa sulit adalah kekayaan iman yang membuat kita bisa menemukan penghiburan dengan menemukan makna, adanya persaudaraan yang kuat dan adanya cinta kasih yang membuat subur harapan itu.