HARI MINGGU BIASA XXVI
26 September 2021
Bacaan I : Bil 11: 25-29
Bacaan II : Yak 5: 1-6
Bacaan Injil : Mrk 9: 38-43. 45. 47-48
Dasar-dasar penghargaan akan perbedaan
Agama adalah keyakinan. Maka bahkan di kebanyakan negara maju, agama tidak ditonjolkan sebagai identitas publik. Sebab keyakinan itu sangat personal. Jika agama di angkat dalam hidup bernegara bahkan sebagai ukuran untuk menilai suatu kebijakan dan tingkah laku warga, rasanya tidaklah tepat. Sejarah bangsa-bangsa telah memberi pelajaran berharga tentang hal ini. Jika pemimpin negara bangsa menganut keyakinan tertentu, semua rakyat ‘wajib’ mengamini keyakinan pemimpin mereka. Warga yang tidak memenuhi tuntutan ini dianggap tidak taat kepada pemerintah dan layak diperlakukan diskriminatif. Atas dasar pengalaman yang ‘tidak sehat’ masa lalu, negara-negara modern meninggalkan konsep negara agama, dan mengambil pilihan sekular. Supaya negara tetap dikelola dengan kebijakan yang seimbang dengan memberlakukan nilai-nilai universal dan konsensus sebagai pendomannya. Dan bukan nilai agama. Negeri kita pernah mengalami politik identitas. Orang diajak untuk menjatuhkan pilihan politik tertentu atas nama agama/keyakinan dan bukan rasionalitas dan nilai universal hidup bersama. Siapa yang tidak sependapat dengan kita adalah musuh kita. Sangat liar, kejam, dan diskriminatif, atas dasar sesuatu yang mulia: Tuhan.
Kitab Bilangan mengajak kita untuk berefleksi tentang bahaya laten yang mengungkung kita sampai saat ini, yaitu kecenderungan memberlakukan keyakinan yang sesungguhnya sangat pribadi ke ranah publik. Eldad dan Medad dipenuhi dengan Roh yang juga dialami oleh nabi-nabi lain kelompok Musa. Pengikut-pengikut Musa yang merasa memegang ‘otoritas’ kebenaran agama menjadi gelisah dan kurang setuju. Mereka meminta supaya Musa mencegah mereka. Dan Musa berkata: “Apakah engkau begitu giat mendukung diriku? Ah sekiranya seluruh umat Tuhan menjadi nabi, karena Tuhan memberikan Roh-Nya kepada mereka” (Bil 11: 29). Dengan amat jernih Musa mengingatkan para pengikutnya, yaitu segenap umat Israel untuk melihat sesuatu dengan kacamata yang lebih luas dan lebar. Yaitu bahwa Roh Allah itu tidak terkungkung pada keyakinan mereka sendiri.
Murid-murid Yesus telah mengalami kuasa Roh yang membuat mereka bisa menyembuhkan dan mengusir setan. Mereka kemudian menjadi lepas kontrol, tidak rela ketika ada orang lain ternyata bisa melakukan hal yang sama, padahal mereka itu bukan kelompok murid Yesus. Maka Yohanes berkata kepada Yesus, “Guru, kami melihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi namaMu. Lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita” (Mrk 9: 38). Kemudian Yesus segera menegur mereka dan memberikan pengertian baru “Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita,” (Mrk 9: 40). Mari kita menikmati perbedaan sebagai kekayaan.
Romo Agus Suryana Gunadi, Pr