Untuk merayakan akhir Tahun Peringatan Laudato Si’ yang Istimewa, Paus Fransiskus mengundang 1,3 miliar umat Katolik dunia untuk berpartisipasi dengan penuh sukacita dalam Pekan Laudato Si’ 2021, yang diselenggarakan pada 16-24 Mei 2021. Acara tersebut bertepatan dengan ulang tahun keenam (24 Mei) ketika Paus Fransiskus selesai menulis ensiklik tersebut. Laudato Si’ telah menghidupkan komunitas Katolik di seluruh dunia untuk berjuang melawan krisis ekologi dan darurat iklim.
Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus di Hari Bumi, “Ketika kerusakan alam ini dipicu, sangat sulit untuk menghentikannya. Tapi kita masih tepat waktu. Dan kita akan lebih tangguh jika kita bekerja sama daripada melakukannya sendiri. ”
Atas undangan Bapa Suci, Kevikepan Semarang melalui Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Kevikepan Semarang pun menyelenggarakan Pekan Laudato Si’ tingkat kevikepan, 23-30 Mei 2021.
Acara bertema “…karena kita tahu bahwa segala sesuatunya dapat berubah (LS 13)” itu pun diisi dengan edukasi tentang merawat bumi yang bersifat praktis dan perayaan ekaristi. Karena masih diliputi pandemi Covid-19, acara edukasi digelar secara daring.
Sejumlah materi edukasi ditawarkan seperti Pemanfaatan Lahan Pekarangan dan Mengenal Tanaman Pangan “Ramban” (Irena Frieda); Sampah Jadi Berkat: Ecobrick, Kerajinan Tutup Botol, Tepung Kulit Telur (Florentina Widyastuti); Mengenal Sang Pelahap Sisa Organik, Lalat Tentara Hitam (Ave Christian); Gerakan Ekologi di Sekolah: MOL dan Kompos dari Limbah Pekarangan (Suster Agnesita OSF); Eco Enzym, Cairan Multiguna dari Kulit Buah dan Sayur (Florentina Yessica); dan Budidaya Tabulampot (Cornelius Widodo); dan Spiritualitas Ekologis (Romo Aloys Budi Purnomo, Pr).
Ketua KKPCK Kevikepan Semarang, Romo Aloys Budi Purnomo, Pr dengan mengutip Ensiklik Laudato Si’ mengatakan, saat ini masyarakat tengah dilanda budaya membuang yang pada akhirnya membuat sampah semakin menumpuk. Hal itu terlihat misalnya pada budaya sekali pakai. Namun, ia melihat ada bahaya yang lebih besar lagi terkait dengan budaya membuang. “Bahaya besar sekarang adalah budaya membuang sesama manusia. Ora nganggep kanca, ora nganggep sedulur. Cuek bebek,” katanya yang juga menambah adanya budaya yang berbeda dianggap musuh. “Itu harus kita tinggalkan,” katanya.
Menurutnya, kita harus mengembangkan cara pandang yang lebih positif terhadap sesama dan syukur-syukur bisa bekerja sama dengan siapapun.
Pegiat lingkungan Florentina Widyastuti berbagi kisahnya. Menurutnya, mengubah mindset orang untuk mencintai lingkungan tidak mudah. Hal itu hanya mungkin ketika kita mengubah diri sendiri terlebih dahulu. Selanjutnya, hal itu pun tidak mungkin dilakukan sendiri, namun dengan mengajak beberapa orang yang satu visi. “Perubahan gaya hidup itu kita sendiri yang mulai,” katanya.
Vikep Semarang, Romo F.X. Sugiyana, Pr mengatakan, kita sudah menerima warisan dari sebelumnya, kita menikmati menjadi rumah bersama. “Maka, selama kita hidup, kita juga punya tanggung jawab mewariskan generasi-generasi berikutnya sebuah kehidupan yang syukur-syukur lebih baik,” katanya.
Pembimas Katolik Provinsi Jawa Tengah, F.X. Kariyanto mengatakan, gerakan merawat lingkungan harus dilakukan bersama-sama termasuk dengan masyarakat lintas agama.